Assalamu’alaikum wr. wb
Pak Ustadz yang saya hormati. Saya tertarik dengan cara pembahasan di era muslim yang menurut saya luwes. Semoga penjelasan Ustadz bisa memberikan pencerahan bagi saya yang dhaif.
Pak Ustadz, saya waktu dekat ini, berencana menikah dengan seorang gadis yang Insya Alloh Islamnya baik. Tetapi yang saya risaukan adalah siapa yang berhak menjadi wali nikahnya jika ayahnya yang Islam menikah dengan ibunya yang protestan hanya lewat catatan sipil.
Saya sempat konsultasi ke beberapa orang dengan jawaban berbeda-beda. Ada yang menganjurkan memakai wali hakim dengan alasan nikah beda agama telah diharamkan MUI sehingga si gadis tidak memiliki nasab atau nikah orang tuanya tidak sah. Ada juga yang membolehkan menggunakan wali ayahnya.
Bagaimana saya harus bersikap sesuai dengan syariat Islam? Mohon penjelasan dalil-dalilnya dalam Islam. Terima kasih atas penjelasnnya Ustadz.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Waalaikumussalam Wr Wb.
Antara Ijma dan Fatwa MUI
Ijma para ulama membolehkan seorang laki-laki muslim menikah dengan wanita ahli kitab (Yahudi atau Nasrani) berdasarkan firman Allah swt,”Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu.” (QS. Al Maidah : 5)
Sebagian sahabat juga telah menikahi wanita dzimmi (yang tidak memerangi kaum muslimin) , Utsman bi Affan menikah dengan Nailah binti al Faroofidhah, wanita Nasrani yang kemudian masuk islam setelah menikah dengannya. Hudzaifah ra menikah dengan wanita Yahudi dari Madain. Jabir pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang menikah dengan wanita Yahudi dan Nasrani dia menjawab,”Kami dahulu pernah menikah dengan mereka saat membuka kota Kufah bersama dengan Saad bin Abi Waqosh.” (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz IX hal 6653)
Adapun Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional VII MUI, pada tanggal 29 Juli 2005M. telah menetapkan perkawinan beda agama haram dan tidak sah termasuk didalamnya adalah perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahli kitab.
Ijma adalah konsensus para ulama kaum muslimin terhadap suatu hukum. Dan apabila umat telah sependapat (ijma’) terhadap suatu hukum maka tidak diperbolehkan bagi seorang pun keluar dari kesepakatan mereka karena umat ini tidak akan bersepakat untuk suatu kesesatan. (Majmu’ Fatawa, juz IV hal 233, Maktabah Syamilah)
Adapun pengertian fatwa secara etimologi adalah jawaban terhadap berbagai permasalahan syariah atau perundang-undangan yang masih belum diketahui… Sedangkan secara terminologi makna fatwa dan ifta’ tidaklah berbeda dengan pengertiannya secara etimologi. Fatwa adalah penjelasan tentang hukum syar’i dalam suatu permasalahan yang dikuatkan dengan dalil yang berasal daro Al Qur’an, Sunnah Nabawiyah atau ijtihad. (Mafahim Islamiyah juz II hal 240, Maktabah Syamilah)
Seorang mufti (yang memberikan fatwa) wajib memberitahu berbagai permasalahan yang ditanyakan oleh orang-orang awam sehingga mereka terlindung dari kesalahan. Dalam hal ini dia berada pada posisi seperti Nabi saw karena mereka adalah pewaris para Nabi, sebagaimana hadits Rasulullah saw,”Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi. Sesungguhnya para Nabi tidaklah mewarisi dinar dan juga dirham namun mereka mewarisi ilmu.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)
Meskipun telah terjadi ijma para ulama didalam permasalahan seorang laki-laki muslim yang menikah dengan wanita ahli kitab namun demikian para ulama madzhab Hanafi dan Syafi’i serta pendapat dari para ulama Maliki masih menganggapnya hal itu makruh.
Para ulama ini berdalil dengan perkataan Umar bin Khottob kepada mereka yang telah menikah dengan wanita ahli kitab,”Ceraikan mereka.” Maka mereka menceraikannya kecuali Hudzaifah kemudian Umar berkata lagi kepadanya,”Ceraikan dia.” Hudzaifah berkata,”Apakah engkau bersaksi dia (wanita ini) haram? Umar berkata,”Dia menutupi akal.” Hudzaifah berkata,”Aku telah mengetahui bahwa dia menutupi akal akan tetapi dia tetap halal. Namun setelah beberapa waktu Hudzaifah baru menceraikannya. (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz IX hal 6654)
Artinya bahwa ada sebagian ulama dari beberapa madzhab yang sangat berhati-hati dalam menentukan hukum pernikahan seorang laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab dikarenakan adanya kemungkinan hal itu membawa kemudharatan baik yang bersifat sosial maupun aqidah. Tidak jarang dari wanita-wanita ahli kitab yang yang dinikahi itu berhasil mempengaruhi pemikiran anak-anak buah perkawinannya dengan prinsip-prinsip agama mereka, sehingga anak-anaknya menyukai berbagai ibadah, ritual dan kebiasaan agama ibunya, terlebih lagi jika si ayah tidak memiliki basis agama yang kuat.
Yang menjadi pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam mengeluarkan fatwa diatas adalah sangat logis melihat kondisi realita yang terjadi di masyarakat kita. Upaya kristenisasi yang banyak terjadi di negeri ini salah satunya dengan memanfaatkan peluang dibolehkannya pernikahan laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab sementara tidak diimbangi dengan kekuatan keimanan dan keagamaan kaum laki-lakinya. Sebaliknya para wanita ahli kitab yang mau menikah dengannya rata-rata mempunyai keteguhan memegang ajaran agamanya.
Hal ini tentunya membuka peluang terjadinya kristenisasi besar-besaran dikalangan kaum muslimin negeri ini atau paling tidak dalam jangka panjang menghasilkan anak-anak atau generasi yang tidak memiliki basis keagamaan (islam) yang kuat sehingga akan meninggalkan generasi yang lemah dimasa datang.
Tentunya para ulama yang tergabung di MUI telah mengeluarkan seluruh kemampuannya didalam berijtihad agar mendapatkan hukum yang paling tepat terkait dengan permasalahan ini untuk kemaslahatan kaum muslimin di Indonesia.
Tersebarnya para ulama di berbagai negeri di dunia islam, perkembangan zaman yang menjadikan berbagai permasalahan semakin kompleks, adanya kejadian-kejadian yang khas di suatu negeri yang tidak ada di negeri lainnya menuntut negeri-negeri ini untuk membentuk lembaga-lembaga atau institusi-institusi yang bisa membantu masyarakat didalam memahami berbagi permasalahan tadi sesuai dengan tuntunan syariah, seperti MUI di Indonesia.
Lembaga ini (MUI) dalam hal memberikan jawaban (fatwa) dari suatu permasalahan berposisi sama seperti seorang hakim (imam) untuk menghilangkan berbagai perbedaan pendapat ditengah masyarakat yang jika tidak disikapi secara bijak bisa jadi memunculkan permasalahan sosial. Untuk itu fatwa MUI bisa menjadi rujukan bagi masyarakat indonesia.
Wali nikah anak dari hasil pernikahan mereka
Seperti dijelaskan diatas bahwa didalam permasalahan ini pendapat MUI yang mengutamakan kehati-hatian setelah melihat kondisi riil di tengah masyarakat kita lebih diutamakan dari ijma’ ulama sehingga pernikahan mereka dianggap tidak sah.
Dengan demikian si anak wanita ini tidak bisa mendapat perwalian dari ayahnya artinya ia tidak memiliki wali. Dalam kondisi seperti ini maka walinya adalah penguasa atau hakim sebagaimana hadits Rasulullah saw,”Penguasa adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Seperti halnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berposisi seperti hakim didalam memberikan jawaban terhadap permasalahan-permasalahan syariat maka Kantor Urusan Agama (KUA) juga berposisi seperti hakim dalam hal permasalahan-permasalahan hukum (putusan) termasuk didalamnya adalah akad nikah seorang muslim yang dalam pelaksanaannya diwakili oleh penghulu.
Namun demikian tetaplah anda dan calon anda membicarakan hal ini secara baik-baik kepada kedua orang tuanya sehingga mereka bisa menerima kenyatataan ini dengan lapang dada dan tidak meninggalkan ketersinggungan didalam diri mereka.
Wallahu A’lam