Assalamualaikum wr wb
Pak Ustadz yang terhormat
Adik saya pinjam uang ke bank untuk usaha dengan agunan mobil dan tanah milik ibu saya. Sekarang bisnis merugi dan utangnya macet. Adik saya kerja sebagai PNS juga tapi gaji tidak mencukupi untuk mencicil utang bank (utang pokokdan bunganya. Apakah zakat saya selama beberapa tahun ke depan dapat diberikan ke adik saya untuk menutup utang tersebut? soalnya zakat setahun saya tidak mencukupi utk menutup hutang adik saya tersebut sedangkan pinjaman bank perlu segera ditutup.
terima kasih, mohon jawabannya
salam hormat
Wa’alaikum salam wr. wb. Terima kasih atas pertanyaannya Bapak Setiabudi yang budiman.
"Sesungguhnya sedekah-sedekah (zakat-zakat) itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang di bujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak. Orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. al-Taubah (9):60).
Dari penjelasan ayat di atas, jelaslah bahwa zakat hanya boleh didistribusikan kepada delapan asnâf (kelompok), yaitu : Kelompok fakir, Kelompok miskin, Kelompok Amil, Kelompok muallafatu qulûbuhum, Kelompok fi ar-riqâb, Kelompok al-ghârimin, Kelompok fi sabilillah, dan Kelompok ibnu sabil.
Berdasarkan dalil tersebut zakat ternyata memiliki pos-pos penerimaan khusus yang telah ditentukan Allah, yaitu yang disebut sebagai mustahik (orang-orang yang berhak menerima zakat).. Selain daripada itu, mereka bukanlah termasuk mustahik.
Menurut ulama fikih dengan kategori yang telah disebutkan, bahwa adik Bapak merupakan bukan berada dibawah tangggungan bapak secara langsung. Jika mereka memenuhi syarat fakir/miskin atau Ghorimin (orang yang berhutang) berdasarkan ayat tersebut, maka mereka berhak mendapatkan zakat dari harta bapak. Oleh karenanya, ulama menjelaskan bahwa sebab dengan kefakiran/kemiskinan atau Ghorimin (orang yang berhutang)lah mereka bisa dikategorikan sebagai orang yang berhak menerima zakat (mustahik zakat).
Adapun pengertian al-ghârimin dalam sebagian besar literatur fiqh dibatasi pada orang yang punya hutang untuk keperluannya sendiri dan zakat diberikan untuk membebaskannya dari hutang. Ulama Hanafiah mendefinisikan al-ghârim adalah sebagai orang yang berhutang dan tidak mempunyai harta yang mencapai nisab zakat. (Lihat Wahbah Zuhaili, Fiqhu Islâmi, h. 873-874)
Namun sebagian ulama memperluas pengertiannya dan membagikannya ke dalam dua kelompok, yaitu orang yang berhutang untuk keperluannya sendiri dan orang yang berhutang untuk kepentingan orang lain. (Lihat Abdullah Nâsih ‘Ulwân, Ahkâm al- Zakâh, h. 55-57) Untuk lebih jelasnya sebagai berikut: Kelompok Pertama adalah mereka yang berhutang untuk kepentingan pribadi, seperti untuk memenuhi nafkah/kebutuhan hidupnya, untuk biaya perkawinan, biaya pengobatan, untuk membangun tempat tinggal, membeli perabotan rumah tangga, ataupun berhutang untuk membayar ganti rugi atas barang orang lain yang rusak atau hilang tanpa disengaja. Untuk mereka yang termasuk dalam kategori ini boleh diberikan bantuan dari dana zakat, dengan persyaratan sebagai berikut:
a. Si peminjam haruslah orang yang benar-benar tidak mampu untuk melunasi hutangnya, namun jika ia termasuk orang kaya yang mempunyai kemampuan untuk melunasinya baik dengan uang ataupun dengan barang-barang lain yang mempunyai nilai ekonomis (kecuali rumah, pakaian dan lain-lain yang merupakan kebutuhan pokok manusia), maka ia tidak berhak mendapatkan bantuan zakat.
b. Besarnya hutang adalah apabila dibayarkan akan mengurangi ataupun menghabiskan nisab harta yang wajib dizakatkan. Sebagai contoh seseorang memiliki harta sebanyak Rp.10.000.000, di mana harta tersebut telah mencapai nisab (berdasarkan perhitungan nisab emas). Tetapi ia mempunyai hutang yang besarnya Rp.2.000.000. yang jika dibayarkan akan mengurangi nisab hartanya tersebut. Atau besarnya hutang menyamai jumlah harta yang dimiliki, Dalam kondisi ini ia tidak diwajibkan zakat, bahkan berhak menerima zakat.
c. Hendaknya hutang tersebut adalah hutang yang harus dilunasi dengan segera, sedangkan hutang yang pembayarannya bisa ditunda sampai waktu yang ditentukan, jumhur ulama berpendapat tidak boleh diberikan zakat karena tidak termasuk ke dalam kebutuhan mendesak.
d. Hendaknya hutang tersebut adalah hutang yang berkaitan dengan hak sesama manusia, adapun hutang yang merupakan hak Allah, seperti pembayaran kafarat, tidak diperbolehkan mengambilnya dari zakat.
e. Hutang tersebut haruslah hutang untuk hal-hal yang diperbolehkan syara’, sedangkan hutang untuk sesuatu yang mengandung unsur maksiat, seperti untuk membeli minuman keras, berjudi, berzina, dan lain-lain, maka haram memberikan zakat kepada si peminjam sampai mereka benar-benar bertaubat).
f. Hutang tersebut hendaknya benar-benar untuk hal yang dibutuhkan oleh si pengutang tanpa melebihi batas-batas kewajaran, karena berhutang untuk hal¬hal yang mengandung unsur pemborosan merupakan hal yang dilarang oleh agama.
Kelompok Kedua yaitu orang-orang yang berhutang untuk kepentingan masyarakat, seperti membangun rumah sakit untuk fakir miskin, membangun fasilitas ibadah, sarana pendidikan agama, dan lain-lain yang bertujuan untuk kebaikan masyarakat. Mereka yang termasuk ke dalam kategori kedua ini berhak dibantu melunasi hutangnya sekalipun mereka termasuk orang yang mampu.
Al-hasil, berdasarkan penjelasan tersebut maka memberikan zakat mal kepada adik yang kondisi perekonomiannya betul-betul sulit (fakir) dan terlilit hutang yang tidak bisa lagi untuk membayar dengan harta yang dimilikinya dan hartanya tidak cukup satu nishab maka sangat dianjurkan/ diperbolehkan untuk membantunya. Namun, jika adik bapak mampu membayarnya sendiri dengan hartanya maka adik bapak tidak berhak mendapatkan zakat. Olehkarenanya, hendaknya zakat yang diberikan tersebut tidak diperkenankan untuk diberikan hanya kepada satu orang mustahik saja melainkan masih banyak orang-orang yang berhak menerima zakat (mustahik) dari zakat bapak dan mereka sangat membutuhkan. Di samping, tentu saja akan menjadi lebih baik lagi, jika zakat bapak tersebut juga disalurkan kepada Amil Zakat (BAZ/LAZ/OPZ) yang amanah, terpercaya, adil dan terdistribusi dengan baik tidak menumpuk pada satu orang atau beberapa orang dan sangat terbuka sekali untuk menyalurkan zakat kepada yang lebih berhak.
Demikian semoga dapat dipahami. Waallahu A’lam.
Muhammad Zen, MA