Ass Wr Wb,
Pak Ustadz yg budiman. Saya ada pertanyaan mengenai perhitungan zakat..
Katakanlah saya membeli baju; dimana saya sebenarnya masih memiliki beberapa baju yang masih layak dipakai atau barang2 yang lain misalnya kacamata dsb.
1. Apakah pengeluaran ini dapat dikatakan sebagai pengeluaran dan adakah batasan mengenai hal ini ( definisi mengenai pengeluaran untuk kebutuhan pokok ).
2. Bagaimankah cara terbaik supaya terhindar dari kemungkinan kurang dalam jumlah dari zakat yg dibayarkan.
terima kasih…
Wass wr wb
Wa’alaikum salam wr. wb. Terima kasih atas pertanyaannya Bapak Lalu Syakir yang baik.
"Hai orang-orang yang beriman nafkahkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik, bagitu juga hasil bumimu yang telah Kami keluarkan untukmu. Jangan sengaja kamu berikan, yang tidak baik, sedang kamu sendiri tidak mau menerimanya yang seperti itu kecuali dengan memicingkan mata. Ketahuilah! Bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji". (QS. Al-Baqarah (2): 267)
1. Pada dasarnya zakat baru wajib dikeluarkan setelah dikurangi kebutuhan pokok. Allah berfirman, “dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan (zakatkan). Katakanlah: " yang lebih dari keperluan.” (QS. al Baqarah (2): 219). Model ini biasanya disebut dengan pendekatan netto. , Menurut Yusuf Al-Qardhawi zakat model ini lebih tepat bagi yang gajinya pas-pasan sebaiknya menggunakan netto (Fqh Zakat).
Definisi mengenai pengeluaran untuk kebutuhan pokok, apakah termasuk membeli baju atau kaca mata. Umumnya ulama menjelaskan kebutuhan pokok yang dimaksud adalah kebutuhan minimal yang diperlukan seseorang dan keluarga yang menjadi tanggungannya, untuk kelangsungan hidupnya seperti belanja sehari-hari, pakaian, rumah, kesehatan, dan pendidikan. Bahkan ada juga yang menjelaskan barang-barang yang dimiliki untuk kebutuhan pokok, seperti rumah pemukinan.
Kebutuhan pokok (Alhajatul Ashliyah) adalah kebutuhan minimal yang diperlukan seseorang dan keluarga yang menjadi tanggungannya, untuk kelangsungan hidupnya. Artinya apabila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi yang bersangkutan tidak dapat hidup layak. Kebutuhan tersebut seperti kebutuhan primer atau kebutuhan hidup minimum (KHM). Orang yang menghitung kebutuhan pokoknya terlebih dahulu sebelum berzakat, tidak bisa dipersalahkan, asal hitungannya adalah hitungan yang wajar dan sangat dibutuhkan.
Dr. Yusuf Qardhawi menjelaskan kebutuhan hidup yang dimaksud adalah kebutuhan pokok, yakni, papan, sandang, pangan dan biaya yang diperlukan atau kebutuhan biaya hidup terendah atau kebutuhan pokok seseorang berikut tanggungannya.
Menurut hemat kami, kebutuhan pokok menurut ulama adalah termasuk membeli baju/sandang yang betul-betul dibutuhkan dan dipergunakan. Namun, jika membeli baju yang dimaksud untuk pamer dan berlebih-lebihan kemungkinan besar tidak termasuk dari kebutuhan pokok yang dimaksud. Demikian halnya, membeli kaca mata berdasarkan penjelasan tersebut tidak termasuk dari kebutuhan pokok yang dijelaskan oleh para ulama.
Al-hasil, kekayaan apapun yang dimiliki orang diwajibkan zakatnya setelah kekayaan itu dipergunakan untuk kebutuhan yang betul betul perlu (primer) sehari-harinya, seperti makan, pakaian, tempat tinggal, kendaraan dan alat bekerja kemudian masih ada lebihnya. Jika untuk keperluan yang primer itu tidak cukup maka ia tidak berkewajiban zakat. Namun janganlah sekali-kali orang menyalahgunakan ketentuan ini guna menghindari kewajiban zakat.
2. Bagaimankah cara terbaik supaya terhindar dari kemungkinan kurang dalam jumlah dari zakat yg dibayarkan. Ulama mengenai masalah ini berbeda pendapat Pertama, ada yang berpendapat melalui netto (pendapatan bersih) baru dizakatkan, di mana menghitung dari pendapatan bersih (netto) Besar Zakat Profesi = ( Pendapatan total-Pengeluaran Perbulan ) x 2,5 %. Kedua ada juga yang berpendapat bahwa zakat dikeluarkan melalui brutto (pendapatan kotor) langsung dikeluarkan zakat. Dimana menghitung dari pendapatan kasar (brutto) Besar Zakat Profesi = Pendapatan total x 2,5 %
Menurut sebagian ulama kontemporer cara terbaik mengeluarkan zakat yaitu pendapat kedua yaitu zakat dikeluarkan melalui brutto (pendapatan kotor) langsung dikeluarkan zakat. Yusuf Qordhowi sangat menganjurkan untuk menghitung zakat dari pendapatan kasar (brutto), untuk lebih menjaga kehati-hatian agar tidak mencari-cari alasan tidak berzakat. Menurut beliau, kalau orang yang kaya ada baiknya menggunakan pendekatan brutto.
Hal ini sesuai yang pernah dipraktekkan –Zakat Profesi berdasarkan brutto– dimasa Sahabat dan Tabi’in: Misalnya Abu Ubaid menjelaskan dari Ibnu Abbas tentang seorang laiki-laki yang memperoleh penghasilan “Ia mengeluarkan zakatnya pada hari ia memperolehnya”. Demikian pula diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah. Hadist tersebut shahih dari Ibnu Abbas. Demikian juga Hubairah mengatakan bahwa Ibnu Mas’ud mengeluarkan zakat pemberian yang ia terima sebesar dua puluh lima (25) dari seribu (1000). Malik dalam al-Muwaththa dari Ibnu Syaib menjelaskan bahwa orang yang pertama kali mengenakan zakat dari pemberian (Profesi) adalah Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Abu Ubaid menyebutkan bahwa bila Umar memberikan gaji seseorang ia memungut zakatnya.
Jadi, orang yang berzakat hartanya akan berkah, tumbuh-berkembang, terbebas dari malapetaka bahkan dikategorikan oleh Allah sebagai orang- orang yang beruntung. (QS. Al-Mu’minun: 1-4). Sebaliknya, mereka yang enggan berzakat atau yang mencari ribuan alasan agar tidak berzakat mereka akan dimasukkan ke dalam neraka bahkan harta tersebut akan dikalungkan di lehernya kelak. Firman Allah Ta’ala (yang artinya): “Sekali-sekali janganlah orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu kelak akan dikalungkan di lehernya di hari kiamat.” (Ali Imron : 180)
Demikian semoga dapat dipahami. Waallahu A’lam.
Muhammad Zen, MA