Assalammualaikum Pak Ustadz,
Ini kali pertama saya bertanya dalam situs era muslim – ustadz menjawab.
Kebetulan saya ada pertanyaan dari teman nasrani dimana saya takut salah dalam menjawabnya yaitu:
1. Mengapa dalam turunnya perintah sholat, nabi Muhammad SAW harus bernegosiasi berulang-ulang dengan Allah SWT, bukankah Allah SWT sangat mengetahui kondisi kaumnya sehingga dalam menurunkan perintah sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi.
2. Mengapa didalam terjemahan Qur’an, banyak digunakan kata "Kami" seperti "Kami ciptakan …", bukankan Tuhan itu "Esa" menurut kepercayaan Islam.
Wassalam,
Julianto
Wa’alaikumussalam Wr Wb
Saudara Julianto yang dirahmati Allah swt
Hikmah Negosiasi Rasulullah Dalam Perintah Shalat
Didalam hadits yang diriwayatkan dari Anas tentang malam isro dan mi’raj dijelaskan Nabi saw berkata bahwa Allah swt mewajibkan kepada umatku lima puluh kali (waktu) shalat kemudian aku kembali dengan perintah itu sehingga aku melewati Musa dan dia berkata,”Apa yang diwajibkan Allah untukmu terhadap umatmu.’
Aku mengatakan, ’Dia swt telah mewajibkan lima puluh kali (waktu) shalat.’ Musa berkata,’Kembalilah kepada Tuhanmu, sesungguhnya umatmu tidak akan sanggup melakukannya.’ Maka aku pun kembali menemui-Nya sehingga Dia swt menetapkan setengahnya.
Aku kembali kepada Musa dan aku katakan,’Dia swt telah menetapkan setengahnya.’ Musa mengatakan,’Kembali lah ke Tuhanmu, sesungguhnya umatmu tidak akan sanggup melakukannya.’ Maka aku pun kembali dan Dia swt menetapkan setangahnya. Aku pun kembali menemuinya (Musa) dan dia mengatakan,’Kembalilah kepada Tuhanmu, sesungguhnya umatmu tidak akan sanggup melakukannya.’
Maka, akupun kembali menemui-Nya dan Dia swt berkata,’Ia adalah lima kali yang sama dengan limapuluh kali dan tidak ada yang berubah perkataan-Ku.’ Aku kembali kepada Musa dan merasa malu terhadap Tuhanku.’.. (HR. Bukhori)
Ibnu Hajar menyebutkan bahwa kembalinya Rasulullah saw kepada Tuhannya untuk meminta keringanan sampai beberapa kali menunjukkan bahwa perintah itu pada setiap kalinya belumlah sampai ke tingkat wajib berbeda dengan kali terakhir yang didalamnya ada indikasi akan kewajiban (itu) dengan firman-Nya,”Tidak akan berubah perkataan (ketetapan) disisi-Ku.”
Sebagian syeikh mengemukakan hikmah Nabi Musa menyuruh agar Nabi saw berkali-kali menghadap Allah dengan mengatakan,”Ketika Musa memohon untuk melihat Allah swt dia tidak dikabulkan lalu dia mengetahui bahwa hal seperti ini terjadi pada Muhammad saw maka dia menyuruhnya untuk kembali berkali-kali agar berkali-kali juga melihat-Nya….”
Ibnu Hajar juga menyebutkan diantara faedah perubahan dari limapuluh menjadi lima kali adalah bolehnya naskh (penghapusan hukum) sebelum hukum tersebut dilaksanakan, sebagaimana perkataan Ibnu Bathol,”Tidakkah engkau perhatikan bagaimana Allah swt menghapus shalat yang lima puluh menjadi lima sebelum ia dilaksanakan. Kemudian Allah memberikan karunia-Nya dengan menyempurnakan pahala shalat.” (Fathul Bari juz I hal 555)
Allah swt mengetahui batas kesanggupan setiap hamba-Nya didalam melaksanakan perintah-perintah-Nya sebagaimana Dia swt juga mengetahui bahwa kemampuan setiap mereka tidaklah sama, ada dari mereka yang mampu melaksanakan setiap kali shalat lima waktunya di awal waktu, ada yang kadang-kadang saja bahkan ada yang dilakukan sendirian di akhir waktu dan sebagainya namun mereka semua tetap dihitung telah melaksanakan kewajibannya. Ada dari manusia yang mampu mengkhatamkan Al Qur’an setiap tiga hari, lima hari, seminggu, setengah bulan, sebulan atau mungkin lebih dari itu.
Dan diantara rahmat Allah kepada umat ini adalah diberikannya keringanan terhadap jumlah shalat yang harus dilakukan setiap muslim mulai dari lima puluh kali hingga akhirnya menjadi lima kali. Musa as mengkhawatirkan bahwa shalat yang lima puluh kali itu tidak akan sanggup dilaksanakan oleh umat Muhammad saw, sebagaimana dikatakan oleh al Qurthubi bahwa hikmah dari pengkhususan Musa dengan meminta Nabi Muhammad saw kembali ke Tuhannya dalam perintah shalat memungkinkan bahwa umat Musa pernah dibebankan dengan beberapa shalat yang tidak dibebankan kepada umat-umat sebelumnya dan hal itu cukup memberatkan mereka.
Untuk itu, Musa khawatir hal ini juga terjadi pada umat Muhammad saw, yang ditunjukkan dengan perkataannya,”Sesungguhnya aku telah merasakan hal ini sebelummu.”
Allah swt selain menetapkan kewajiban kepada hamba-hamba-Nya, Dia swt juga memperhatikan berbagai kemaslahatan dan kebaikan bagi mereka didalam menjalankan berbagai perintah-Nya tersebut. Allah swt tidak menginginkan adanya kesempitan dan kesulitan didalam menjalankan agamanya sehingga dapat membawa mudhrat bagi pemeluknya, sebagaimana firman-Nya :
يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Artinya : “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al Baqoroh : 185)
Untuk itu Allah swt memperkenankan seorang yang didalam perjalanan untuk tidak berpuasa (berbuka), memperbolehkan bertayammum bagi orang yang tidak memiliki air untuk berwudhu, mempersilahkan seorang yang dalam perjalanan untuk menjama’ dan mengqashar shalat-shalatnya, demikianlah rahmat yang Allah berikan kepada umat Muhammad saw.
Dan diantara karunia Allah swt kepada umat Muhammad adalah meskipun shalat tersebut secara jumlah terkurangi dari limapuluh menjadi lima kali namun secara pahala maka ia sama dengan limapuluh kali.
Penggunaan Kata Ganti “Kami” Bagi Allah swt
Memang didalam Al Qur’an Allah swt banyak menyebutkan diri-Nya dengan menggunakan kata ganti orang pertama jama’ (kami), seperti firman-Nya :
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Artinya : “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al Hijr : 9)
Kata ganti “kami” ini digunakan untuk orang pertama (pembicara) dalam jumlah yang banyak baik untuk mereka laki-laki maupun perempuan. Orang-orang pertama lak-laki mengatakan,“Nahnu Muslimuun” yaitu “kami adalah orang-orang islam (laki-laki)”, sedangkan orang-orang pertama perempuan mengatakan,”Nahnu Muslimaat” yaitu “Kami orang-orang islam (perempuan).”
Dan apabila orang yang berbicara adalah tunggal (mufrod) namun menggunakan kata ganti jama’ “kami” maka ia menunjukkan bahwa si pembicara ingin mengagungkan dirinya sendiri. Dan penggunaan kata ganti “kami” didalam ayat-ayat semisal diatas padahal Sang Pembicaranya adalah tunggal, yaitu Allah swt maka menunjukkan bahwa Allah swt ingin mengagungkan diri-Nya sendiri, dan ini adalah hak Sang Pemilik keagungan dan kebesaran. (www. Islamweb.net)
Wallahu A’lam.