Assalammualikum,
pa ustadz yang dirahmati Allah SWT, saya ingin bertanya dengan Firman Allah SWT dibawah ini.
artinya : “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath Thalaq : 4)
yang ingin saya tanyakan adalah :
1.bila dalam kondisi hamil ditalaq lalu dinikahi oleh lelaki lain , sah atau tidak pernikahan tersebut ?
2.bila dinikahi boleh atau tidak melakukan hubungan suami istri ?
3.bila sampai melakukan hubungan intim saat anak itu lahir nasabnya ikut siapa ?
4.apakah perlu nikah ulang bila dalam kondisi hamil ditalaq dan menikah dengan lelaki lain ?
5. bagaimana menurut hukum islam, bila wanita yang ditalaq hamil tapi kehamilanya disembunyikan sama orang lain seprti orang tua dan mantan suami mengingat wanita ini tidak mau kembali lagi kemantan suaminya, dan meminta tolong lelaki lain untuk menikahinya untuk menutupi kehamilannya ?
Jazakumullah.
ar
Waalaikumussalam Wr Wb
Talaq yang dijatuhkan seorang suami terhadap istrinya pada saat hamil termasuk kedalam talaq sunnah bukan bid’ah dan talaqnya itu dianggap sah menurut kesepakatan para ulama.
Sedangkan iddah bagi seorang wanita yang ditalak dalam keadaan hamil adalah hingga ia melahirkan kandungannya, sebagaimana firman Allah swt :
Artinya : “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath Thalaq : 4)
Seorang wanita yang ditalak suaminya disaat hamil maka tidak boleh menikah dengan lelaki lain hingga masa iddahnya berakhir, yaitu hingga ia melahirkan kandungannya. Jika terjadi pernikahan di masa iddahnya maka pernikahannya dianggap batal dan mereka berdua harus dipisahkan.
Markaz al Fatwa didalam fatwanya No. 8018 menyebutkan bahwa sesungguhnya iddah seorang wanita hamil berlangsung hingga ia melahirkan kandungannya itu, demikian kesepakatan para fuqaha berdasarkan firman Allah swt :
Artinya : “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath Thalaq : 4)
Dan diharamkan bagi seseorang untuk menikahinya sebelum wanita itu melahirkan kandungannya juga menjadi kesepakatan para fuqaha berdasarkan apa yang diriwayatkan Abu Daud dari hadits Ruwaifa’ bin Tsabit al Anshari bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,"Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir untuk menyiramkan airnya kepada tanaman orang lain -yaitu menggauli wanita-wanita yang sedang hamil"
Karena seorang wanita yang hamil tidaklah berakhir iddahnya kecuali dengan melahirkan kandungannya dan menikahi wanita yang sedang dalam masa iddah adalah haram menurut ijma’ ulama, berdasarkan firman Allah swt :
Artinya : “Dan janganlah kamu ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis ‘iddahnya.” (QS. Al Baqarah : 235), artinya Allah menetapkan bagi para wanita itu untuk menanti, maka tidak diperbolehkan menikahi seorang wanita yang sedang dalam masa iddah sebelum berakhir iddahnya itu.
Karena diantara syarat sah pernikahan dengan seorang wanita adalah bersihnya wanita tersebut dari berbagai penghalang, seperti : iddah dan sejenisnya. Dan ini—pernikahan di masa iddah—adalah pernikahan yang disepakati kerusakannya dan pernikahan tersebut batalse serta kedua orang tersebut haruslah dipisahkan. Melanjutkan pegaulan diantara keduanya berdasarkan aqad seperti ini dianggap sebagai bentuk melanjutkan perzinahan maka harus dilakukan hukuman had apabila kedua pasangan suami istri itu mengetahui hukum (pernikahan itu).
Demikian terkait hukum pergaulan yang diatasnya dibangun penasaban anak. Anak yang terlahir dari mereka setelah pegetahuannya terhadap hukum tersebut maka anak itu dianggap sebagai anak zina dan tidak ada pertalian nasab antara dia (ayah) dengan anaknya serta tidak ada waris sedangkan anak yang terlahir sebelum mengetahui hukumnya maka anak itu bisa dinasabkan kepadanya (ayahnya) dan saling mewarisi.
Ibnu Qudamah didalam “al Mughni” mengatakan apabila seseorang menikahi wanita yang sedang hamil dan keduanya mengetahui ia sedang dalam masa iddah serta diharamkannya menikah dalam keadaan seperti itu dan juga menggaulinya maka kedua orang tersebut adalah pezina yang harus dihukum had dan tidak ada mahar bagi keduanya dan tidak bisa disandarkan nasabnya. Sedangkan jika keduanya tidak mengetahui ia sedang dalam masa iddah serta diharamkannya pernikahan (saat itu) maka nasab bisa diteguhkan dan tidaklah dihukum had dan diharuskan mahar.
Jika si lelaki mengetahui sementara si wanitanya tidak maka si lelaki harus dihukum had dan membayarkan mahar dan si anak tidaklah dinasabkan kepadanya. Jika si wanita yang mengetahui semenara si lelaki tidak maka si wanita harus dihukum had dan tidak ada mahar baginya dan nasab bisa disandarkan kepadanya, karena pernikahan itu telah disepakati batalnya dan hal ini seperti pernikahan dengan mahramnya. (Markaz al Fatwa)
Dengan demikian pernikahan yang dilakukan pada saat si wanita menjalani masa iddahnya maka mengharuskan keduanya dipisahkan. Dan jika keduanya ingin melanjutkan hubungannya maka haruslah dilakukan setelah masa iddah wanita tersebut berakhir yaitu melahirkan kandungannya dengan akad nikah yang baru.
Dan jika dianggap anak itu sebagai anak zina dikarenakan mereka berdua mengetahui keharaman pernikahan dimasa iddah atau si lelaki mengetahui keharamannya meskipun si wanita tidak mengetahui maka anak yang terlahir dari mereka berdua tidaklah bisa dinasabkan kepada si lelaki akan tetapi dinasabkan kepada ibunya.
Adapun pertanyaan yang terakhir tentang menyembunyikan kehamilannya maka tidaklah dibenarkan dan termasuk perbuatan dosa, berdasarkan firman Allah swt :
Artinya : “Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat.” (QS. Al Baqarah : 228)
Ibnu Katsir mengatakan bahwa makna menyembunyikan apa yang diciptakan Allah adalah menyembunyikan kehamilan atau haidhnya.
Wallahu A’lam