Assalamua’laikum Wr. Wb
Ustadz sewaktu masih hidup ayah sy pernah menjual sawah untuk biaya kuliah saya dan membayar utang pada kakak saya.
menurut kyiai setempat hasil penjualan tersebut sudah sampai pada hisab/ ongkos naik haji.
(hasil penjualan mencapai kurang lebih 80 jt, antara tahun 1997-2000).
Skrg ayah sy sudah meninggal 2 bln yang lalu, dan kyai tersebut menyarankan kepada ahli waris untuk menunaikan haji tersebut dgn cara menitipkan kepada menantu nya yang kebetulan lagi ada di Saudi Arabia sebagai TKI. dan tentunya dengan perjanjian berapa ahli waris mampu membayarnya. Kurang lebih dia minta 5 juta.
Ini bagaimana hukumnya pak ustadz, apa memang dibenarkan..? dan semasa hidupnya ayah sy memang tidak berwasiat…
Demikian, mohon jawabannya dari pak Ustadz.
Wassalam- Muhtadin
Wa’alaikumussalam wr. wb.
Saudara Adin yang dirahmati Allah swt
Ibadah haji yang merupakan salah satu dari rukun islam ini tidaklah diwajibkan kecuali kepada setiap muslim yang berakal, baligh, merdeka serta memiliki kesanggupan untuk menunaikannya sebagaimana firman Allah swt :
وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ الله غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
Artinya : “mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Al Imron : 97)
Tidaklah ada kewajiban terhadap seseorang yang tidak memiliki perbekalan, kendaraan yang mengantarkannya ke tanah suci, termasuk dalam hal ini juga adalah memiliki utang yang harus segera dilunasi tanpa bisa ditunda pembayarannya, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi dari Abdullah bin Abi Aufa berkata,’Aku bertanya kepada Rasulullah saw tentang yang belum menunaikan haji atau berutang untuk haji?’ Beliau saw bersabda,’Tidak.”. (Baca : “Hukum Berhaji dengan Utang”)
Kebanyakan ulama membolehkan mengerjakan haji bagi orang lain dikarenakan orang itu kehilangan salah satu syarat dari wajib haji atau ia berwasiat menjelang kematiannya, sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa telah datang seorang wanita dari Khuts’am pada tahun haji wada’. Wanita itu berkata,”Wahai Rasulullah, sesungguhnya kewajiban Allah (ini) kepada setiap hamba-hamba-Nya dan saya mendapatkan ayahku telah tua renta tidak sanggup menunggang kendaraannya. Apakah aku menghajikannya?’ beliau saw menjawab,’Ya.’
Sedangkan melakukan haji bagi orang yang sudah meninggal sementara orang itu tidak pernah berwasiat selama hidupnya maka para ulama Hanafi dan Maliki tidak memperbolehkan. Namun para ulama Hanafi mengecualikan apabila yang orang yang mengerjakan hajinya itu adalah ahli warisnya walau tanpa seizin orang yang meninggalkan warisan itu maka hal itu dibolehkan, berdasarkan hadits wanita dari Khuts’am diatas. Hadits itu tidak merinci apakah orang yang dihajikan itu telah berwasiat atau tidak akan tetapi ayahnya itu adalah orang yang meninggalkan harta waris baginya.
Para ulama Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa barangsiapa yang meninggal dan dia masih memiliki kewajiban berhaji maka wajib ditunaikan baginya haji dari seluruh harta peninggalannya baik orang itu berwasiat atau tidak berwasiat sebagaimana diwajibkannya utang orang itu untuk dibayarkan darinya baik ia berwasiat atas utang itu atau tidak.
Seandainya orang itu tidak meninggalkan harta peninggalan maka disunnahkan bagi ahli warisnya untuk menunaikan haji baginya. Apabila ahli warisnya itu sendiri yang menunaikan haji baginya atau mengutus orang berhaji bagi orang yang meninggal itu maka telah gugurlah kewajiban haji bagi orang yang meninggal itu walaupun yang berhaji itu adalah orang asing maka tetap dibolehkan walaupun orang itu menunaikan tanpa seizing ahli warisnya sebagaimana dibolehkannya menunaikan utangnya tanpa seizin ahli warisnya. (Al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 5859)
Adapun seorang yang melakukan haji bagi orang lain maka ia haruslah orang yang terlebih dahulu sudah menunaikan ibadah haji untuk dirinya sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah dari Ibnu Abbas bahwa Nabi saw pernah mendengar seorang laki-laki yang mengatakan,”Labbaik bagi Syubrumah.” Nabi saw bertanya,’Siap Syubrumah?” orang itu mengatakan,”Saudara laki-lakiku atau kerabatku.” Nabi saw bertanya,”Apakah engkau telah berhaji untuk dirimu?” orang itu menjawab,”Belum.” Beliau saw bersabda,”Berhajilah untuk dirimu lalu berhajilah bagi Syubrumah.”
Wallahu A’lam