assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
ustadz yang dirahmati Allah. saya ingin menanyakan gimana kalau dalam beribadah motivasi kita mengharapkan surga dan takut neraka, apakah hal ini salah? sebab ada ungkapan “Jika aku mengharap surga Mu ya Allah maka masukkanlah aku ke neraka mu”. ungkapan tersebut bisa dikatakan menganggap kalau kita beribadah hanya mengharap surga dan takut neraka adalah salah dan dikategorikan tidak ikhlas. mohon penjelasannya ustadz. syukron atas jawaban ustadz..
wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Waalaikumussalam Wr Wb
Saudara Aidil yang dimuliakan Allah swt
Sesungguhnya mengharapkan pahala dari Allah swt, mengharapkan surga-Nya serta takut akan murka dan adzab-Nya tidaklah bertentangan dengan keikhlasan sama sekali bahkan hal itu sudah menjadi kebiasaan orang-orang shaleh, ibadah orang-orang yang dekat dengan Allah swt dari kalangan para Nabi dan Rasul serta orang-orang yang mengikuti mereka hingga hari akhir.
Hal seperti itu terdapat didalam Al Qur’an dan Sunnah, seperti firman Allah swt tatkala bercerita tentang bapak para Nabi, Ibrahim as di beberapa doa-doanya yang banyak :
وَاجْعَلْنِي مِن وَرَثَةِ جَنَّةِ النَّعِيمِ
Artinya : “dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mempusakai surga yang penuh kenikmatan,” (QS. Asy Syuara : 85)
Artinya : “Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas.” (QS. Al Anbiya : 85)
Ayat-ayat yang seperti ini amatlah banyak. Hal demikian juga terdapat didalam ash Shahihain atau lainnya dari Anas berkata,”Tatkala turun firman Allah swt :
لَن تَنَالُواْ الْبِرَّ حَتَّى تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَ
Artinya : “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai.” (QS. Al Imran : 92)
Lalu Abu Thalhah menghampiri Nabi saw, ia adalah orang Anshar yang paling banyak hartanya dan harta yang paling dicintainya adalah sebuah kebun yang berhadapan dengan masjid.
Dan Rasulullah saw pun mendatangi kebun itu dan meminum air yang rasanya enak didalam kebun itu. Abu Thalhah berkata,”Wahai Rasulullah saw. Sesungguhnya Allah swt telah menurunkan kepadamu ayat ini :
لَن تَنَالُواْ الْبِرَّ حَتَّى تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَ
Artinya : “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai.” (QS. Al Imran : 92), sesungguhnya harta yang paling aku cintai adalah kebun ini maka aku sedekahkan untuk Allah.”
Rasulullah saw bersabda,”luar biasa. Ini adalah harta yang beruntung, ini adalah harta yang beruntung…
Dalil dari permasalahan diatas adalah perkataan Abu Thalhah,”Sesungguhnya aku mengharapkan kebaikannya dan menjadi investasi disisi Allah swt.” dan Rasulullah saw telah menetapkan hal itu dan beliau saw tidak mengatakan kepada Abu Thalhah,”Jangan engkau berkata demikian karena hal itu akan mengurangi pahalamu atau bertentangan dengan keikhlasan.” Dan diamnya Rasulullah saw adalah ketetapan.
Begitu juga doa-doa Rasulullah saw serta para salafus shaleh seluruhnya penuh dengan penyebutan rasa takut dan harap.
Berdasarkan itu maka para penulis ahlus sunnah hampir-hampir tidak didapat disetiap kitab yang ditulis mereka kecuali dicantumkan didalamnya bab tentang rasa takut, bab penuh harap bahkan terdapat berbagai kitab yang secara khusus berbicara tentang Targhib dan Tarhib (Penuh Harap dan Takut).
Dengan demikian kita mengetahui bahwa hal itu adalah manhaj islam yang benar. Al Alamah Abdul Hamid bin Badis—semoga Allah merahmatinya—mengatakan setelah melakukan penelitian yang cukup tentang permasalahan ini ketika menafsirkan firman Allah swt yang berbicara tentang sifat Ibadurrahman didalam surat Al Furqon :
Artinya : “Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, jauhkan azab jahannam dari kami, Sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal”. (QS. Al Furqon : 65), beliau mengatakan bahwa telah jelas apa yang kami sebutkan bahwa ibadah yang disertai dengan parasaan takut dan harap merupakan manhaj yang benar… Sungguh kami telah melakukan penelitian terhadap kitabullah, sunnah Rasulullah saw maka kami tidak mendapatkan satu ayat atau hadits pun didalamnya yang secara tegas menyebutkan tentang disyariatkannya ibadah terlepas dari keduanya (rasa takut dan harap) justru ibadah menjadi sempurna dengan keduanya…
Kemudian al Alamah Abdul Hamid mengatakan bahwa idabah yang tidak terdapat didalamnya perasaan takut dan harap adalah bertentangan dengan ibadah para Nabi dan Rasul serta ibadah orang-orang shaleh dan hal itu tidaklah terdapat didalam nash yang jelas baik dari Al Qur’an maupun sunnah….
Sebetulnya pemikiran seperti ini (ibadah yang terlepas dari rasa takut dan harap, pen) berasal dari pemikiran sufi. Sesungguhnya para ulama salaf menetapkan bahwa agama Allah swt atas tiga tingkatan : islam, iman dan ihsan. Kemudian para ahli fiqih mengkhususkan diri mereka didalam memahami islam dan berbagai hukum-hukumnya yang tampak. Para ulama aqidah, tauhid dan kalam mengkhususkan diri mereka didalam keimanan dan berbagai permasalahan yang ada disekitarnya..
Kemudian orang-orang sufi mengatakan,”Kami adalah orang-orang yang mengkhususkan dengan tingkatan ihsan.” Akan tetapi mereka telah memasukkan berbagai hal yang baru dan dibuat-buat… diantaranya ada yang mereka namakan dengan cinta Ilahi yang muncul pada akhir abad II H melalui lisan Rabi’ah al Adawiyah … dan juga orang setelahnya serta Dzin Nuun al Mishriy dan Sulaiman ad Daroniy dan lainnya.
Secara terang-terangan mereka mengatakan bahwa mereka tidaklah menaati Allah swt dan mengerjakan berbagai kewajiban karena takut akan adzab Allah dan tidak pula karena mengharapkan surga-Nya… namun karena kecintaan kepada Allah dan mengharapakan kedekatan dengan-Nya.
Jadi manhaj yang benar adalah beribadah kepada Allah dengan disertai perasaan takut akan siksa-Nya dan mengharapkan pahala-Nya… dan hal itu tidaklah bertentangan dengan keikhlasan yang menjadi dasar dari ibadah. (Markaz al Fatwa no 21032)
Wallahu A’lam
Ustadz Sigit Pranowo Lc