Meski teknologi kelistrikan sudah masuk nusantara sejak akhir abad 19 silam, tercatat hingga akhir tahun 2012 kemarin masih ada 16,8 juta keluarga di Indonesia belum menikmatinya.
Dusun Ampiri, Desa Bacu-Bacu salah satunya. Desa yang berada di kabupaten Barru, Sulawesi Selatan ini harus melewati hari-hari hanya sampai sore, malam-malam ditemani jelaga dari sepercik pelita dan kesunyian sentiasa menyelimuti kehidupan mereka.
Warga mengakui, pernah menikmati terangnya cahaya listrik dari genset berbahan bakar solar. Tetapi, upaya yang dilakukan Pemda Barru tersebut rupanya hanya mampu bertahan selama dua bulan di awal tahun 2008 lalu.“Saya dan juga warga lainnya harus menempuh jarak sekitar 15 Km dengan naik kuda hanya untuk mendapatkan solar. Dan itu pun belum tentu ada, bila ada, harganya sering kali melambung hingga dua kali lipat dari harga normal,” ungkap Harianto Albarr, putra daerah dusun Ampiri.
Makanya, tambah Albarr, ketika mesin genset tersebut rusak, warga enggan memperbaiki. Dan hingga kini, dusun yang dihuni oleh warga yang mayoritas berpendidikan SD itu kembali gelap gulita.
Gelapnya dusun Ampiri tersebut terus menerus menemani gelapnya masa depan warganya. 80% warga hanya mengenyam pendidikan sampai SD dan lebih dari 19% tidak tamat SD. Alhasil, kondisi ekonomi masyarakat setempat kebanyakan berpenghasilan rendah. Rata-rata mereka menyandarkan sumber penghidupannya dari bertani. Dan pada waktu tertentu dari hasil industri kreatif anyaman tikar pandan.
Adalah Harianto Albarr warga dusun Ampiri yang beruntung dapat mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi. Meski belum rampung dari kuliahnya di Universitas Makassar, Fakultas MIPA, Jurusan Kimia, ia tergerak untuk membawa warganya pada masa depan yang cerah.
Ia bertekad untuk membangun pembangkit listrik mikrohidro dengan kapasitas 50 KVA. Dengan pembangkit ini, diharapakan mampu menerangi setiap rumah di dusun Ampiri yang dihuni oleh sekitar 1.500 jiwa tersebut. Serta menerangi masjid, sekolah dan menggerakan industri kreatif rumahan yang akan menggunakan tenaga listrik di bidang pengolahan kacang tanah, gula aren dan madu hutan.
Harapan Albarr sangat realistik, karena sungai yang mengalir di Ampiri memiliki debit air sekitar 500 liter per detik dan memiliki ketinggian sampai 70 meter. Menurut perhitungan Jon Kanidi, ahli teknologi mikrohidro dari Bandung, jika seluruh aliran sungai ini dimanfaatkan untuk pembangkit listrik mikrohidro maka dapat menghasilkan daya sekitar 194,60 KVA.
Badan Wakaf Alquran (BWA) melalui program Tebar Cahaya Indonesia Terang (TCIT) menjadikan Harianto Albarr sebagai mitra lapangnya di Ampiri. Dengan hasil perhitungan di atas, BWA akan membangun pembangkit listrik 50 KVA dengan memanfaatkan sebagian aliran sungai.
BWA mengajak kaum Muslimin yang dirahmati Allah SWT untuk berwakaf, mendonasikan sebagian rizkinya. Wakaf yang Anda alirkan akan meningkatkan kualitas pendidikan dan perekonomian warga Ampiri. Insya Allah, setiap daya listrik yang menerangi saudara kita di dusun Ampiri akan kembali kepada wakif sebagai pahala yang mengalir tiada akhir. Selamat berwakaf!
Ingin berwakaf klik disini (atau advertorial kami – BWA- di eramuslim.com)