Ketiadaan biaya dan fisik yang lemah sama sekali tidak membuat tekad Ani Handayani (18 tahun) pupus untuk terus melanjutkan sekolah. Berkat keseriusannya itu, guru Madrasah Tsanawiyah membantunya masuk Madrasah Aliyah, padahal ijazah MTs-nya, belum dapat ditebus lantaran tunggakan biaya SPP.
“Apa pun yang terjadi saya harus tetap sekolah!” tegas gadis yang saat ini duduk di kelas X, MA Al Islamiyah PUI, Jakarta.
Menurutnya, lebih tinggi tingkat pendidikan maka akan lebih mudah untuk mencari nafkah. Dengan begitu, nasib keluarganya akan berubah. “Hanya Allah yang tahu apa yang akan terjadi dalam kehidupan kami nanti, yang pasti saya ingin merubah nasib keluarga,” tegasnya.
Tegar
Ani lahir di Cianjur, 7 Mei 1995. Warga Kampung Cipari RT 04 RW 06 Desa Bojong, Kecamatan Kebon Pedes, Sukabumi tersebut merupakan anak pertama dari lima bersaudara. Ia dan adik Nurhalimah (16) sekolah sekelas di Jakarta.
Waktu SD, Ani terkena penyakit bronchitis sehingga sekolahnya terhambat setahun. Saat kelas tiga, ia dan Nurhalimah tinggal bersama kakek dan nenek. Karena ayah dan ibu mengadu nasib ke Jakarta dengan berjualan cilok (salah satu jajanan khas Sunda mirip bakso yang terbuat dari tepung tapioka dan berbumbu kacang).
Sejak itu Ani hilang kontak dengan kedua orangtuanya. Lantaran, sekali orangtuanya tidak pernah pulang atau pun memberi kabar. Belakangan setamat SD, sang ayah Daman (45) pulang menjemputnya untuk sekolah di Jakarta.
Ani di sekolahkan di SMP swasta. Dua bulan sekolah kembali sakit-sakitan. Dokter bilang lemah jantung. Tetapi ia tetap memaksakan untuk sekolah. Namun sayang, giliran ujian semester, pihak sekolah melarangnya ikut ujian. Lantaran cicilan uang bangunan, uang pangkal dan SPP belum dibayar. Akhirnya, Ani berhenti sekolah.
Karena usaha di Jakarta tidak membuat nasib keluarga lebih baik, Ani dan keluarganya kembali ke Sukabumi.
Sebetulnya, Ani ingin bekerja membantu keluarga, namun ia berfikir nasibnya tidak akan berubah kalau tidak sekolah. Maka meski tidak ada biaya, ia meneruskan sekolah ke MTs Al Musthafa Sukabumi. Singkat cerita, Ani pun tamat MTs. Namun malang, ijazasahnya ditahan, lantaran uang bangunan dan SPP masih menunggak.
Daman tidak putus asa, ia merantau ke Tangerang menjadi kuli bangunan. Namun penghasilannya tetap saja minim sehingga tidak dapat membayar tunggakan sekolahnya.
Makanya, Ani tidak yakin dapat meneruskan sekolah ke MA. Tapi takdir berkata lain, gurunya yang memiliki koneksi dengan sekolah MA Al Islamiyah PUI menjamin dirinya bisa meneruskan sekolah meski tanpa ijazah MTs.
Sang ibu Nurhasanah (40) tentu saja tidak setuju, karena ketidakadaan biaya. Apalagi yang hendak sekolah ke Jakarta bukan hanya Ani, tetapi Ima juga. “Tapi aku bersikeras supaya aku bisa sekolah lagi,” tegasnya.
Di Jakarta tinggal di asrama sekolah. Untuk membiaya keperluan sehari-hari, ia dan adiknya bekerja sebagai buruh cuci pakain teman-temannya dan juga bersih-bersih asrama. Masing-masing diberi upah Rp 60.000 perbulan. Terlalu kecil memang, tapi tidak ada pilihan, pekerjaan itu tetap diambil.
Mungkin karena terlalu capek, kondisi sakit Ani kambuh lagi. Sehingga terpaksa sejak tiga bulan lalu ia tidak bekerja, agar dapat konsentrasi sekolah. Bapaknya tidak bisa berbuat banyak. Ia hanya bisa menjemput Ani dan adiknya untuk kembali ke Sukabumi, bila sudah tidak dapat bersekolah lagi di Jakarta.
“Aku bingung, sekarang sudah tidak kerja, bapakku sudah lepas tangan. Aku gak tahu apa aku bisa bertahan di asrama ini atau enggak?” ungkapnya.
Tapi Ani tidak putus asa. Ia yakin, Allah SWT akan memberikan jalan sehingga dirinya bukan hanya dapat lulus MA tetapi juga dapat kuliah ke perguruan tinggi. “Aku dan adikku hanya bisa berdoa pada Allah SWT, walau kita bertahan di sini, kadang ragu apakah bisa ambil ijazah ?. Dan sepertinya akan sama seperti dulu ijazahku ditahan. Tapi kami selalu optimis apapun yang terjadi kami harus tetap sekolah, bahkan harus ke perguruan tinggi,” pungkasnya.[]
Optimisme Ani lahir melalui tangan anda. Klik disini untuk membantu!