Assalamu’alaikum Pak ustadz,
Saya dan suami saya bekerja pada perusahaan Swasta, alhamdullillah setiap bulannya kami menyisihkan sebesar 2,5% dari penghasilan kami sebagai infaq. Apakah yang kami lakukan tersebut dapat dikatakan sebagai zakat harta ? Mohon penjelasannya mengenai ketentuan dan cara perhitungan dari Zakat Harta itu sendiri ? Apakah kami dapat memberikan hasil dari Infaq / Zakat Harta kami kepada sanak saudara (keluarga) atau orang tua kami yang masih memerlukan bantuan ?
Mohon pencerahannya. Terima kasih.
Wassalam,
Wa’alaikum salam wr. wb.
Terima kasih atas pertanyaannya Ibu Aci yang budiman.
Semoga Allah senantiasa melunakkan hati kita untuk senantiasa melazimkan dalam melakukan amal kebajikan termasuk berzakat dan mengkategorikan kita sebagai orang sukses (beruntung). Amin. "Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensuci-kan jiwa itu". (QS. Asy-Syams: 9),
1. Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar dalam Kitab Az-Zakat menjelaskan: zakat secara bahasa (lughat), berarti : tumbuh; berkembang dan berkah (HR. At-Tirmidzi) atau dapat pula berarti membersihkan atau mensucikan (QS. At-Taubah : 103). Menurut terminologi zakat berarti hak yang wajib pada harta tertentu, untuk orang-orang tertentu, dikeluarkan pada masa tertentu, untuk mendapatkan keridhaan Allah, membersihkan diri, harta serta masyarakat. Sedangkan infaq berasal dari kata anfaqa yang berarti mengeluarkan sesuatu (harta) untuk kepentingan sesuatu. Menurut terminologi syariat, infaq berarti mengeluarkan sebagian dari harta atau pendapatan/penghasilan untuk suatu kepentingan yang diperintahkan Islam.
Menurut ulama mufassirin di dalam al-Qur’an kata infak memiliki dua makna yaitu infak wajib yang dikenal sebagai zakat, dan infak sunnah bermakna mengeluarkan harta untuk kepentingan-kepentingan yang diperintahkan Allah SWT di luar zakat.
Tentunya berbeda antara konsep zakat (infak wajib) dengan infak sunnah. Kalau zakat hukumnya adalah wajib untuk segera ditunaikan dan ada ketentuan khusus mengatur hal ini diantaranya meliputi; pertama, sudah diatur kapan waktunya untuk ditunaikan, kedua, adanya ketentuan nishab (batas minimal harta yang wajib ditunaikan) dan ketiga adanya kadar persentase atas zakat harta (dari 2,5 %, 5%, 10% dan 20%), bahkan dalam pendistribusiannya juga sudah ditentukan orang yang berhak menerimanya yaitu delapan golongan (asnaf). (QS. At-Taubah (9): 60)
Sedangkan kalau infak sunnah (infak yang secara umum dikenal oleh masyarakat) adalah tidak wajib dan sunnah untuk ditunaikan dan tidak ada ketentuan khusus mengatur hal ini tidak terikat waktu dan bebas untuk menunaikannya, tidak ada ketentuan batas nishab dan kadar persentase, termasuk juga dalam pendistribusiannya tidak ditentukan bahkan boleh diberikan kepada siapa saja yang membutuhkannya.
Secara sederhana perbedaan diantara keduanya yaitu zakat hukumnya wajib sedangkan infaq hukumnya sunnah. Atau zakat yang dimaksudkan adalah sesuatu yang wajib dikeluarkan, sementara infak adalah istilah yang digunakan untuk sesuatu yang tidak wajib dikeluarkan. Jadi pengeluaran yang sifatnya sukarela itu disebut infaq, zakat ditentukan nisabnya sedangkan infaq tidak memiliki batas, zakat ditentukan siapa saja yang berhak menerimanya sedangkan infaq boleh diberikan kepada siapa saja. Jadi pengeluaran yang sifatnya sukarela itu tidak ada presentasinya disebut infaq. Kalau dalam praktek dituntut presentasi tertentu namanya zakat, bukan infak.
Namun demikian, zakat ini kan ibadah, tentunya ibadah ini sangat terkait dengan niat. Rasulullah bersabda: ”Sesungguhnya sahya perbuatan itu hanyalah dengan niat”. (HR. Muslim). Kalau yang dimaksud harta yang dikeluarkan Ibu Aci dan suami setiap bulan adalah Infak wajib maka menjadi hukum Ibu telah menunaikan zakat harta. Sebaliknya, jika tidak ada kejelasan dalam niat Ibu dan suami apakah yang dimaksud saat mengeluarkan harta tersebut infak itu sebagai zakat (infak wajib) atau infak biasa (infak sunnah) maka menjadi bernilai infak sunnah yang besar pahalanya. Terkait dengan infak ini Rasulullah SAW bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim ada malaikat yang senantiasa berdo’a setiap pagi dan sore : "Ya Allah SWT berilah orang yang berinfak, gantinya. Dan berkata yang lain : "Ya Allah jadikanlah orang yang menahan infak, kehancuran". (HR. Bukhori)
Oleh karena itu niat memiliki peran penting dalam melakukan ibadah, sebaiknya saat Ibu dan suami mengeluarkan harta 2,5% hendaknya diniatkan sebagai zakat. Sehingga bernilai zakat. Jika tidak diniatkan zakat akan menjadi infak, sehingga akan ada implikasi hukumnya yaitu masih ada kewajiban bagi Ibu Acid dan Suami menunaikan zakat untuk diberikan kepada yang berhak (mustahik/ delapan ashnaf) dari harta dengan perhitungan berzakat 2,5% dari pendapatan Ibu dan Bapak yang sudah dilaksanakan.
2. Menurut penjelasan nomor 1 apabila yang dimaksud infak dari Ibu dan suami adalah infak sunnah maka boleh diberikan kepada siapa saja termasuk kepada sanak saudara (keluarga) atau orang tua sendiri. Bahkan Rasul sangat menganjurkan untuk menafkahkan hartanya kepada keluarganya. Nabi saw bersabda, "Dia mendapatkan dua pahala, yaitu pahala menyambung kekerabatan dan pahala sedekah." [HR Bukhari]
Demikian juga dengan zakat yang diberikan kepada sanak saudara ulama fiqih menjelaskan boleh hukumnya atau tidak berdosa untuk memberi kepadanya zakat. Sebab, mereka bukan menjadi tanggung jawab Ibu dan suami dengan catatan bahwa mereka betul-betul sangat membutuhkannya dan mereka dikategorikan sebagai mustahik zakat yaitu mereka masuk kriteria fakir atau miskin.
Hal ini sesuai dengan keumuman nash orang-orang fakir sebagai sasaran zakat, tanpa membedakan antara saudara jauh dengan orang lain, Allah SWT telah menjelaskan distribusi zakat kepada orang-orang yang berhak menerima zakat dalam surat At-Taubah (9) ayat 60: “Sesungguhnya shadaqah (zakat-zakat) itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,” (QS At-Taubah [9]: 60)
Tetapi kalau zakat Ibu dan suami diberikan kepada orang tua sendiri, menurut ulama tidak boleh diberikan kepada mereka sebab mereka masih tanggung jawab langsung Ibu dan suami dalam memberikan nafkah.
Jumhur ulama menjelaskan siapa saja yang tidak boleh menerima zakat di antaranya bapak, ibu atau kakek, nenek hingga ke atas atau anak-anak hingga ke bawah atau isteri dari orang yang mengeluarkan zakat, karena nafkah mereka di bawah tanggung jawab kita sebagai anak/menantu. Rasulullah Saw bersabda: “Kamu dan hartamu itu untuk ayahmu” (HR. Ahmad dari Anas bin Syu’aib)
Islam mengajarkan kepada setiap anak hendaknya berlaku baik dan adil kepada kedua orang tua sendiri termasuk memberikan nafkah kepada mereka. “ … dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. ….(QS. Al-Isra (17): 23)
Oleh karena itu, ulama sangat menganjurkan dalam penyaluran zakat mal hendaknya disalurkan kepada lembaga amil zakat baik BAZ maupun LAZ yang amanah agar zakat dapat lebih merata tersalurkannya dan dapat terberdayakan mustahiknya.
Al-hasil, Pada dasarnya menyalurkan zakat secara langsung tanpa melalui pengelola zakat adalah sah, karena tidak ada dalil yang melarangnya. Meskipun begitu, penyaluran zakat sangat dianjurkan melalui sebuah pengelola ataupun lembaga yang khusus menangani zakat, karena hal ini sudah dipraktekkan sejak zaman Rasulullah. Dahulu, dalam menangani zakat Rasulullah membentuk tim yang merupakan petugas zakat yang terdiri dari para sahabat untuk memungut zakat, dan hal ini diteruskan oleh generasi sahabat sesudahnya yang memiliki manfaat yang lebih besar dan lebih merata bagi mustahik.
Demikian semoga dapat dipahami. Waallahu A’lam.
Muhammad Zen, MA