Ustadz Sigit yang dirahmati Allah….
Belakangan ini muncul wacana Zakat Korporasi. Menurut saya, hal tersebut sesuatu yang baik dalam rangka kemajuan ekonomi umat. Namun dalam sebuah buku terbitan The International Institute of Islamic Tought berjudul “islamic Law of Busisness Organization (Coporation) disebutkan bahwa korporasi sebagai person “semu” tidak sama dengan person “alamiah”.
Personalitas yang terbentuk pada korporasi berbeda dengan manusia alami, sehingga tidak ada kewajiban-kewajiban agama yang dituntut dari person “semu”. Person “semu” tidak menjadi subjek “khitab” atau “ibadat”, dan tidak memiliki tanggung jawab atas kewajiban agama.
Jadi, menurut penulis buku tersebut (Imran Ahsan Khan Nyazee), korporasi tidak memiliki kewajiban untuk membayar zakat, sadaqah, atau kewajiban agama lainnya.
Bagaimana pendapat Ustadz tentang wacana tersebut di atas. Mohon jawbannya sebagi bahan referensi saya dalam memahami pengembangan ekonomi islami di Indonesia tercinta.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Wa’alikumussalam Wr. Wb.
Korporasi merupakan terobosan baru dalam dunia bisnis yang tidak banyak dibicarakan oleh para ulama klasik. Hal ini muncul sebagai jawaban terhadap perkembangan dan tuntutan zaman dikarenakan modal yang dimiliki perseorangan tidak dapat mengcover proyek-proyek bisnis besar yang memang dibutuhkan zaman ini.
Untuk itu, para pemilik modal berkumpul menyatukan modal-modal mereka sehingga dapat mendirikan suatu perusahaan besar (korporasi) yang memiliki kemampuan jauh lebih luas ketimbang perusahaan pribadi.
Memang personalitas dalam korporasi tidak alamiyah (syakhshiyah alamiyah), melainkan personalitas yang semu (syakhshiyah i’tibariyah). Meskipun ia merupakan personalitas yang semu namun fingsi-fungsi yang dilakukannya persis seperti seorang manusia (personalitas alamiyah) dalam hal kewenangan pemilikan, penetapan hak-haknya, dan komitmen terhadap berbagai kewajibannya. Syakhshiyah i’tibariyah ini juga dinamakan dengan syakshiyah ma’nawiyah (personalitas abstrak) bukan syakhshiyah hissiyah (personalitas konkrit).
Meskipun korporasi adalah personalitas yang semu atau abstrak dan dia dalam bentuk badan usaha/perusahaan namun dikarenakan berbagai fungsi yang dijalaninya persis sama seperti personalitas alamiyah atau konkrit, maka ia tetap terkena taklif (beban-beban syariat), yaitu zakat.
Tentunya taklif ini bukan ditujukan kepada badan usahanya tetapi kepada para pemegang saham yang ada didalamnya, yang memiliki tanggung jawab penuh terhadapnya.
Berita terhadap sesuatu bisa dialihkan kepada sesuatu yang lain dengan hanya mencukupkan pemahaman dari yang diajak bicara (mukhotob), seperti firman Allah swt,”dan tanyalah negeri yang Kami berada di situ, dan keledai yang Kami datang bersamanya.” (QS. Yusuf : 82) –maksudnya bukan untuk bertanya kepada negeri itu—namun yang dimaksudkan Allah swt adalah penduduk negeri dan para pemilik keledai (kafilah). Maka berita negeri dan keledai ditempatkan pada posisi berita tentang para penduduk dan pemiliknya. (al Ahkam li Ibni Hazm, juz III hal 369, Maktabah Syamilah)
Di antara dalil yang digunakan dalam kepemilikan suatu badan usaha melalui syakhshiyah i’tibariyah—sehingga para pemegang saham didalamnya bertanggung jawab dalam taklif ini—adalah hadits Nabi saw,”Tanggungan kaum muslimin adalah satu. Semua orang berusaha untuk itu termasuk yang paling lemah diantara mereka.” (HR. Ahmad) yaitu perlindungan terhadap musuh haruslah mencakup seluruh kaum muslimin. Serta beberapa ijtihad para ulama seperti; pemisahan harta baitul mal dari harta pribadi hakim, baitul mal mewarisi harta yang tidak ada ahli warisnya dengan menganggap bahwa hakim adalah wakil dari umat didalam membelanjakan harta publik demi kemaslahatan mereka sebagaimana seorang yang diberi wasiat untuk membelanjakan harta anak yatim. (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz IV hal 2843)
Wallahu A’lam