Bagi yang ingin bertanya, silahkan kirim email ke [email protected]
Assalamu’alaikum..
Ust.. seorang laki-laki curhat ke akhwat bahwa dia pernah berzina dengan mantan pacarnya,
dia ingin bertobat, tapi memang dia sudah ketagihan dengan seks, jadi untuk memuaskan dirinya, dia melakukan onani. Dan dia ingin bertobat dengan menikahi si akhwat tadi. Pertanyaannya :
1. Apa hukum onani yg dilakukan laki-laki tadi karena takut terjerumus kedalam zina?
2. Apa hukum si Akhwat menolak khitbah si laki-laki untuk menikah dengan dia mengingat masa lalunya?
Demikian pertanyaan saya..
Wassalamu’alaikum..
Hamba Allah
Jawaban
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Islam dengan ajarannya yang amat mulia mengajarkan kita agar senantiasa memelihara akhlaq dan menjaga kehormatan kita yaitu dengan tidak melakukan perbuatan zina dan termasuk di dalamnya tidak melakukan onani dengan cara dan alasan apapun. Apalagi kenapa seorang laki-laki yang melakukan hal ini diungkapkan kepada seorang akhwat atau dengan kata lain kenapa harus curhat ke akhwat?.
Di sisi lain lain, akhwat tersebut seharusnya tidak melayani curhatnya dan dapat memberikan arahan agar kalau mau curhat kepada dirinya sangat tidak tepat, dan bila ingin curhat kan bisa kepada seorang ustadz atau guru ngaji yang dengan kapasitasnya dia akan dapat memberikan solusi atas permasalah yang sedang dialaminya.
Hukum onani
Ada beberapa pandangan ulama mengenai hukum onani sebagai berikut :
Pertama:
Jumhur Ulama (mayoritas Ulama) berpandangan bahwa haram melakukan onani, dalil mereka adalah firman Allah SWT:
“وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ. إِلاَّ عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ.فَمَنِ ابْتَغَى وَرَآءَ ذلِكَ فَأُولئِكَ هُمُ الْعَادُونَ”.
“Dan orang -orang yang menjaga kemaluannya. kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, maka seseungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. barang siapa mencari jalan di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas”. (QS. Al-Mu’minun: 5-7, QS. Al-Ma’arij: 29-31)
Jumhur Ulama menjelaskan bahwa orang mengeluarkan air maninya adalah termasuk orang yang mencari jalan di luar pernikahan.
Kedua:
Ulama Hanabilah (pengikut madzhab Imam Ahmad bin Hanbal) membolehkan onani namun dengan syarat bila dikhawatirkan akan terjerumus ke perbuatan zina yang sangat dilarang oleh agama, jangankan melakukannya, mendekatinya saja sudah tidak boleh. Syarat lainnya karena dia tidak mampu untuk menikah.
Bisa jadi pandangan kedua ini diarahkan kepada orang memiliki sedikit ‘kelainan’ syahwat yang mengakibatkan dirinya bisa terjerumus ke perbuatan zina. Atau mungkin saja orang tersebut adalah laki-laki yang sedang bekerja atau menuntut ilmu dan di hadapannya banyak sekali gangguan yang dapat mengundang syahwat. Maka hal ini sebagai mengambil akhaffudhdhararain (dua kemudharatan yang paling ringan). karenanya bisa jadi menurut pandangan ini tidak mengapa melakukan onani asal tidak berlebihan dan menjadi kebiasaan dengan catatan benar-benar dirinya dapat terhindar dari perbuatan zina.
Namun menurut hemat kami, ini kembali kepada diri pribadi laki-laki tersebut, apa selama ini dia lakukan dalam keadaan terpaksa (darurat) atau na’udzu billah bila memang disengaja kerena hanya untuk melampiaskan nafsu syahwat belaka.
Terus bagaimana solusinya?
Bannya solusi yang bisa dia lakukan, diantaranya dengan berkonsultasi, membaca buku agama, berteman dengan orang shalih, atau bisa direncanakan agar segera menikah, tentu dengan mencari pasangan dengan cara yang baik dan terhormat. Atau bila dia belum mampu menikah maka Islam mengajarkan agar berpuasa karena puasa akan dapat membantu dirinya menahan hawa nafsu. Demikian Islam memberikan solusi dan arahan kepada umatnya dalam segala hal, diantara bagi pemuda agar terhindar dari perbuatan tercela, dalam hal ini perbuatan zina.
Rasulullah SAW bersabda:
“يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرَجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ”.
“Wahai para pemuda, barang siapa diantara kamu sudah mampu menikah maka menikahlah, karena sesungguhnya menikah itu lebih dapat menjaga pandangan dan lebih dapat memelihara kehormatan. Dan barang siapa yang tidak mampu, maka hendaklah dia berpuasa karena puasa itu baginya menjadi pengendali nafsu”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Hak wanita untuk menolaknya
Jawaban untuk pertanyaan no. 2 : Tentu bagi wanita shalihah pasti akan menolak jika laki-laki tersebut berniat untuk melamarnya. Dia dan juga walinya berhak untuk menolaknya, apalagi laki-laki tersebut belum masuk ketegori laki-laki shalih.
“إَذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوْا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ”.
“Jika ada seorang laki-laki yang kamu ridhai agama dan akhlaqnya datang melamar (putri) mu maka nikahkanlah dia, jika kalian tidak melakukakannya maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan keurasakan yang meluas”. (HR. Bukhari)
Hadits ini dengan jelas sekali bahwa yang dimaksud adalah laki-laki yang keshalihannya benar-benar diketahui oleh wali seorang wanita yang akan dilamarnya.
Namun demikian kita berharap semoga laki-laki tersebut benar-benar bertaubat dan dapat memperbaiki dirinya serta dapat mengendalikan hawa nafsunya sehingga pada saatnya nanti akan mendapatkan jodoh wanita yang terbaik untuknya.
Demikian semoga pemaparan ini dapat memberikan pencerahan dan bersikap bijak dalam mengambil keputusan.
Wallahu a’lam bishshawab.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Taufik Hamim Effendi, Lc., MA