Hidup dalam lingkungan yang tidak ramah bagi anak, diusianya yang 11 tahun, ia belum bisa baca tulis. Gaya bicaranya cukup komunikatif dan kadang sangat polos. Bahkan dengan kepolosannya, kata-kata yang terucap lebih dewasa dibandingkan anak seusianya.
Nadira Chairunisa Ramadhanty namanya, ia lahir di lingkungan yang tidak ramah bagi anak seusianya. Tanpa pengasuhan, penjagaan serta kelembutan dan kasih sayang kedua orangtuanya. Sejak kecil ia tinggal bersama Eyang Lisa yang usianyapun sudah lanjut (60-an).
“Saya gak tahu ayah saya yang mana. Kata tetangga sih ayah saya ada tiga,” tutur Dhanty, nama panggilannya, sambil tersenyum polos. Kalau mamah, lanjutnya, kadang masih bertemu tapi hanya ngasih uang jajan paling Rp 5 ribuan.
“Mamah selalu pergi, kalau ada di rumah perginya malem, pulangnya pagi,” cerita Danty sambil menyebut pekerjaan mamahnya tidak patut.
Sejak usia 7 tahun ia harus bekerja di warung Bu Yoyoh, tetangganya. “Saya nyuci, ngepel dan bantu-bantu jualan di warungnya Bu Yoyoh” ungkapnya.
Keinginannya untuk bersekolah cukup tinggi, demi memenuhi semangatnya ia sampai 3 kali keluar masuk SD. Dhanty hanya pernah merasakan indahnya sekolah di kelas 1 (Satu). Di SD Kairing 23, SD Kairing 15 dan SD Kairing 31 di daerah Bekasi. 3 sekolah tersebut pernah dicicipi Dhanty, walau hanya untuk beberapa bulan saja.
Kehidupan Dhanty yang cukup keras tidak hanya sampai disitu. Dhanty juga harus mengasuh kedua adiknya yang masih kecil. Miris, adiknya yang terakhir menderita gizi buruk.
Melihat kehidupan Dhanty demikian keras siapapun yang memiliki rasa kemanusiaan pasti iba. Endang Nugrahaningtyas (38), seorang wanita karir yang sudah lama menjadi wakif Badan Wakaf Al Qur’an (BWA) ini terpanggil menolong Dhanty.
Ia membawa adiknya Dhanty ke Rumah Sakit terdekat. Sementara Dhanty dititipkan kepada Ayu (32), adik kandungnya. Endang kemudian merekomendasikan kepada Ayu untuk memperkenalkan Dhanty ke BWA.
Ayu turut prihatin kepada Dhanty, melihat Dhanty cukup rajin dan supel ketika tinggal di rumahnya. Ia berniat membantu membiayai sekolah Dhanty.
Namun Ayu berharap kepada BWA untuk turut menyambungkan perihal Dhanty kepada donatur lain yang tergugah. Ia sangat berharap BWA dapat mengawal sekolah Dhanty agar pendidikannya bisa terus berlanjut sampai cita-citanya tercapai.
Program Indonesia Belajar (IB), kemudian menyarankan agar Dhanty disekolahkan dan diasramakan di sebuah lembaga pendidikan Islam yang terpercaya dan syar’i. Yang selama ini BWA sudah menempatkan beberapa anak yang dibantu, Yakni di Mushab bin Umair Boarding School Karawang, Jawa Barat.
“Saya sangat senang, saya ingin jadi dokter kandungan,” ungkap Dhanty memastikan bahwa dirinya akan rajin dan betah bersekolah.
Tentu, sejatinya masih banyak anak-anak yang nasibnya serupa dengan Dhanty di tanah air ini. Mudah-mudahan, uluran tangan kita membantu Dhanty merupakan satu amalan nyata mengentaskan masalah pendidikan anak-anak kaum muslimin di Indonesia.
Cerita lebih lengkap tentang Dhanty klik disini!