Assalamualaikum Wr. Wb.
Pak ustad saya ingin menanyakan hal yang baru saya ketahui setelah kurang lebih 2 tahun usia pernikahan saya. Sebelumnya saya membaca artikel mengenai hukum menikahi wanita yang hamil akibat zina. Berdasarkan artikel tersebut saya mengetahui bahwa kalau yang menikahi wanita tersebut bukan yang menzinai maka pernikahan tersebut tidak sah.
Saat ini saya telah menikah dengan satu orang anak. Ketika saya melangsungkan akad nikah dulu, calon istri saya tengah hamil 4 bulan, akan tetapi kehamilan tersebut disebabkan hubungan dengan mantan pacarnya. Mantan pacar istri saya tersebut tidak mau bertanggung jawab dan meninggalkannya. Dengan pertimbangan yang sangat panjang, akhirnya saya memutuskan untuk menikahi calon istri saya tersebut dan bersedia menjadi ayah dari anak yang di kandung calon istri saya tersebut.
Mulai saat itu saya dan calon istri saya bertekad untuk membangun lembaran kehidupan yang baru, membangun keluarga sakinah, mawadah, warohmah. Sampai saat ini pun saya masih mencintai istri dan anak saya tersebut.
Yang ingin saya tanyakan adalah :
1. Bagaimana hukumnya menikahi wanita yang sedang hamil akibat dizinai oleh orang lain? 2. Apakah akad nikah tersebut sah atau tidak?
3. Kemudian apabila tidak sah apakah harus dilakukan akad nikah lagi?
4. Apakah saya berdosa menikahi istri saya tersebut?
Demikian Pak Ustad, jawaban dari Pak Ustad sangat kami harapkan untuk memberikan ketentraman dan ketenangan batin bagi jiwa kami yang sangat tergoncang. Kami juga mengharapkan saran atas keadaan yang saya alami ini. Terimakasih.
Wassalam
Waalaikumussalam Wr Wb
Terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama tentang sah tidaknya pernikahan seorang wanita yang sedang hamil dikarenakan zina. Diantara para ulama yang mengatakan bahwa hal itu tidaklah sah baik dengan lelaki yang menzinahinya atau dengan lelaki selainnya adalah para ulama Maliki, Hambali dan Abu Yusuf al Hanafi. Mereka mendasarkan pendapatnya kepada sabda Rasulullah saw,”Seorang wanita yang sedang hamil tidak boleh digauli sehingga dia melahirkan..” (HR. Abu Daud)
Juga riwayat dari Said al Musayyib bahwa seorang laki-laki telah menikahi seorang wanita dan ketika diketahui bahwa wanita itu sedang hamil dan diberitahukanlah hal ini kepada Nabi saw maka beliau saw pun memisahkan mereka berdua.” (HR. Baihaqi)
Sedangkan diantara yang membolehkan pernikahan wanita hamil dikarenakan zina adalah para ulama dari Syafi’i, Abu Hanifah dan Muhammad dikarenakan belum tekukuhkannya nasab, sebagaimana sabda Nabi saw,”Anak itu bagi yang memiliki tempat tidur sedang bagi yang berzina tidak memiliki apa-apa.” (HR. Jama’ah kecuali Abu Daud).
Para ulama Syafi’i mengatakan bahwa akad pernikahan seorang wanita pezina baik dengan lelaki yang menghamilinya atau dengan yang lainnya adalah sah namun dimakruhkan baginya untuk menggaulinya sebelum dia melahirkan apa yang dikandungnya dari hasil perzinahannya. Sedangkan para ulama Hanafi yang juga membolehkan pernikahan semacam itu namun mengharamkan menggaulinya hingga wanita itu melahirkannya. (baca : “Menikah Pada Saat Hamil”)
Dengan demikian yang harus dihindari bagi seseorang yang menikahi seorang wanita hamil hasil perzinahannya dengan lelaki lain adalah tidak menggaulinya atau menyetubuhinya selama wanita itu belum melahirkan anak tersebut, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud,”Tidak halal bagi seorang yang beriman dengan Allah dan hari akhir menumpahkan maninya kedalam ‘perkebunan’ orang lain.”
Terdapat beberapa pelajaran dari peristiwa diatas :
1. Segera melakukan taubat nashuha bagi wanita pelaku zina. Hal itu dikarenakan selain zina merupakan dosa besar tetapi ia juga menjadi syarat sahnya pernikahannya, sebagaimana firman Allah swt :
الزَّانِي لَا يَنكِحُ إلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
Artinya : “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.” (QS. An Nuur : 3)
Seorang yang belum bertaubat dari perbuatan zina maka sebutan pezina belumlah hilang dari dirinya sehingga tidaklah dihalalkan baginya untuk menikah dengan orang-orang yang bukan pezina. Hal ini seperti yang telah ditegaskan didalam sabdanya saw,”Seorang yang bertaubat (dari dosa) bagai orang yang tidak ada dosa baginya.” (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi)
Pertaubatan ini haruslah dibarengi dengan adanya perubahan ke arah yang lebih baik yang dibuktikan dengan melakukan berbagai amal shaleh dan pendekatan dirinya kepada Allah swt melalui ibadah-ibadah wajib maupun sunnah-sunnahnya.
2. Ilmu adalah landasan dari suatu amal.
Seringkali niat baik seseorang dikarenakan ketidaktahuannya menjadikan amal yang dilakukannya tidaklah mendapatkan pahala dari Allah swt. Karena diantara yang menjadikan amal itu diterima Allah swt selain dari ikhlas dilakukan karena mengaharap ridho-Nya adalah ia juga harus dilakukan sesuai dengan perintah atau petunjuk dari Rasulullah saw.
Untuk itu Allah swt memerintahkan setiap hamba-hamba-Nya untuk tidak segan-segan bertanya kepada orang yang berilmu ketika ia dihadapkan oleh suatu persoalan atau permasalahan yang tidak diketahu ilmunya, sebagaimana firman-Nya
Artinya : “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An Nahl : 43)
Dengan ilmu yang diketahuinya maka orang itu akan menjalankan amal tersebut dengan perasaan yang tenang dan tanpa ada kekhawatiran akan terjatuh didalam dosa dan pelanggaran terhadap rambu-rambu Allah swt.
Hal lain yang perlu diketahui adalah bahwa anak yang terlahir dikarenakan zina tidaklah bisa dinasabkan kecuali kepada ibunya.
Wallahu A’lam