Assalamu’alaikum wr. w.b.
Pak ustadz yang saya hormati. Dari beberapa contoh atau perbuatan imam dan lainnya dalam pelaksanaan shalat sunat Rawathib dan shalat lainnya saya perhatikan, ada beberapa pertanyaan timbul yang perlu saya ajukan;
- Apakah shalat sunat Rawathib dan lainnya itu tidak perlu membaca do’a iftitah dan tidak membaca surah setelah membaca Al-Fatihah? atau cukupkah dengan membaca Surat Al-Fatihah saja. Karena saya perhatikan dan saya ikuti pelaksanaannya begitu cepat dalam satu rakaat. Tapi dari beberapa buku yang saya baca ada yang menganjurkan (sanahnya) membaca surah Al-Kafirun, Al-Ikhlas untuk Shalat sunat Rawathib (Qabliyah Shubuh) dan (Bakdiyah Magrib).
- Adakah shalat sunah Qabliyah Magrib? Karena hal ini sering saya temukan di Jakarta ini. Yang saya tahu shalat sunah sangat terlarang pada saat matahari tenggelam.
Demikian, atas perhatian Pak Ustazd saya ucapkan terima kasih.
Waalaikumussalam Wr. Wb.
Saudara Yosfiah yang dimuliakan Allah SWT.
Istiftah adalah dzikir yang diucapkan untuk mengawali shalat setelah takbirotul ihram. Jumhur ulama berpendapat bahwa membacanya adalah sunnah didalam setiap shalat termasuk pada shalat-shalat rawatib. Didalam kitab al Mausu’ah al Fiqhiyah disebutkan pendapat Imam Nawawi yang mengatakan bahwa istiftaf adalah mustahab (dianjurkan) bagi setiap orang yang shalat baik imam, makmum, sendirian, wanita, anak kecil, musafir, yang shalat fardhu, sunnah, yang duduk, berbaring atau selain mereka.
Dia mengatakan didalamnya adalah shalat-shalat sunnah rawatib dan mutlak, shalat ‘id, gerhana dalam berdiri yang pertama dan juga shalat isitisqa (meminta hujan). Namun sebagian mereka mengecualikan shalat jenazah. (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 1102)
Meskipun sunnah atau tidak ada kewajiban membaca istiftah ketika mengawali shalat namun tidak disyariatkan bagi seseorang yang melakukan shalat meninggalkannya secara sengaja.
Begitu juga dengan membaca surat setelah al fatihah maka jumhur ulama berpendapat bahwa hal itu adalah sunnah.
Didalam Fatawa al Islam Sual wa Jawab menyebutkan bahwa membaca al Qur’an setelah al Fatihah didalam shalat bukanlah kewajiban, tidak didalam shalat fardhu, sunnah, shalat yang dikeraskan bacaannya, dipelankan bacaannya, yang masbuk dan tidak pula yang lainnya.
Dari Atha berkata : Abu Hurairah berkata, "Pada setiap rakaat ada bacaannya. Apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam perdengarkan (keraskan) bacaannya kepada kami maka kamipun akan perdengarkan kepada kalian, dan apa yang Beliau sembunyikan (tidak mengeraskan bacaan) kepada kami, maka kamipun tidak mengeraskannya kepada kalian. Jika kalian tidak tambah selain Al Fatihah, maka itu sudah cukup. Namun bila kalian tambah setelahnya itu lebih baik." (Bukhori [738] dan padanya terdapat tambahan “dan jika kamu tambah maka itu lebih baik”. juga riwayat muslim [396])
Imam Nawawi mengatakan, ”Perkataannya, ’Barangsiapa yang membaca Ummul Kitab maka cukuplah itu baginya dan barangsiapa yang menambahnya maka itu lebih baik.” didalamnya terdapat dalil diwajibkannya al fatihah dan tidaklah cukup tanpanya. Didalamnya terdapat anjuran membaca surat setelahnya, ini adalah ijma’ didalam shalat shubuh, jum’at dan di setap dua rakaat pertama dalam setiap shalat dan ia adalah sunnah menurut seluruh ulama. al Qadhi ‘Iyyadh mengisahkan tentang sebagian pengikut Malik bahwa kewajiban membaca surat adalah keanehan dan ditolak. (Fatawa al Islam Sual wa Jawab , No. 6422)
Adapun tentang shalat rawatib sebelum maghrib maka jumhur ulama tidaklah memasukkannya kedalam sunnah-sunnah rawatib yang muakkad. Menurut jumhur, rawatib yang muakkad adalah 10 rakaat, yaitu dua rakaat sebelum shubuh, dua rakaat sebelum zhuhur, dua rakaat setelahnya, dua rakaat setelah maghrib dan dua rakaat setelah isya. Jumhur mendasarkan pendapatnya kepada apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abdullah bin Umar "Aku menghafal sesuatu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berupa shalat sunnat sepuluh raka’at yaitu; dua raka’at sebelum shalat Zhuhur, dua raka’at sesudahnya, dua raka’at sesudah shalat Maghrib di rumah Beliau, dua raka’at sesudah shalat ‘Isya’ di rumah Beliau dan dua raka’at sebelum shalat Shubuh, dan pada pelaksanaan shalat ini tidak ada waktu senggang buat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ". Telah menceritakan kepada saya Hafshah: "Bahwasanya bila mu’adzin sudah mengumandangkan adzan dan fajar sudah terbit, Beliau shalat dua raka’at".
Jadi shalat rawatib qobliyah (sebelum) maghrib tidaklah tergolong kedalam shalat-shalat rawatib yang muakkad bahkan para ulama dari madzhab Hanafi memakruhkannya. Namun demikian bagi mereka yang ingin mengerjakannya maka ia dikerjakan setelah adzan maghrib dan sebelum shalat fardhu maghrib ditegakkan. Dan waktu seperti ini tidaklah termasuk kedalam waktu-waktu yang dilarang melakukan shalat didalamnya karena dilakukan setelah waktu maghrib masuk.
Diantara dalil mereka yang megatakan bahwa terdapat sunnah rawatib sebelum maghrib adalah apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Anas bin Malik berkata, "Jika seorang mu’adzin sudah mengumandangkan adzan (Maghrib), maka para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berebut mendekati tiang-tiang (untuk shalat sunnat) sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam keluar, sementara mereka tetap dalam keadaan menunaikan shalat sunnat dua rakaat sebelum Maghrib. Dan di antara adzan dan iqamat Maghrib sangatlah sedikit (waktunya)." ‘Utsman bin Jailah dan Abu Daud menyebutkan dari Syu’bah, "Antara keduanya (adzan dan iqamat) tidak ada waktu kecuali sedikit."
Wallahu A’lam