Saya tidak sengaja melihat halaman di facebook tentang seseorang yang mengaku sebagai rasul beberapa tahun terakhir. yang menjadi pertanyaan saya:
- menurut dia nabi Muhammad adalah penutup para nabi alias nabi terakhir, tapi bukan penutup para rasul, jadi masih ada kemungkinan rasul akan muncul lagi setelah nabi Muhammad saw. karena tidak semua rasul adalah nabi. dan dia mengaku tidak membawa ajaran baru, hanya meluruskan ajaran Quran. apa benar penutup rasul tidak ada?
- menurut dia di dalam Quran salat itu cuma ada tiga, yaitu fajar, wusta, dan isya. dan gerakannya pun cuma tiga, yaitu berdiri, berlutut (bukan rukuk atau membungkuk), dan sujud. dan pengucapan allahu akbar salah, yang benar adalah al kabir karena akbar artinya lebih besar, bukan maha besar. apa benar demikian?
sebenarnya masih banyak yang ingin saya tanyakan tapi segitu aja dulu takut kebanyakan.
Terima kasih ustadz.
wassalamu ‘alaikum
Waalaikumussalam Wr Wb
Saudara Aziz yang dimuliakan Allah swt
Semoga Allah swt senantiasa menjaga umat ini dari finah para pendusta yang mengaku dirinya seorang Nabi setelah datangnya penutup para Nabi dan Rasul, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam Penutup Para Nabi dan Rasul
Sesungguhnya kenabian dan kerasulan telah ditutup dengan diutusnya Nabi dan Rasul kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan dalil-dalil al Qur’an dan Sunnah.
مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَكِن رَّسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا ﴿٤٠﴾
Artinya : “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu., tetapi Dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Ahzab : 40)
Ibnu Katsir mengatakan bahwa makna firman Allah diatas seperti firman-Nya pula :
اللّهُ أَعْلَمُ حَيْثُ يَجْعَلُ رِسَالَتَهُ سَيُصِيبُ
Artinya : “Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan.” (QS. Al An’am : 124)
Ayat ini merupakan sebuah nash bahwa tidak ada Nabi setelahnya. Dan jika tidak ada Nabi setelahnya maka tidak ada Rasul (pula) setelahnya menjadi lebih utama karena kedudukan kerasulan lebih khusus daripada kedudukan kenabian, karena sesungguhnya setiap Rasul adalah Nabi bukan sebaliknya.
Dalam hal ini terdapat beberapa hadits yang mutawatir dari sekelompok sahabat, sebagaimana diriwayatkan Imam Ahmad dari At Thufail bin Ubay bin Ka’b dari Bapaknya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Perumpamaanku dari para Nabi adalah seperti seorang lelaki yang membangun rumah, dia memperindahnya dan melengkapinya, namun dia meninggalkan satu tempat sebesar batu bata dan dia tidak meletakkannya, maka orang-orang berkeliling mengitari bangunan dengan terkagum kagum sambil mengatakan, ‘seandainya tempat batu bata ini sempurna’, maka saya dari para Nabi itu seperti tempat batu bata itu.”. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Bundar dari Abi Amir al Al Aqadi, dan beliua (Tirmidzi) mengatakan,”Hasan Shahih” (Tafsir al Quran al Azhim juz VI hal 428)
Perintah Shalat Lima Waktu di Dalam Al Qur’an
Sesungguhnya perintah melaksanakan shalat lima waktu telah disinggung Allah swt didalam al Qur’an, didalam firman-Nya :
أَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا ﴿٧٨﴾
Artinya : “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS. Al Isra : 78)
Ibnu Katsir menyebutkan bahwa didalam ayat ini terdapat waktu-waktu shalat yang lima waktu, yaitu didalam firman-Nya :
لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ
(dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam) yaitu gelapnya, ada juga yang mengatakan tenggelamnya matahari dan termasuk didalamnya adalah zhuhur, ashar, maghrib dan isya.
Sedangkan firman-Nya :
إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
adalah shalat fajar.
Gerakan-Gerakan Shalat
Diwajibkan bagi setiap muslim untuk menjadikan As Sunnah sebagai referensi keduanya setelah Al Qur’an. Hal itu dikarenakan tidak seluruh permasalahan bisa didapat didalam Al Qur’an, karena itu diperlukan Sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam untuk menjelaskan perkara-perkara yang secara global disebutkan didalam al Qur’an maupun menerangkan suatu permasalahan yang tidak disebutkan didalamnya.
Termasuk dalam hal ini adalah perintah Allah swt untuk berdirilah (menegakkan) shalat dan didalam ayat lain Allah swt menyinggungnya dengan firman-Nya : ruku’ dan sujud.
Namun demikian dibutuhkan bimbingan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam hal ini sebagai tuntunan dan penjelasan tentang gerakan-gerakan shalat yang sebenarnya, sebagaimana diriwayatkan Imam Ahmad dari Abu Malik Al Asy’ari mengumpulkan kaumnya lalu berkata: Hai sekalian kaum Asy’ari! Berkumpullah, kumpulkan istri-istri dan anak-anak kalian, aku akan mengajarkan kepada kalian shalatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau lakukan di Madinah.
Mereka pun berkumpul, mengumpulkan istri-istri dan anak-anak mereka, Abu Malik Al Asy’ari berwudhu dan memperlihatkan kepada mereka bagaimana caranya berwudhu, ia menyempurnakan wudhu hingga ke tempat-tempatnya hingga usai, ia pun berdiri lalu mengumandangkan adzan, kaum lelaki pun berbaris dalam shaf yang dekat, anak-anak berbaris dibelakang mereka dan kaum wanita berbaris dibelakang anak-anak. Shalat pun diiqamati. Ia maju kemudian mengangkat kedua tangan seraya bertakbir, ia membaca faatihatul kitaab dan surat yang dibaca pelan, selanjutnya ia bertakbir ruku’ dan membaca: Subhaanallaah wa bihamdihi sebanyak tiga kali, setelah itu mengucapkan: Sami’allaahu liman hamidah dan berdiri lurus, setelah itu ia bertakbir dan turun sujud, selanjutnya bertakbir dan mengangkat kepala, setelah itu bertakbir lalu sujud, lalu bertakbir dan berdiri, ia bertakbir sebanyak enam kali dalam rakaat pertama, ia bertakbir saat berdiri untuk rakaat kedua. Seusai shalat ia menghadap ke kaumnya lalu berkata: Hafalkan takbirku, pelajarilah ruku’ku dan sujudku karena itulah shalat Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam yang beliau kerjakan untuk kami seperti itu saat di siang hari.
Abu Daud juga meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, bertakbirlah, kemudian bacalah ayat Al Qur’an yang mudah bagimu, lalu ruku’lah hingga kamu benar-benar (tenang) dalam posisi ruku’, setelah itu bangkitlah sampai berdiri lurus kembali, kemudian sujudlah hingga benar-benar dalam posisi sujud, lalu duduklah hingga benar-benar dalam posisi duduk, lalu sujud kembali hingga benar-benar sujud, kemudian lakukanlah hal itu di setiap shalatmu.”
Makna Kalimat “Allahu Akbar”
Pada hadits-hadits diatas disebutkan bahwa disyariatkan bertakbir untuk berpindah dari satu gerakan kepada gerakan lainnya didalam shalat kecuali ketika seorang berdiri dari ruku dengan mengucapkan Sami’allaahu liman hamidah.
Adapun kalimat takbir yang dimaksud juga dijelaskan pada hadits yang sama, yang diriwayatkan Abu Daud dari Abu Hurairah—diatas– selanjutnya dia melanjutkan seperti hadits di atas, lalu dia berkata; “Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya tidak sempurna shalat seseorang sehingga dia berwudlu’ yaitu membasuh anggota wudlu’nya (dengan sempurna) kemudian bertakbir, memuji Allah Jalla wa ‘Azza, menyanjung-Nya dan membaca AL Qur’an yang mudah baginya. Setelah itu mengucapkan Allahu Akbar, kemudian ruku’ sampai tenang semua persendiannya, lalu mengucapkan “Sami’allahu liman hamidah” sampai berdiri lurus, kemudian mengucapkan Allahu Akbar, lalu sujud sehingga semua persendiannya tenang. Setelah itu mengangkat kepalanya sambil bertakbir. Apabila dia telah mengerjakan seperti demikian, maka shalatnya menjadi sempurna.”
Dengan demikian ucapan takbir—sebagaimana disebutkan didalam hadits itu adalah—Allahu Akbar artinya Allah Maha Besar bukan Allah Kabir yang berarti Allah Yang Besar. Karena Makna dari Akbar sebagaimana makna kata-kata yang mengambil pola ini, seperti : Asghor (Paling Kecil), Awsa’ (Paling Luas), Adhyaq (Paling Sempit) dan lainnya berarti tidak ada lagi sesuatu yang melebihinya. Adapun jika yang dimaksud dengan lebih besar dari adalah jika kata-kata diatas diikuti dengan huruf min sebagai perbandingan terhadap sesuatu lainnya, seperti disebutkan didalam firman-Nya :
وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ
Artinya : “Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh.” (QS. Al Baqarah : 217)
Atau firman-Nya :
وَإِثْمُهُمَآ أَكْبَرُ مِن نَّفْعِهِمَا
Artinya : “Dan dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. (QS. Al Baqarah : 219)
Wallahu A’lam
Ustadz Sigit Pranowo
Bila ingin memiliki karya beliau dari kumpulan jawaban jawaban dari Ustadz Sigit Pranowo LC di Rubrik Ustadz Menjawab , silahkan kunjungi link ini :
Resensi Buku : Fiqh Kontemporer yang membahas 100 Solusi Masalah Kehidupan…