Assalamualaikum,
Pak, kalau zakat mal boleh tidak diberikan ke anak yatim piatu tetapi dlm bentuk barang, seperti perlengkapan sholat.
Mohon pencerahannya
Terima kasih
Wa’alaikum salam wr. wb. Terima kasih atas pertanyaannya Bu Yuli yang baik.
Pertanyaan pertama ibu boleh tidak zakat diberikan ke anak yatim piatu?
Allah Swt berfirman dalam QS At-taubah (9): 60 menjelaskan tentang orang yang berhak mendapatkan zakat ada delapan golongan yaitu orang-orang fakir, orang-orang miskin, para pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.
Berdasarkan ayat tersebut, madzhab syafi’ie berpendapat wajib mengeluarkan zakat (fitrah dan mal) kepada delapan kelompok. Sedangkan mayoritas ulama (hanafi, maliki dan hanbali) memperbolehkan pembagian zakat hanya kepada satu kelompok saja. Dengan demikian berarti zakat boleh diberikan kepada satu kelompok saja yang sangat membutuhkan dibandingkan dengan lainnya. Namun sangat dianjurkan untuk memberikan zakat kepada delapan kelompok yang ada.
Zakat adalah sebuah kewajiban yang bersifat sosial pemberdayaan. Pandangan ini didasarkan atas argumen: urutan pertama asnaf zakat (fakir) adalah kelompok ekonomi lemah, tidak mampu memenuhi sebagian kebutuhan dasar hidupnya dan tanggungannya. Ini menegaskan peran krusial sosial dari zakat. Orang fakir yaitu orang yang tidak memiliki harta atau penghasilan yang layak dalam memenuhi keperluannya seperti sandang, pangan, tempat tinggal dan segala keperluan pokok lainnya, baik untuk dirinya maupun untuk menjadi tanggungannya. Dengan kata lain fakir bisa diartikan orang-orang yang sehat atau jujur, tetapi tidak mempunyai pekerjaan sehingga tidak mempunyai penghasilan. Ada sebagian ulama yang menjelaskan juga tentang kategori fakir mereka adalah orang-orang jompo, termasuk anak yatim piatu bahkan orang-orang cacat yang tidak mempunyai penghasilan,.
Alhasil, berarti zakat boleh diberikan kepada anak yatim piatu sebab mereka dikategorikan sebagai kelompok orang-orang fakir (mustahik zakat)
Pertanyaan berikutnya boleh tidak zakat dengan barang seperti perlengkapan sholat?
Pada dasarnya zakat komoditas dagang atau zakat profesi, dibayar dalam bentuk uang berdasarkan harga yang berlaku pada waktu kewajiban zakat itu tiba, bukan berupa barang. Pendapat ini berdasarkan riwayat dari Umar bin Khatthab r.a. yang berkata kepada Hammas, "Bayarlah zakat hartamu!" Hammas menjawab, "Saya hanya memiliki beberapa buah kantong kulit." Umar menyuruh, "Taksir harganya lalu bayar zakatnya." Pendapat ini lebih berguna bagi kaum fakir supaya mereka dapat memenuhi hajat hidupnya yang bermacam-macam.
Menurut pendapat Syekh Yusuf Qardhawi, bahwa membayar zakat dengan menggunakan uang adalah yang lebih sesuai untuk kondisi zaman sekarang, karena lebih memudahkan kaum muslimin dalam pembayaran zakat dan lebih mudah dalam perhitungannya.
Walau demikian, boleh mengeluarkan zakat dalam bentuk barang untuk mempermudah dan meringankan si pembayar zakat ketika kondisi perdagangan sedang lesu atau arus likuidasi lemah, atau karena sangat bermanfaat sekali dengan memberikan barang seperti perlengkapan alat sholat dengan syarat barang tersebut harus dapat dimanfaatkan dan sangat dibutuhkan oleh kaum miskin. Sehingga akan sangat berbekas bahwa zakat lebih besar manfaatnya dari hanya sekedar pemenuhan kebutuhan primer.. Kalau tidak, sangat lebih bijak pemberian zakat dengan uang sebab bisa memenuhi kebutuhan pokok makanan mustahik. Hal ini akan lebih bermanfaat bagi mereka dan mereka dapat membelanjakannya sesuai dengan kebutuhan mereka sehari-hari. Jika kita menyalurkannya dalam bentuk barang, belum tentu barang yang disalurkan kepada mereka adalah barang yang mereka butuhkan. Apabila barang tersebut memang merupakan barang yang menjadi kebutuhan mereka, maka hal tersebut tidaklah masalah.
Namun jika barang tersebut bukan merupakan barang yang menjadi kebutuhan mereka, maka hal ini akan menyulitkan mereka, karena mereka harus menjual terlebih dahulu barang yang mereka dapatkan dari zakat, untuk kemudian ditukarkan dengan barang yang menjadi kebutuhan mereka. Misalnya ibu menyalurkan zakat dalam bentuk pakaian/perlengkapan sholat , tapi sebenarnya yang dibutuhkan para mustahik adalah makanan, tentu para mustahik tidak akan secara langsung mendapatkan manfaat dari zakat tersebut, karena mereka harus terlebih dahulu bersusah payah menjualnya, setelah laku baru mereka dapat membelanjakannya untuk sesuatu yang menjadi kebutuhan mereka seperti makanan.
Dengan zakat itulah solidaritas dapat direntangkan antara kaum yang mampu dengan kaum yang lemah. Sekaligus berarti menunaikan salah satu rukun Islam yang merupakan kewajiban pokok kita dan dengan itu pula partisipasi kita dalam pembangunan menjadi nyata.
Keberhasilan zakat tergantung kepada pendayagunaan dan pemanfaatannya. Walaupun seorang wajib zakat (muzakki) mengetahui dan mampu memperkirakan jumlah zakat yang akan ia keluarkan tidak dibenarkan ia menyerahkannya kepada sembarang orang yang ia sukai. Zakat harus diberikan kepada yang berhak (mustahik) yang sudah ditentukan menurut agama. Penyerahan zakat boleh dilakukan sendiri langsung namun lebih afdhal (utama) adalah melalui badan amil zakat, lembaga amil zakat atau melalui unit pungutan zakat (upz) agar lebih adil dan amanah tersalurkannya.
Demikian semoga dapat dipahami. Waallahu A’lam.
Muhammad Zen, MA