Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Saya mau bertanya ustadz, apakah memberikan zakat harus ada ijab qobulnya?? karena biasanya saya memberikan zakat secara langsung tanpa melalui BAZ.
Apakah pajak penghasilan yang harus dizakati itu penghasilan bruto atau netto(maksudnya penghasilan dikurangi kebutuhan primer dulu)
Mohon penjelasanya ustadz,
Wassalam.
Terima kasih atas pertanyaan hamba Allah yang budiman.
1. Ijab qabul adalah adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan suatu keridhaan dalam berakad di antara dua orang atau lebih. Berdasarkan pengertiaan di atas, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan ijab qabul adalah suatu yang sengaja dilakukan oleh kedua belah pihak berdasarkan persetujuan masing-masing dan menunjukan kehendak kedua belah pihak.
Ada ulama yang menjelaskan bahwa menunaikan zakat harus terdapat akad penyerahan dan penerimaan zakat (wajib adanya ijab kabul). Jika tidak maka zakatnya dianggap sebagai sadaqah/sunnah saja. ijab qabul zakat hendaknya disebutkan secara jelas yaitu dengan menyatakan: “Aajaraka Allahu fi maa a’thaita wa baraka fi maa abqaita” (mudah-mudahan Allah memberikan pahala pada harta yang telah engkau berikan dan mudah-mudahan pula Allah memberikan keberkahan pada harta anda yang lainnya). Baik itu ditunaikan secara langsung kepada yang membutuhkan atau melalui BAZ/LAZ. Hal inilah yang dijelaskan Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam bukunya ”Al-Fiqh al-Islam wa adillatuhu” menyerahkan zakat kepada mustahik langsung atau kepada wakilnya yaitu imam atau petugas zakat (BAZ/LAZ) merupakan rukun zakat.
Ada juga ulama yang menjelaskan bahwa ijab kabul di dalam penyerahan harta zakat sesungguhnya bukan hal yang mutlak menjadi syarat. Sehingga, bila tidak ada ijab kabul dalam zakat, maka zakat itu menjadi sah. Banyak pakar dan penggeliat zakat menjelaskan bahwa pembayaran zakat di masa datang, tak akan dikenali lagi ijab kobul. Jadi, orang tak lagi membaca doa pemberi zakat dan si penerima zakat tak perlu lagi mengucapkan doa penerima zakat sambil bersalaman seperti banyak terjadi di tempat penerima zakat yang dikenal selama ini.
Apalagi di era globalisasi ini kemajuan teknologi yang memberikan kemudahan kepada seseorang untuk beramal harus didorong yang penting niat ikhlas. Jika seseorang berzakat lewat SMS, sesungguhnya dia telah memiliki niat untuk berzakat. Dan ketika diterima oleh amil, maka amil pun menerimanya dan langsung mendoakannya. Karena itu, sah-sah saja berzakat atau berinfak melalui SMS meskipun ijab qabulnya tidak disertai dengan bersalaman antara muzakki dengan amil. Era modern ijab kabul dengan muka ketemu muka, memang sudah tidak dibutuhkan lagi. Sebab sistem ini sudah bisa menggantikan fungsi tersebut. Bahkan dalam jual beli yang sangat memperhatikan masalah ijab kabul, tetap bisa dilakukan secara online atau by phone. Apalagi dalam masalah setoran uang zakat, tentu lebih mudah lagi. Kemudahan transaksi keuangan dan ditopang kemajuan teknologi di berbagai perbankan juga membuat orang mempunyai banyak pilihan sehingga tak perlu bersusah payah dalam membayar zakat.
Justru ulama fiqih menegaskan syah atau tidaknya zakat semuanya tergantung niatnya. Oleh karena itu orang yang membayarkan zakatnya harus dengan niat membayar zakat, baik diucapkan maupun tidak diucapkan secara langsung. Adapun pelaksanaan niat itu ialah pada waktu melaksanakan zakat apakah hamba Allah memberikannya langsung kepada mustahik atau melalui lembaga zakat seperti BAZ/LAZ. Niat itu dengan ikhlas lillahi ta’ala, artinya zakat itu dilaksanakan karena diperintahkan diwajibkan oleh Allah, berharap semoga zakatnya diterima oleh Allah yang dengan sendirinya ia akan mendapat pahala balasan dan penuh keyakinan. Kesemuanya itu berdasar atas Al Qur’an surat Al Bayyinah (98:5): ”Mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama dengan lurus”.
Bahkan saat berzakat tidak diperkenankan untuk menyebut/menyakiti mustahik “Hai orang orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut~yebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia”. (QS. Al Baqarah (2) : 264). Jika zakat yang dikeluarkan diniatkan zakat maka menjadi ibadah zakat, tetapi kalau tidak diniatkan untuk zakat maka tidak menjadi zakat sehingga menjadi wajib zakat lagi.
Al-hasil, menurut penulis inti ijab dan qabul yaitu yang menunjukkan keridhaan dan keikhlasan dalam hati saat menyerahkan zakat. Apalagi kemajuan teknologi sangat mudah dipergunakan saat berzakat bisa via sms, kartu kredit, transfer maupun via internet dan sebagainya. Bahkan dalam jual beli yang sangat memperhatikan masalah ijab kabul, tetap bisa dilakukan secara online atau by-phone tanpa ijab qabul. Apalagi dalam masalah setoran uang zakat, tentu lebih mudah lagi. Karena itu, Kalau hamba Allah menyerahkan zakat secara langsung berarti sudah ada ijab dan qabul, namun perlu dipertegas niat hamba Allah dalam berzakat (secara jelas melafalkannya maupun di dalam hati). Menurut ulama fiqih memberikan zakat langsung ke mustahik dinilai syah. Namun pelaksanaan zakat akan lebih afdhal lagi apabila melalui BAZ/LAZ karena akan lebih banyak manfaatnya di samping sebagai syiar Islam.
2. Brutto atau Netto?
Pertanyaan yang kedua dari hamba Allah yaitu pajak penghasilan yang harus dizakati itu penghasilan bruto atau netto? Dalam hal ini, menurut hemat penulis mungkin penanya salah mengetik bukan pajak penghasilan tetapi zakat penghasilan/profesi itu brutto atau netto?
Zakat Penghasilan adalah zakat yang dikeluarkan dari penghasilan bila telah mencapai nishab. Mengenai masalah ini ulama berbeda pendapat ada yang lebih berpendapat pada netto dan ada juga yang brutto. Alasan bagi pendukung netto, sebab pada dasarnya zakat baru wajib dikeluarkan setelah dikurangi kebutuhan pokok/kebutuhan primer. Allah berfirman, “dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan (zakatkan). Katakanlah: " yang lebih dari keperluan.” (QS. al Baqarah (2): 219). Model ini biasanya disebut dengan pendekatan netto.
Orang yang menghitung kebutuhan pokoknya terlebih dahulu sebelum berzakat, tidak bisa dipersalahkan, asal hitungannya adalah hitungan yang wajar, seperti pelunasan hutang cicilan bulanan. Tetapi sebagian ulama menganjurkan pendekatan brutto, demi kehati-hatian saja. Oleh karena itu, ulama pendukung ini sangat dianjurkan untuk menghitung zakat dari pendapatan kasar (brutto), untuk lebih menjaga kehati-hatian. Abu Ubaid dalam Kitab al-Amwal meriwayatkan: "Hubairah mengatakan bahwa Ibnu Mas’ud mengeluarkan zakat pemberian yang ia terima sebesar dua puluh lima (25) dari seribu (1000)." Berdasarkan hadits tersebut sahabat Ibnu Mas’ud mengeluarkan zakat secara brutto.
Lebih jelasnya untuk menghitung zakat penghasilan bisa dengan netto atau brutto
• Menghitung dari pendapatan kasar (brutto):
Besar Zakat yang dikeluarkan = Pendapatan total (keseluruhan) x 2,5 %
• Menghitung dari pendapatan bersih (netto):
Pendapatan wajib zakat=Pendapatan total – Pengeluaran perbulan*) x 2,5 %
Keterangan :
*) Pengeluaran perbulan termasuk : Pengeluaran diri, istri, 3 anak, orang tua yg jadi tanggungan dan Cicilan Rumah. Bila dia seorang istri, maka kebutuhan diri, 3 anak dan cicilan Rumah tidak termasuk dalam pengeluaran perbulan.
Alangkah indahnya kalau harta yang sudah cukup nishab menggunakan perhitungan brutto akan lebih utama, di banding dengan netto yang awalnya harta kita cukup nishab kemudian umumnya muzakki mencari-cari alasan biar supaya tidak berzakat, ini yang tidak dibenarkan. Ingatlah saudaraku Allah akan menyiksa hambanya yang enggan berzakat. ” …dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih” (QS. At-Taubah (9): 34).
Al-hasil, zakat secara langsung sebetulnya sudah terlaksana ijab dan qabul, apalagi ijab qabul untuk konteks teknologi modern boleh jadi menjadi hilang, yang terpenting adalah niat penunaian zakat baik secara netto maupun brutto. Semoga dapat dipahami.
Waallahu a’lam
Muhammad Zen, MA