Assalamualaikum wr. wb.
Saya mau bertanya, kepada siapa saya harus membayar kifarat? Saya pernah melakukan hubungan badan dengan istri. Saya kira sudah beres haid karena sudah tidak ada darah, tetapi setelah berlangsung saya menyadari masih ada darah yang keluar, tapi saya tetap meneruskannya. Saya baca di beberapa artikel kami harus bertobat dan harus membayar kifarat 1/2 dinar. Kalau saya mau membayar kifarat kepada siapa saya harus membayar? 1/2 dinar itu berapa gram emas? Terima kasih sebelumnya.
Wa’alaikum salam wr. wb. Terima kasih atas pertanyaannya saudara NN yang super.
Menurut bahasa, haid berarti sesuatu yang mengalir. Dan menurut istilah syara’ ialah darah yang terjadi pada wanita secara alami, bukan karena suatu sebab, dan pada waktu tertentu. Jadi haid adalah darah normal, bukan disebabkan oleh suatu penyakit, luka, keguguran atau kelahiran. (Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnahi) Mengenai waktu lamanya haid para ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan sekurangnya sehari semalam. Ada juga yang mengatakan tiga hari. Adapun batasan maksimum ada yang mengatakan sepuluh hari dan ada yang mengatakan lima belas hari. Hanya bila seorang wanita telah mengalami kebiasaan yang telah berulan-ulang, hendaknya ia berbuat berdasarkan itu dan diperbolehkan berhubungan suami istri setelah bersuci.
Kifarat secara bahasa berarti menutup. Sedangkan secara istilah yaitu sejumlah denda yang wajib dibayar oleh seseorang yang melakukan perbuatan tertentu yang dilarang oleh Allah. Kifarat adalah hak Allah sebagai tanda bertobat.
Sehingga menurut ulama kifarat wajib dilakukan karena melakukan pelanggaran-pelanggaran tertentu. Dan shaum kifarat dimaksudkan untuk menghapuskan dosa atau hilaf tersebut. Shaum kifarat itu tiga hari puasa bagi mereka yang melakukan sumpah palsu. 60 hari puasa bagi mereka yang membunuh manusia tidak sengaja, suami yang melakukan dzihar, mengharamkan istri disamakan dengan haramnya nikah/bergaul dengan ibu sendiri, dan bagi mereka yang melakukan hubungan seks siang hari pada bulan Ramadhan. Sebetulnya semua shaum dan ibadah-ibadah lainnya mempunyai fungsi kifarat, penghapus dosa-dosa kecil.
Kifarat umumnya sering digunakan yaitu sebagai denda atas pelanggaran sumpah atau berhubungan suami istri pada siang hari saat puasa di bulan ramadhan. Penyaluran membayar kifarat diberikan kepada orang miskin yang ada di sekitar rumah saudara NN. Dari berbagai sumber kitab fikih, kami belum menemukan berhubungan badan saat istri sedang haid wajib membayar kifarat. Yang ada kifarat atas sumpah dan berhubungan suami istri pada siang hari saat puasa di bulan ramadhan.
Kifarat atas pelanggaran sumpah firman Allah Swt:
“Maka kafaratnya memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa yang tidak sanggup melakukan yang demikian itu, maka kafaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kafarat sumpah-sumpahmu. Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan hukum-hukum Nya agar kamu bersyukur” (QS. al-Maidah (5): 89)
Adapun perintah membayar kifarat dari bersetubuh di siang hari bulan Ramadan bagi yang berpuasa dan wajib membayar kifarat. Menurut pendapat Hanafi, Syafi’i dan Hanbali bahwa kifarat ini mesti dilaksanakan secara tertib. Maksudnya, pertama mesti memerdekakan budak, jika tidak mampu baru boleh pindah kepada kifarat yang kedua, puasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu juga baru boleh pindah kepda kifarat yang ketiga, memberi makan enam puluh orang miskin. Di mana kifarat tersebut harus dilaksanakan bagi yang mampu atau tidak mampu dan bagi yang tidak mampu tanggungan kifarat tersebut ditunggu sampai mampu.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Seorang lelaki datang menemui Nabi saw. dan berkata: Celaka saya, wahai Rasulullah. Beliau bertanya: Apa yang membuat engkau celaka? Lelaki itu menjawab: Saya telah bersetubuh dengan istri saya di siang hari bulan Ramadan. Beliau bertanya: Apakah engkau mempunyai sesuatu untuk memerdekakan seorang budak? Ia menjawab: Tidak punya. Beliau bertanya: Mampukah engkau berpuasa selama dua bulan berturut-turut? Ia menjawab: Tidak mampu. Beliau bertanya lagi: Apakah engkau mempunyai sesuatu untuk memberi makan enam puluh orang miskin? Ia menjawab: Tidak punya. Kemudian ia duduk menunggu sebentar. Lalu Rasulullah saw. memberikan sekeranjang kurma kepadanya sambil bersabda: Sedekahkanlah ini. Lelaki tadi bertanya: Tentunya aku harus menyedekahkannya kepada orang yang paling miskin di antara kita, sedangkan di daerah ini, tidak ada keluarga yang paling memerlukannya selain dari kami. Maka Rasulullah saw. pun tertawa sampai kelihatan salah satu bagian giginya. Kemudian beliau bersabda: Pulanglah dan berikan makan keluargamu. (HR. Muslim)
Adapun mengenai berjima saat istri haid Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid (jilid I: 43) menjelaskan ada perbedaan ulama fikih dalam menghukumi berhubungan badan saat istri sedang haid. Jumhur ulama diantaranya Imam Malik, Imam As-Syafii dan Imam Abu Hanifah menjelaskan cukup bagi pelakunya untuk bertobat kepada Allah dengan beristigfar dan tidak dihukumi adanya perintah bersedekah. Berbeda dengan Imam Ahmad bin Hanbal yang menganjurkan bersedekah dengan satu dinar atau setengah dinar.
Menurut Yusuf al-Qardhawi perhitungan 1 dinar setara dengan 4,25 gram emas dan ½ dinar setara dengan 2,125 gram emas. Kalau diequivalenkan ke nominal rupiah (asumsi @1 gram emas x Rp. 300.000) 4,25 gram emas = Rp. 1.275.000,-, sedangkan 2,125 gram emas = Rp. 637.500,-
Al-hasil, dalam menghukumi berhubungan badan saat istri sedang haid ulama fikih lebih memilih pendapat jumhur ulama di mana cukup bagi pelakunya untuk bertobat kepada Allah dengan beristigfar saja dan tidak dihukumi adanya perintah bersedekah apalagi kifarat.
Demikian semoga dapat dipahami. Waallahu A’lam.
Muhammad Zen