Ass. wr. wb.
Ustadz yang dirahmati Allah SWT, sampai sejauh dan sebatas mana seorang perempuan kalau bepergian harus didampingi mahram-nya, ada kalangan yang berpendapat perempuan boleh pergi tanpa mahram apabila perginya rame-rame (dalam jumlah banyak), mohon diberi dasar hadistnya kalau ada?
Jazakumullah Khoiron Katsiro
Wassalam,
Ibnu Hanif
Waaalaikumussalam Wr Wb
Saudara ibnu Hanif yang dimuliakan Allah swt
Didalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah saw bersabda,”Janganlah seorang wanita pergi (lebih dari) tiga hari kecuali bersamanya seorang mahram.” (HR. Muslim)
Imam Nawawi mengatakan bahwa—kata-kata tiga hari—bukanlah berarti pembatasan untuk bisa dinamakan bepergian dan Rasulullah saw tidak menginginkan batas minimal untuk dinamakan bepergian. Hasilnya adalah bahwa setiap apa yang disebut dengan perjalanan maka dilarang baginya tanpa disertai suami atau mahram baik tiga hari, dua hari, satu hari, setengah hari atau lainnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas.
Beliau juga menyebutkan bahwa kaum wanita diharuskan melaksanakan haji apabila dia telah memiliki kesanggupan, sebagaimana keumuman dari firman-Nya :
وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً
Artinya : “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imron : 97)
Dan sabda Rasulullah saw,”Ditegakkan islam diatas lima perkara.”. Kesanggupannya persis seperti kesanggupan seorang laki-laki akan tetapi mereka berbeda pendapat terhadap persyaratan mahram baginya.
Abu Hanifah mensyaratkan keberadaan mahram dalam kewajiban berhaji baginya kecuali dia berada diantara rumahnya dengan Mekah sejauh tiga kali perpindahan (persinggahan). Pendapat ini disepakati oleh para ahli hadits dan ahli ra’yi dan juga oleh al Hasan al Bashri dan an Nakh’i.
Atho’, Said bin Jubeir , Ibnu Sirrin, Malik, al Auza’i, dan pendapat yang masyhur dari Syafi’i tidak mensyaratkan mahram akan tetapi adanya keamanan bagi dirinya. Para ulama kami (Syafi’i) berpendapat bahwa keamanan tersebut adalah dengan adanya suami, mahram atau sekelompok wanita yang terpercaya dan menurut kami—seorang wanita—tidak diharuskan baginya haji kecuali dengan adanya salah satu dari mereka semua. Seandainya ia hanya mendapati seorang wanita yang terpercaya maka tidak wajib baginya pergi haji akan tetapi dibolehkan baginya berhaji bersamanya (wanita tersebut), inilah yang benar.
Imam Nawawi juga menyebutkan bahwa para ulama kami (Syafi’i) talah berselisih dalam hal kepergian wanita untuk berhaji yang sunnah, berziarah, berdagang maupun safar-safar lainnya yang tidak termasuk kewajiban. Sebagian mereka mengatakan boleh baginya pergi untuk keperluan itu bersama sekelompok wanita terpercaya sebagaimana haji. Jumhur ulama mengatakan bahwa tidak boleh baginya pergi kecuali bersama seorang suami atau mahram, inilah pendapat yang benar sebagaimana (didalam) hadits-hadits shohih.
Al Qodhi mengatakan bahwa para ulama telah bersepakat tidak diperbolehkan baginya melakukan bepergian selain haji dan umroh kecuali bersama seorang mahram kecuali hijrah dari darul harb (negeri kafir yang memeranginya). Mereka bersepakat bahwa wajib baginya untuk berhijrah dari darul harb menuju darul islam (negeri islam) walaupun tidak disertai dengan mahram. Perbedaan diantara keduanya adalah bahwa menetap di negara kafir haram apabila ia tidak bisa menjalankan agamanya dan khawatir akan agama dan dirinya…
Kata-kata “kecuali bersamanya mahram” adalah dalil bagi mazhab Syafi’i dan jumhur ulama bahwa seluruh yang dikatakan mahram adalah sama dalam hal ini. Boleh baginya bepergian bersama mahramnya dari jalur nasab, seperti anak laki-laki, saudara laki-laki, anak laki-laki dari saudara laki-lakinya, anak laki-laki dari saudara perempuan dan yang semisalnya. Ataupun bersama mahram dari jalur susuannya, seperti saudara laki-lakinya sesusuan, anak laki-laki dari saudara laki-lakinya sesusuan, anak laki-laki dari saudara perempuannya sesusuan dan yang semisalnya. Ataupun bersama mahram karena hubungan perkawinan seperti ayah dari suaminya, anak laki-laki dari suaminya dan tidak ada kemakruhan dalam hal ini. Dan dibolehkan baginya untuk berkholwat (berduaan) dengan setiap dari mereka semua, melihat kepadanya tanpa adanya keperluan akan tetapi tidak dibolehkan melihatnya dengan syahwat kepada salah seorang dari mereka, inilah madzhab Syafi’i dan jumhur ulama.. (Shohih Muslim bi Syarhin Nawawi juz IX hal 146 – 149)
Dengan demikian tidak dibolehkan bagi seorang wanita untuk melakukan bepergian yang telah melampaui jarak safar (81 km) tanpa ditemani mahramnya jika dikhawatirkan terjadi fitnah akan tetapi jika dirinya tidak mengkhawatirkan fitnah maka dibolehkan baginya melakukan perjalanan tanpa ditemani mahramnya namun tetap harus ditemani oleh wanita-wanita muslimah shalehah lainna, seperti untuk menunaikan ibadah haji dan hijrah dari darul harb.
Wallahu A’lam