Ustadz, saya mau menanyakan satu kondisi yang pernah saya tanyakan pada Ust. Menjawab sebelumnya, namun belum memperoleh tanggapan sampai saat ini.
Hal ini terkait dengan akad nikah saya Ustadz. Saya menikah tahun 2005. Yang menjadi wali nikah adalah kakak kandung isteri saya, sebab ayah istri saya sudah meninggal. Pada saat akad, kakak ipar saya mengucapkan ijab, “saya nikahkan….dst” (sebagaimana umumnya), kemudian saya mengucapkan kabul, “saya terima nikahnya…dst”.
Namun setelah saya selesai mengucapkan kabul, petugas KUA tidak langsung menanyakan kepada saksi, perihal sahnya akad. Kami terdiam selama kurang lebih 4-5 detik. Dalam kondisi diam tersebut, petugas KUA tetap tidak mengucapkan sepatah katapun. Karena diam agak lama dan tidak tahu mesti bagaimana, tiba-tiba kakak ipar saya mengucapkan kalimat, “saya terima nikahnya”. Setelah kakak mengucapkan kalimat tersebut, baru petugas KUA menanyakan kepada saksi-saksi perihal sahnya akad. Oleh saksi-saksi dijawab “sah”.
Hal tersebut membuat saya jadi takut ustadz, apakah akad nikah saya menjadi rusak karena ucapan kakak ipar saya, mengingat ada tambahan ucapan kakak saya yang sebetulnya merupakan ucapan kabul. Saya yakin kakak saya tidak tahu mengenai hal tersebut, dan tidak menyengaja mengucapkan kalimat tersebut. Sedang kalau dari yang saya baca mengenai nikah, saya yakin syarat dan rukun nikah kami tidak ada masalah. Namun saya ingin mengetahui status ucapan kakak saya yang tidak sengaja tersebut.
Kalau akad saya rusak, haruskah saya mengulangi akad nikah saya? Kalau akad nikah saya rusak, bagaimanakah status anak kami saat ini? Apakah dia merupakan anak sah kami secara syar’i?
Saya mohonn jawabannya segera ustadz. Jazakumullaahu khaira..
Wassalaamu alaikum wr. wb.
Abu Abdillah
Waalaikumussalam Wr Wb
Sebelumnya saya mohon maaf apabila terlalu lama menjawab sehingga anda harus mengirim ulang pertanyaan ini kepada saya dan semoga Allah swt merahmati anda dan kita semua dan memudahkan seluruh urusan kita.
Lafazh ijab qabul merupakan salah satu rukun didalam pernikahan, sebagaimana dikemukakan oleh jumhur ulama. Sehingga keberadaannya menjadi penentu sah atau tidaknya suatu akad pernikahan.
Ijab menurut jumhur ulama adalah lafazh (ucapan) yang berasal dari wali istri atau orang yang menempati posisinya seperti seorang wakil karena qabul terjadi setelah adanya ijab. Sedangkan qabul adalah lafazh (ucapan) yang menunjukkan keredhoan untuk menikah yang berasal dari suami.
Sayyid Sabiq mengatakan bahwa selain kedua belah pihak telah tamyiz maka disayaratkan pula ijab qabul tersebut diucapkan didalam satu majelis, yaitu ketika mengucapkan ijab qabul tidak boleh diselingi dengan kata-kata lain atau menurut adat dianggap ada penyelingan yang menghalangi peristiwa ijab qabul
Akan tetapi didalam ijab qabul tidak ada persyaratan harus langsung. Sekiranya majelisnya berjalan lama antara ijab qabul ada tenggang waktu, tetapi tanpa menghalangi upacara ijab qabul, maka tetap dianggap satu majelis. Pendapat ini sama dengan pendapat golongan Hanafi dan Hambali.
Dalam kitab Mughni disebutkan,”Bila ada tenggang waktu antara ijab qabul, maka hukumnya tetap sah, selagi dalam satu majelis yang tidak diselingi sesuatu yang menggangu. Karena, dipandang satu majelis selama terjadinya upacara akad nikah, dengan alasan sama dengan penerimaan tunai bagi barang yang disyaratkan terima tunai, sedangkan bagi barang yang tidak disyaratkan diterima tunai penerimaannya barulah dibenarkan hak khiyar (tetap jadi membeli atau membatalkan). (Fiqhus Sunnah juz II hal 515 – 516)
Jumhur mensyaratkan langsung dalam qabul adalah dengan tidak adanya tenggang waktu yang lama diantara ijab dan qabul. Syafi’i mensyaratkan dengan tenggang waktu yang tidak panjang antara lafazh kedua belah pihak yang melakukan akad tersebut didalam ijab qabul. Apabila tenggang waktunya panjang maka hal itu menjadikannya rusak karena tenggang waktu yang panjang menjadikan qabul bukanlah jawaban dari ijab (sesuatu yang minta jawaban). Tenggang waktu yang panjang adalah apabila dirasakan akan memalingkannya dari qabul, dan tenggang waktu yang sebentar tidaklah merusak selama tidak dirasakan memalingkannya dari qabul. Akad nikah rusak manakala tersela oleh pembicaraan asing diluar akad walaupun hanya sedikit diantara ijab dan qabul, walaupun mereka berdua belum berpisah dari majlis karena hal itu memalingkannya dari qabul. (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz IX hal 6537)
Jadi apa yang terjadi pada kali pertama dengan ucapan ijab kakak ipar anda selaku wali dari istri anda yang mengatakan,”Saya nikahkan …. dst.” yang kemudian anda qabulkan dengan ucapan anda,”Saya terima…. dst.” dan apabila tidak ada tenggang waktu yang lama diantara kedua lafazh tersebut dan tanpa ada ucapan sela diluar akad nikah diantara keduanya maka akad tersebut sah meskipun penghulu saat itu tidak langsung mengatakan sah kecuali setelah 4 – 5 detik.
Karena didalam pernikahan yang terpenuhi seluruh syarat dan rukunnya maka keberadaan penghulu tidaklah menentukan sah tidaknya suatu akad dari sudut pandang agama akan tetapi dia berfungsi sebagai hakim atau wakil dari negara yang memiliki fungsi qodho’ (pengadilan) dan administratif.
Wallahu A’lam