Boleh ustaz tolong beri penjelasan mengenai hadith:
Rasulullah saw bersabda,”Siapa yang meniru-niru suatu kaum maka ia termasuk golongan kaum itu.”
Adakah ini termasuk perkara ibadah atau perkara harian? Bagaimana pula perbuatan mengenakan gelas minuman kaca untuk meraikan sesuatu. Dan bagaimana pula menghadiri majlis-majlis keramaian seperti majlis tahun baru cina?
Terima Kasih atas jawapan ustaz
Waalaikumussalam Wr Wb
Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw bersabda,”Barangsiapa yang meniru suatu kaum maka dia termasuk dari mereka.” (HR. Abu Daud yang dishahihkan oleh Ibnu Hibban)
Meniru-niru ini mengandung beberapa arti, yaitu menyerupai, mengikuti, menuruti atau bersesuaian. Didalam hal ini, islam memiliki ciri khas tersendiri yang berasal dari Allah swt yang membedakan umatnya dari umat-umat lainnya, baik didalam aqidah, ibadah maupun akhlak.
Karena itu, Rasulullah saw melarang setiap umatnya untuk mengambil atau meniru-niru prilaku yang menjadi ciri khas orang-orang diluar islam, sebagaimana disebutkan didalam hadits diatas.
Al Munawiy dan al Alqomiy mengatakan bahwa makna “barangsiapa yang meniru suatu kaum” yaitu didalam berhias dengan perhiasan-perhiasan mereka, berperangai dengan perangai mereka, berpakaian dengan pakaian mereka dan sebagian perbuatan-perbuatan mereka.
Al Qori mengatakan bahwa maknanya adalah barangsiapa menjadikan dirinya meniru orang-orang kafir, seperti dalam berpakaian atau yang lainnya, atau meniru orang-orang fasiq, pelaku kejahatan, ahli tashawwuf, orang-orang shaleh atau orang-orang baik maka dia termasuk dari mereka, yaitu didalam dosa dan kebaikan.
Al Qomiy mengatakan bahwa barangsiapa yang meniru orang-orang shaleh maka dia akan mulia sebagaimana mereka telah dimuliakan. Dan barangsiapa yang meniru orang-orang fasiq maka dia tidak akan mulia. Barangsiapa terdapat pada dirinya tanda-tanda kemuliaan maka dirinya mulia walaupun kemuliaan itu belum terwujud padanya.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan didalam “ash Shiroth al Mustaqim” bahwa Imam Ahmad dan yang lainnya telah berargumentasi dengan hadits ini. Hadits ini paling tidak menunjukkan pengharaman tasyabbuh (meniru-niru) mereka sebagaiamana didalam firman-Nya :
Artinya : “Dan barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin maka Sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.” (QS. Al Maidah : 51)
Senada dengan perkataan Abdullah bin ‘Amr bahwa barangsiapa yang membangun suatu bangunan di tanah orang-orang musyrik lalu membuat perayaan hari raya mereka dan meniru-niru mereka hingga dirinya meninggal dunia maka dia akan dikumpulkan pada hari kiamat bersama mereka.”
Ada kemungkinan bahwa yang dimaksud adalah meniru-niru secara mutlak yang menjadikannya kufur… Ada pula kemungkinan bahwa dirinya termasuk dari mereka didalam kadar tertentu sesuai dengan yang ditiru mereka dalam hal itu. Apabila ia adalah suatu kekufuran atau kemaksiatan atau berupa syiar-syiarnya maka hukumnya adalah seperti itu pula. Telah diriwayatkan dari Ibnu Umar berupa larangan meniru orang-orang ‘ajam,”Barangsiapa yang meniru-niru suatu kaum maka dia termasuk dari mereka.”, demikian disebutkan oleh al Qodhi Abu Ya’la.
Para ulama berargumentasi dengan hadits ini tentang makruhnya segala sesuatu dari pakaian selain kaum muslimin. Diriwayatkan oleh Tirmidzi dari hadits ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah saw bersabda,”Bukanlah dari kami, orang yang meniru-niru selain kami.” (Aunul Ma’bud juz XI hal 56 – 57)
Dengan demikian dilarang bagi setiap muslim untuk meniru orang-orang non muslim didalam segala sesuatu yang menjadi ciri khas atau syiar mereka, baik didalam perkara-perkara harian, seperti : pakaian, peralatan-peralatan makan, minum, simbol-simbol tertentu maupun didalam perkara-perkara ibadah dengan niat meniru-niru mereka dan dilakukannya dengan kerelaan tanpa ada keadaan darurat yang memaksanya.
Termasuk yang dilarang adalah ikut merayakan dan meramaikan hari raya mereka atau majlis-majlis khusus yang merupakan bagian dari perayaan mereka, seperti tahun baru cina (imlek). Imlek menurut kepercayaan orang-orang Tionghoa adalah upacara sembahyang ditujukan kepada Sang Pencipta sebagai wujud syukur dan doa harapan agar di tahun depan mendapat rezeki lebih banyak. Imlek juga bertujuan untuk menjamu leluhur dan sebagai sarana silaturahmi dengan kerabat dan tetangga. Mereka pun mempersembahkan beberapa makanan—yang merupakan kesukaan para leleuhur—sebagai lambang kemakmuran, keselamatan dan kebahagiaan.
Firman Allah swt :
Artinya : “Bagi tiap-tiap umat telah kami tetapkan syari’at tertentu yang mereka lakukan.” (QS. Al Hajj : 67). Termasuk syariat adalah kiblat, tata cara sembahyang, berpuasa dan tidaklah ada bedanya antara mengikuti mereka didalam hari raya maupun tempat-tempat sucinya.
Wallahu A’lam
Ustadz Sigit Pranowo Lc