Ustadz, Dalam Zakat kan seharusnya ada ijab Qobul. Apakah sah, Jika Zakat di berikan langsung ke peneriama dengan perantara pihak ke-3 (Bukan Panitia Zakat)?
Wa’alaikum Salam Wr.Wb. Terima kasih bu Heni Nurbaini atas pertanyaannya yang baik.
Ada ulama yang menjelaskan bahwa ijab qabul zakat hendaknya disebutkan secara jelas yaitu dengan menyatakan: Aajaraka Allahu fi maa a’thaita wa baraka fi maa abqaita (mudah-mudahan Allah memberikan pahala pada harta yang telah engkau berikan dan mudah-mudahan pula Allah memberikan keberkahan pada harta anda yang lainnya). Demikian halnya Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan dalam bukunya ”Al-Fiqh al-Islam wa adillatuhu” menyerahkan zakat kepada mustahik atau kepada wakilnya yaitu imam atau petugas zakat (BAZ/LAZ) merupakan rukun zakat.
Ada juga ulama yang menjelaskan bahwa ijab kabul di dalam penyerahan harta zakat sesungguhnya bukan hal yang mutlak menjadi syarat. Sehingga, bila tidak ada ijab kabul dalam zakat, maka zakat itu menjadi syah. Banyak pakar dan penggeliat zakat menjelaskan bahwa pembayaran zakat di masa datang, tak akan dikenali lagi ijab kobul. Jadi, orang tak lagi membaca doa pemberi zakat dan si penerima zakat tak perlu lagi mengucapkan doa penerima zakat sambil bersalaman seperti banyak terjadi di tempat penerima zakat yang dikenal selama ini.
Menurut hemat kami, mungkin masa kini dan beberapa tahun mendatang orang lebih banyak membayar zakat tanpa ijab kabul, sebab adanya kemudahan transaksi keuangan dan ditopang kemajuan teknologi di berbagai perbankan membuat orang mempunyai banyak pilihan sehingga tak perlu bersusah payah dalam membayar zakat. Sebab perkembangan teknologi era kini boleh jadi orang berzakat sudah sangat mudah baik bisa via sms, kartu kredit, transfer maupun via internet dan sebagainya. Bahkan dalam jual beli yang sangat memperhatikan masalah ijab kabul, tetap bisa dilakukan secara online atau by phone tanpa ijab qabul. Apalagi dalam masalah setoran uang zakat, tentu lebih mudah lagi.
Tentunya, sekali lagi dalam kajian agama sah dilakukan. Mayoritas mazhab fuqaha berpendapat, bahwa niat itu merupakan syarat dalam mengeluarkan zakat, karena zakat itu adalah ibadah, sedang ibadah tidak sah kecuali dengan niat. Allah berfirman QS. Al-bayyinah (98):5 dan Rasulullah bersabda: ”Sesungguhnya sahya perbuatan itu hanyalah dengan niat”. (HR. Muslim)
Hal ini dimaksud bahwa urgensi niat bagi muzakki yaitu meyakini bahwa zakat yang dikeluarkan itu adalah zakat hartanya. Dr. Yusuf Al-Qardhawi menjelaskan niat boleh dilaksanakan cukuplah bagi muzakki berniat secara umum saja pada waktu mengeluarkan zakat, sehingga tidak perlu lagi bagi dia meniatkan setiap kali dia memberikan kepada setiap mustahik yang menerima zakatnya.
Meskipun demikian, ijab dan qabul intinya dalam hati yang menunjukkan keridhaan dan keikhlasan saat niat menyerahkan zakat. Para pakar hukum sepakat bahwa mewakilkan orang lain untuk membagikan zakat itu dibolehkan, dengan ketentuan ada niat dari orang yang mewakilkan atau orang yang menyerahkan zakat. Kalau muzakki sudah berniat membayarkan zakat atau menyerahkan kepada wakil menurut mazhab hanafi dan syafiie atau berniat sesaat sebelum penyerahan zakat menurut mazhab hanbali, atau berniat sewaktu melepaskannya menurut mazhab Maliki, hanbali dan Syafiie, lalu diserahkan oleh wakil kepada orang fakir tanpa niat maka diperbolehkan.
Jika seseorang berzakat diberikan langsung ke penerima dengan perantara ke-3 (bukan panitia), sesungguhnya dia telah memiliki niat untuk berzakat bahkan yakin kalau zakat tersebut sampai kepada mustahiknya. Karena itu, sah-sah saja berzakat melalui orang yang amanah meskipun ijab qabulnya tidak disertai dengan bersalaman antara muzakki dengan amil.
Al-hasil, Pada dasarnya menyalurkan zakat secara langsung tanpa melalui pengelola zakat adalah sah, karena tidak ada dalil yang melarangnya. Namun meskipun begitu, penyaluran zakat sangat dianjurkan melalui sebuah pengelola ataupun lembaga yang khusus menangani zakat, karena hal ini sudah dipraktekkan sejak zaman Rasulullah. Dahulu, dalam menangani zakat Rasulullah membentuk tim yang merupakan petugas zakat yang terdiri dari para sahabat untuk memungut zakat, dan hal ini diteruskan oleh generasi sahabat sesudahnya.
Untuk itulah mengapa dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa salah satu orang yang berhak menerima zakat adalah petugas zakat, karena memang zakat itu sendiri harus ada petugas yang mengelola, baik pemungutan maupun penyaluran, sebagaimana yang telah dipraktekkan semenjak zaman Rasulullah. Disamping itu, Allah telah berfirman QS. At-Taubah (9): 103: “Ambillah zakat dari harta mereka…” ayat ini menegaskan bahwa zakat harus ada yang memungut dan yang memungut zakat adalah petugas zakat. Jadi, menyalurkan zakat kepada pengelola zakat adalah lebih utama dan lebih sesuai dengan sunnah Rasulullah.
Demikian semoga dapat dipahami. Waallahu A’lam.
Muhammad Zen, MA