Assalamualaikum ustadz, saya ingin bertanya tentang wasiat/surat wasiat warisan seseorang. Bagaimana Islam mengaturnya? Bukankah kita sudah punya hukum waris?
Misalnya begini, isi surat wasiat hanya membolehkan harta peninggalan suami untuk saudara-saudara darinya [pihak suami]. Mohon pencerahannya. terima kasih. wassalam.
Waalaikumussalam Wr Wb
Sauadara Irul yang dimuliakan Allah swt
Wasiat ini disyariatkan berdasarkan nash-nash Al Qur’an, hadits dan ijma para ulama.
Didalam Al Qur’an disebutkan didalam firman Allah swt :
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم مِّن بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ
Artinya : “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.” (QS. An Nisaa : 12)
Adapun sunnah maka disebutkan didalam hadits Saad bin Abi Waqash berkata, ”Wahai Rasulullah aku memiliki harta dan tidaklah ada yang mewarisinya kecuali hanya seorang anak wanitaku. Apakah aku sedekahkan dua pertiga dari hartaku?” Beliau bersabda,”Jangan.” Aku berkata,”Apakah aku sedekahkan setengah darinya?” beliau bersabda,”Jangan, sepertiga aja. Sepertiga itu banyak. Sesungguhnya engkau tinggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya lebih baik daripada engkau tinggalkan mereka dalam keadaan miskin dan meminta-minta kepada manusia.” (HR. Muslim)
Para ulama pun telah bersepakat akan dibolehkannyanya berwasiat.
Adapun hukum dari wasiat dengan harta maka telah terjadi perbedaan dikalangan para ulama :
Jumhur fuqaha dari kalangan ulama Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa memberikan wasiat dari sebagian hartanya adalah bukan sebuah kewajiban bagi seseorang karena wasiat adalah sebuah pemberian yang tidak wajib saat hidup maka tidak pula wajib setelah dirinya meninggal dunia. Kemudian mereka berpendapat bahwa disunnahkan bagi seorang yang memiliki harta untuk meninggalkan wasiat, sebagaimana firman Allah swt :
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ
Artinya : “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf.” (QS. Al Baqoroh : 180)
Lalu kewajiban tersebut dihapus dan menjadikannya (wasiat) sunnah untuk bukan ahli warisnya, berdasarkan hadits,”Tidak ada wasiat bagi ahli waris.” (HR. al Baihaqi)
Sedangkan sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa wasiat adalah sebuah kewajiban. Mereka berdalil dengan ayat yang sama dengan yang digunakan kelompok pertama, yaitu surat al baqoroh ayat 180.
Didalam kitab “Fiqh as Sunnah” dsebutkan bahwa rukun wasiat adalah adanya ijab dari orang yang mewasiatkannya baik dengan lafazh maupun dengan isyarat yang bisa difahami atau juga dengan tulisan apabila si pemberi wasiat tidak sanggup berbicara. Kemudian apabila wasiat tidak tertentu, seperti : untuk masjid, tempat pengungsian, sekolah, atau rumah sakit maka ia tidak memerlukan qabul akan tetapi cukup dengan dengan ijab saja sebab dalam keadaan demikian wasiat itu menjadi sedekah. Apabila wasiat ditujukan kepada orang tetentu maka ia memerlukan qabul dari orang yang diberi wasiat setelah si pemberi wasiat meninggal atau qabul dari walinya apabila orang yang dberi wasiat belum mempunyai kecerdasan. Apabila wasiat diterima maka terjadilah wasiat itu. Jika wasiat ditolak setelah pemberi wasiat meninggal maka batalah wasiat itu dan ia tetap menjadi milik dari ahli waris pemberi wasiat.
Adapun syarat-syarat wasiat adalah adanya pemberi wasiat, penerima wasiat dan sesuatu yang diwasiatkan. Si pemberi wasiat diharuskan telah memiliki kelayakan didalam melakukan kebaikan, seperti ia adalah seorang yang berakal, dewasa, merdeka, ikhtiyar dan tidak dibatasi karena kebodohan atau kelalaian. Jika pemberi wasat itu orang yang kurang kemampuannya, misalnya karena masih anak-anak, gila, hamba sahaya, dipaksa atau dibatasi maka wasiatnya tidak sah.
Sedangkan syarat-syarat dari si penerima wasiat adalah ia bukan termasuk ahli waris pemberi wasiat sebagaimana disebutkan didalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud dan at Tirmidzi bahwa dari al Maghazi bahwa Rasulullah saw bersabda pada waktu penaklukan kota Mekah, ”Tidak ada wasiat bagi ahl waris,” Kemudian persyaratan lainnya dari si penerima wasiat menurut para ulama Hanafi bahwa si penerima wasiat apabila telah tertentu maka disyaratkan dalam keabsahan wasiat agar orang tersebut hadir pada saat wasiat dilaksanakan baik keberadaannya secara hakikat maupun perkiraan, misalnya apabla dia mewasiatkan kepada janin kandungan si fulanah maka jenis kandungan harus ada pada saat penerimaan wasiat.
Adapun apabila penerima wasiat tidak tertentu maka orang itu harus ada di waktu pemberi wasiat wafat baik secara benar-benar atau perkiraan. Apabila si pemberi wasiat berkata, ”Aku wasiatkan rumahku kepada anak-anak si fulan.” Tanpa menentukan siapa anak-anak itu kemudian dia mati dan tidak mencabut wasiatnya maka rumah itu dimiliki oleh anak-anak yang ada saat pemberi wasiat meninggal dunia baik benar-benar ada maupun dalam perkiraan.
Syarat lainnya dari penerma wasiat adalah bahwa si penerima wasiat tidak membunuh pemberi wasiat dengan pembunuhan yang diharamkan secara langsung.
Adapun syarat dari barang yang diwasiatkan adalah bahwa barang tersebut dimiliki dengan salah satu bentuk kepemilikan setelah pemberi wasiat meninggal dunia. Dengan demikian wasiat menjadi sah atas semua harta yang bernilai baik berupa barang ataupun manfaat, demikian disebutkan oleh Sayyid Sabiq.
Hikmah dari disyariatkannya wasiat ini meski telah adanya hukum waris diantaranya adalah sebagai sarana yang disediakan Allah swt kepada seorang yang akan meninggal dunia untuk bisa mendekatkan dirinya kepada Allah swt untuk mendapatkan kebaikan di dunia dan pahala di akherat. Wasiat juga merupakan sarana untuk memberikan bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan, menguatkan silaturahim dan hubungan kekerabatan yang bukan ahli warisnya.
Dengan demikian apabila isi isi surat wasiat : hanya membolehkan harta peninggalan suami untuk saudara-saudara darinya [pihak suami], sebagaimana yang anda tanyakan maka apabila yang dimaksudkan dengan harta peninggalan suami adalah seluruh harta yang dimilikinya maka hal itu tidaklah dibenarkan karena melebihi dari sepertiga hartanya—sebagaimana penjelasan diatas—dan terlebih lagi jika suami anda masih memiliki ahli waris, seperti anda (istrinya).
Dalam hal ini maka harta peninggalan suami anda setelah dikurangi hutang-hutangnya—jika ada—maka sepertiga darinya diberikan kepada saudara-saudaranya—jika mereka bukan termasuk ahli warisnya—kemudian sisa hartanya dianggap sebagai warisan yang bisa dibagi-bagikan kepada para ahli warisnya sesuai dengan ketentuan hukum waris.
Akan tetapi apabila saudara-saudaranya yang dinyatakan dalam surat wasiat itu ternyata termasuk kedalam ahli warisnya maka wasiat tersebut dinyatakan batal karena bertentangan dengan sabda Rasulullah saw,”Tidak ada wasiat bagi ahli waris.” (HR. al Baihaqi). Untuk selanjutnya harta tersebut dimasukkan kedalam warisan dan dibagi-bagikan kepada para ahli warisnya sesuai dengan ketentuan hukum waris setelah sebelumnya dikurangi hutang-hutangnya jika ada.
Wallahu A’lam