Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh,
Untuk ustadz yang saya hormati. Saya seorang operator di sebuah gardu induk (GI) PLN. Saya bertanggung jawab melaksanakan pengoperasian instalasi listrik 20.000 volt (di rumah2, biasanya 220/380 volt ), diantara tugasnya yaitu mengatasi gangguan yang terjadi, bisa kapan saja, dengan segera.
Jika saya kebagian shift hari Jumat pagi, saya sulit melaksanakan sholat jumat, (jarak antara GI dan masjid ±100 meter). Karena khawatir ketika saya melaksanakan sholat jumat terjadi gangguan, yang menjadi pertanyaan yaitu :
1. Apakah saya boleh mengganti sholat jumat dengan sholat dzuhur, karena khawatir terjadi gangguan, ataukah ada alternatif lain.
2. Kalau tidak boleh karena alasannya jarak antara GI dan masjid terlalu dekat, bagaimana dengan teman2 saya yang bekerja di GI-GI dan berjauhan jaraknya dengan masjid.
Catatan :
– Yang bekerja di GI pada umumnya ada 3 orang, 2 orang operator dan 1 orang satpam.
– Luas GI biasanya sangat besar, di sana ada trafo, switchgear, penghantar, sel 20 kv, dll.
– Saya pernah mengajak mereka yang kebetulan satu shift dengan saya untuk berdua melaksanakan sholat jumat, tetapi mereka tidak mau.
– Selama ini saya melaksanakan sholat saja ke masjid terdekat, setelah terdengar iqamat saya segera menuju masjid memakai motor.
Pertanyaan lain:
Mengenai barang temuan (luqathah), bila kita menemukan barang yang tidak seberapa (missal uang Rp. 1000 ) apa yang harus kita lakukan? Berapakah minimal nominal barang temuan yang harus kita umumkan.
Terima kasih atas jawabannya, jazakallah khairan jaza.
Wa’alaikumusslam Wr Wb
Shalat jum’at merupakan kewajiban bagi setiap muslim, baligh, berakal, mukim (tidak dalam keadaan safar) dan sehat (tidak memiliki halangan) dan mendengar suara adzan untuk shalat jum’at, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits,”Shalat jum’at wajib bagi setiap muslim dengan cara berjama’ah kecuali terhadap empat golongan, yaitu : budak, seorang wanita, anak-anak dan orang yang sakit.” (HR. Abu Daud)
Al Alamah Al A’zhim Abadi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan orang yang sakit adalah orang sakit yang jika dia datang untuk shalat jum’at maka ia akan mendapatkan kepayahan (bertambah parah sakitnya), Imam Abu Hanifah memasukkan orang buta kedalam orang yang sakit walaupun orang itu mendapatkan seseorang yang bisa menuntunnya ke masjid hal itu dikarenakan kepayahan (sakitnya). Imam Syafi’i mengatakan bahwa jika ia mendapatkan orang yang menuntunnya maka ia tidak diperbolehkan untuk tidak menghadiri shalat jum’at. (Aunul Ma’bud juz IV hal 284)
Jadi pada asalnya tidak dibolehkan bagi seorang muslim yang memiliki persyaratan diatas kecuali yang termasuk dalam empat golongan untuk meninggalkan shalat jum’at berjama’ah. Terlebih lagi berbagai ancaman yang akan diberikan bagi mereka yang tidak mengerjakan shalat jum’at tanpa suatu alasan yang dibenarkan oleh agama.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa Nabi saw bersabda tentang orang-orang yang meninggalkan shalat jum’at dengan mengatakan,”Sebenarnya aku berniat memerintahkan seseorang untuk menjadi imam shalat bersama masyarakat dan aku pergi membakar rumah orang-orang yang meninggalkan shalat jum’at itu.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Diriwayatkan dari Abu Hurairoh dan Ibnu Umar bahwa keduanya pernah mendengar Nabi saw bersabda diatas mimbar bersabda,”Hendaklah orang-orang itu menghentikan perbuatan meninggalkan shalat jum’at atau Allah akan mengunci hati mereka kemudian mereka menjadi orang-orang yang lalai.” (HR. Muslim)
Diriwayatkan dari Abdul Ja’ad adh Dhamri dan seorang sahabat bahwa Rasulullah saw bersabda,”Barangsiapa meninggalkan tiga kali shalat jum’at karena menganggap enteng maka Allah akan menutup hatinya.” (HR. Bukhori Muslim)
Terhadap permasalahan yang dihadapi anda—sebagai operator gardu listrik—pada setiap hari jum’at maka anda harus berusaha terlebih dahulu untuk bisa mensiasati pekerjaan sehingga tetap bisa melaksanakan shalat jum’at tanpa mengabaikan pekerjaan yang akan membawa efek (bahaya / kerugian) bagi orang lain / masyarakat.
Beberapa hal yang bisa dilakukan misalnya :
1. Meminta kepada atasan anda agar teman operator anda pada setiap sift hari jum’at adalah seorang non muslim, sehingga anda bisa melaksanakan shalat jum’at tanpa mesti khawatir terhadap keadaan gardu.
2. Jika memang tidak ada teman operator yang non muslim maka anda harus mengupayakan tetap melaksanakan shalat jum’at walaupun datang ke masjid ketika shalat telah dimulai, terlebih lagi jarak antara gardu dengan masjid hanya sekitar 100 m. Menurut jumhur ulama jika seseorang mendatangi shalat jum’at dan masih mendapatkan ruku’ imam pada raka’at kedua maka ia masih mendapatkan shalat jum’at.
3. Namun jika memang betul-betul anda sangat khawatir akan keamanan gardu jika ditinggalkan walau hanya sesat saja (sebatas dua raka’at shalat jum’at) maka diperbolehkan bagi anda untuk menggantikannya dengan shalat zhuhur berjama’ah dan jika memang tidak mungkin berjama’ah maka bisa dilakukan secara sendiri-sendiri, sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Nabi saw bersabda,”Barangsiapa yang mendengar azan shalat dan tidak mendatanginya maka tidak ada shalat baginya kecuali karena uzur.’ Para sahabat bertanya,’Wahai Rasulullah uzur apakah itu?’ Beliau saw menjawab,’takut atau sakit.” (HR. Abu Daud)
Jadi dibolehkannya shalat jum’at sebagai pengganti shalat zhuhur adalah alternatif yang paling akhir setelah berbagai upaya sebelumnya tidak bisa dilakukan.
Sedangkan dalam batas minimal jama’ah dibolehkannya shalat jum’at telah terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama :
1. Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa shalat jum’at bisa dilakukan minimal oleh tiga orang selain imam, walaupun mereka orang yang musafir atau orang sakit.
فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ
Artinya : “Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah.” (QS. Al Jumu’ah : 9)
2. Para ulama Maliki memberikan persyaratan jumlah minimal yang hadir adalah 12 orang dalam shalat dan khutbah, sebagaimana riwayat dari Jabir bahwa Nabi saw pernah berkhutbah dengan berdiri pada hari jum’at kemudian datang rombongan dagang dari Syam dan para jama’ah menghampirinya sehingga yang tersisa hanya tinggal dua belas orang saja, kemudian turun firman Allah swt dalam surat al Jumu’ah
وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِمًا
Artinya : “dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah).” (QS. Al Jumu’ah : 11)
3. Para ulama Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa shalat jum’at bisa dilakukan dengan jumlah 40 orang atau lebih dengan imamnya adalah penduduk setempat yang baligh, berakal, merdeka, laki-laki.. mereka membolehkan imam seorang musafir apabila jumlah jama’ah lebih dari 40 orang. Dalil yang digunakan oleh mereka adalah apa yang diriwayatkan oleh Baihaqi dari Ibnu Mas’ud bahwasanya Nabi saw melakukan shalat jum’at di Madinah sedangkan jumlah mereka adalah 40 orang. (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz II hal 1295 – 1297)
Temuan Barang yang Nilainya Tidak Seberapa
Terhadap temuan barang yang tidak seberapa ini maka tidak ada perbedaan pendapat dikalangan para fuqoha akan dibolehkannya mengambil sesuatu yang tidak seberapa atau memanfaatkannya tanpa perlu mengumumkannya ke masyarakat, seperti : menemukan satu buah kurma, recehan, secarik kain. Karena Nabi saw tidak melarang terhadap seseorang yang menemukan sebuah kurma kemudian dia memakannya bahkan beliau saw mengatakan,”Jika engkau tidak mengambilnya maka dia akan menghampirimu.” Dan Nabi saw pernah melihat ke sebuah kurma dan bersabda,”Seandainya aku tidak khawatir kalau kamu bagian dari sedekah pasti aku akan memakannmu.” (HR. Bukhori Muslim)
Perlu diperhatikan bahwa perintah untuk menyempurnakan masa pengumuman apabila barang temuan tersebut adalah barang yang tidak cepat rusak akan tetapi apabila barang itu termasuk barang yang cepat rusak maka hendaklah disedekahkan atau diinfaqkan atas dirinya, demikian menurut para ulama Hanafi.
Sedangkan menurut para ulama Syafi’i bahwa seorang penemu diberikan dua pilihan antara menjualnya untuk kemudian uang hasil penjualannya bisa dimiliki setelah diumumkan terlebih dahulu atau barang temuan itu langsung dia miliki, memakannya untuk kemudian dia membayarkan nilai (harganya). (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz VI hal 4865 – 4866)
Jadi terhadap barang temuan anda yang berjumlah Rp. 1.000,00 baiknya anda infakkan atau sedekahkan ke tempat yang baik, seperti masjid, anak yatim atau lainnya.
Wallahu A’lam