Assalamualaikum Warahmatullahi wabarakatuh…
Pak Ustadz, saya baru mentalak 1 istri saya beberapa hari yg lalu, dan kemudian istri pindah tidur ke tempat orang tuanya membawa serta 2 orang anak kami. Saya sudah menyarankan untuk tinggal/ tidur di rumah kami, tapi istri tetap bersikukuh untuk ke rumah orang tuanya.
Yang menjadi pertanyaan saya:
- Apa ketentuan yg berlaku di Islam atas tindakan istri yg keluar dari rumah kami dan tinggal di rumah orang tuanya, yang setahu saya, istri tidak boleh keluar rumah tanpa seizin suami walau istri masih masa iddah?
- Apakah istri boleh menolak ajakan suami yg ingin rujuk?
Terima kasih banyak Ustadz, atas jwaban yang di berikan.
Waalaikumussalam Wr Wb
Istri Keluar Rumah Pada Masa Iddah
Seorang wanita yang ditalak dengan talak raj’i (talak satu atau dua) oleh suaminya maka diharuskan baginya untuk menetap di rumah suaminya dan tidak keluar dari rumah tersebut kecuali dengan izin suaminya berdasarkan firman Allah swt :
وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ
Artinya : “Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang.” (QS. Ath Thalaq : 1)
Didalam kitab “al Mausu’ah al Fiqhiyah” disebutkan bahwa para fuqaha berpendapat diwajibkan bagi seorang wanita yang dalam masa iddah thalaq atau faskh atau kematian untuk senantiasa menetap di rumah semasa iddahnya, Janganlah dia meninggalkan rumah kecuali ada suatu keperluan atau uzur. Apabila wanita itu keluar maka ia berdosa dan bagi seorang suami selama masa thalak atau faskh memiliki hak untuk melarangnya demikian pula bagi ahli warisnya (dari suami yang meninggal). Tidak diperbolehkan bagi seorang suami atau ahli warisnya mengeluarkannya dari rumah pernikahannya selama ia dalam masa iddah dan jika tidak demikian maka mereka berdosa, karena diidhofahkan (disandarkan) kata rumah-rumah mereka didalam firman Allah swt :
وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ
Artinya : “Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka.” (QS. Ath Thalaq : 1)
Firman Allah لا تُخْرِجُوهُنَّ “Janganlah kamu mengeluarkan mereka” menunjukkan bahwa ia adalah hak (istri) terhadap para suami, sedangkan firman-Nya وَلا يَخْرُجْنَ “Dan janganlah mereka keluar” menunjukkan ia adalah hak Allah swt dan para suami terhadap para istri.
Maka iddah adalah hak Allah dan hak Allah swt tidaklah bisa digugurkan dengan saling redho dan ia tidak menerima pengguguran. Ini adalah hukum dasarnya kecuali jika ada berbagai uzur atau untuk memenuhi berbagai kebutuhan.
Namun para fuqaha berbeda pendapat tentang berapa lama dibolehkan seorang wanita yang sedang iddah keluar (dari rumah). Maka hal itu disesuaikan dengan perbedaan keadaan, waktu-waktu dan uzur-uzurnya.
Para fuqaha madzhab Hanafi dan Syafi’i berpendapat bahwa seorang wanita yang ditalak raj’i tidak diperbolehkan keluar dari rumah iddahnya baik diwaktu malam maupun siang. Mereka mendasari pendapatnya dengan firman Allah swt :
Artinya : “Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka ke luar.” (QS. Ath Thalaq : 1)
Allah swt telah melarang para suami mengeluarkan para istri yang sedang iddah dari rumah mereka kecuai jika ia melakukan perbuatan keji, yaitu zina.
Juga berdasarkan firman Allah swt :
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ
Artinya : “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu.” (QS. Ath Thalaq : 6)
Didalamnya terdapat perintah untuk menempatkan mereka serta larangan untuk mengeluarkan dan keluar (dari rumah).
Imam Nawawi mengatakan bahwa apabila talaknya adalah raj’i maka wanita itu adalah istrinya maka diwajibkan bagi suaminya mencukupkannya dan tidak diperbolehkan bagi si istri keluar tanpa izinnya.”
Al Kasani mengatakan,”Karena wanita itu adalah istrinya setelah ditalak raj’i dan karena masih adanya kepemilikan pernikahan dari berbagai sisi maka tidak diperbolehkan bagi wanita itu keluar sebagaimana keadaan sebelum talak dijatuhkan, hanya saja setelah talak dijatuhkan maka tidak diperbolehkan baginya keluar walaupun si suami mengizinkannya. Dan hal demikian berbeda dengan sebelum talak karena pengharaman keluar setelah talak adalah karena tempat iddah dan didalamnya terdapat hak Allah dan si suami tidaklah memiliki hak untuk membatalkannya. Berbeda dengan sebelum talak karena pengharaman disitu adalah hak suami secara khusus maka dia memiliki hak pula untuk membatalkan hak dirinya sendiri dengan memberikan izin keluar.
Berbeda dengan para ulama madzhab Maliki dan Hambali yang mengatakan dibolehkan bagi seorang wanita yang ditalak raj’i keluar pada saat siang hari untuk menunaikan keperluan-keperluannya dan diharuskan baginya untuk menetap di rumahnya pada malam hari karena bisa memunculkan kerusakan.
Mereka berdalil dengan hadits Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma Jabir berkata; “Bibiku ditalak tiga, kemudian ia keluar untuk memetik buah kurmanya. Kemudian seorang laki-laki bertemu dengannya dan melarangnya. Lalu ia mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan menyebutkan hal tersebut kepadanya. Beliau berkata kepadanya; keluarlah dan petiklah buah kurmamu, semoga engkau dapat mensedekahkan sebagian darinya, atau melakukan kebaikan.”
Para ulama Maliki menegaskan bahwa keluarnya seorang wanita yang sedang iddah untuk menunaikan keperluannya dibolehkan dibaginya pada waktu-waktu yang mengandung keamanan dan itu berbeda-beda sesuai dengan negeri dan waktu, di kota-kota yaitu pada waktu tengah hari dan waktu-waktu lainnya antara dua tepi siang akan tetapi tidaklah wanita itu bermalam kecuali di rumahnya. (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 10682 – 10683)
Dengan demikian tidak seharusnya istri anda yang sedang dalam masa iddah pada talak raj’i meninggalkan rumah anda dan tinggal atau menetap di rumah orang tuanya terlebih anda tidak redho atau tidak mengizinkannya. Sebagaimana penjelasan diatas, tidak diperbolehkan bagi istri anda meninggalkan rumah anda semasa iddahnya kecuali untuk menunaikan berbagai keperluan yang membutuhkan dirinya keluar rumah. Jika tidak ada alasan yang dibenarkan maka keluarnya dari rumah suaminya dianggap sebagai sebuah pelanggaran terhadap hak Allah swt dan termasuk perbuatan dosa.
Oleh karena itu hendaklah anda mengingatkan dan menasehatinya agar kembali menetap di rumah anda selama masa iddahnya itu. Bisa jadi dengan keberadaannya di rumah anda maka anda berdua akan mengintrospeksi diri masing-masing atas apa ang terjadi, kembali muncul perasaan penyesalan, saling membutuhkan sehingga akan terjadi ruju’ diantara anda berdua.
Istri Tidak Mau Diruju’
Ruju’ dimasa iddah pada talak kesatu atau kedua merupakan hak suami yang tidak disyaratkan adanya keredhoaan atau kerelaan istri, berdasarkan firman Allah swt :
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُواْ إِصْلاَحً
Artinya : “Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah.”(QS. Al Baqarah : 228)
Diantara hikmah dari diadakan ruju’ didalam syariat islam adalah terkadang seorang suami setelah mentalak istrinya muncul penyesalan atas perbuatan tersebut sebagaimana diisyaratkan Allah swt didalam firman-nya :
لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا
Artinya : “Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.” (QS. Ath Thalaq : 1) , maka si suami membutuhkan waktu untuk menyadarinya dan seandainya tidak diteguhkan ruju’ maka tidak mungkin ia akan menyadari. Dan apabila si wanita tidak menyetujuinya untuk memperbaharui pernikahannya sementara si lelaki sudah tidak sabar (sanggup) maka bisa jadi ia akan terjatuh kedalam pezinahan.
Karena itu disyariatkannya ruju’ adalah untuk kebaikan diantara suami istri dan inilah hikmah mulia, Maha Suci Allah, Hakim yang seadil-adilnya, demikian menurut al Kasani.
Dengan demikian jika keinginan anda merujuk istri anda adalah untuk perbaikan dan kebaikan anda berdua serta tidak untuk memudharatkan (menyakiti) nya maka anda berhak atasnya tanpa perlu adanya persetujuan atau keredhoan dari istri anda terhadapnya.
Ibnu Qudamah mengatakan bahwa keredhoan istri didalam ruju’ tidaklah diakui berdasarkan firman Allah swt :
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُواْ إِصْلاَحً
Artinya : “Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah.”(QS. Al Baqarah : 228), Allah menjadikan—ruju—adalah hak bagi mereka (para suami).
Allah swt berfirman :
فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ
Artinya : “Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf.” (QS. Al Baqarah : 231)
Ayat tersebut ditujukan kepada para suami sebagai sebuah perintah dan tidak memberikan pilihan bagi para istri. Karena ruju’ adalah menetapkan istri dengan hukum pernikahan maka tidaklah diakui kerdhoannya dalam hal ini dan ia bagaikan tulang rusuk pernikahannya. Hal ini merupakan ijma’ para ulama. (al Mughni juz XVII hal 59)
Wallahu A’lam