Assalamu’alaikum wr. wb.
Semoga Pak Ustadz dapat memberikan sedikit cahaya bagi saya yang saat ini sedang beradadalam kegelapan.
6 bulan saya menikah dengan wanita yang mengaku janda. Karena kekurangan biaya, wanita itu mengaku bahwa surat talaq nya belum dia tebus, karena saya percaya pada pengakuannya akhirnya kami pun menikah siri. Ternyata semua kebohongan dia saat ini terbuka. Sebenarnya dia masih memiliki suami yang sah.
Yang ingin saya tanyakan:
1. Bagaimana status pernikahan saya, sah atau tidak?
2. Karena saat ini dia sedang hamil dan diakui adalah murni darah daging saya, bagaimana status anak yang di kandung secara nasab, ahli warisnya?
Mohon penjelasannya, Pak Ustadz.
Wassalamua’alaikum wr. wb.
Waalaikumussalam Wr Wb
Saudara Wahyudin yang dimuliakan Allah swt
Semoga Allah senaniasa memberikan perlindungan-Nya kepada anda dan memberikan kesabaran terhadap segala permasalahan yang saat ini sedang anda hadapi.
Anda tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan nikah sirri yang dimaksudkan. Apabila nikah sirri yang anda maksud adalah pernikahan yang tidak menghadirkan wali dari perempuannya padahal dirinya masih memiliki wali maka pernikahan tersebut dianggap batal. Dan anda berdua haruslah dipisahkan lalu apa yang anda lakukan dengan menggaulinya (jima’) itu dianggap sebagai zina dan perbuatan zina tidaklah mengukuhkan nasab anak yang terlahir dari anda berdua sehingga si anak kelak dinasabkan kepada suami pertama dari ibu yang melahirkan bayi itu, sebagaimana diriwayatkan dari Muhammad bin Ziyad bahwasanya dia telah mendengar Abu Hurairoh dari Nabi saw bersabda,”Anak itu untuk yang memiliki tempat tidur.” (HR. Bukhrori) didalam riwayat yang lain disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda, ”Anak itu untuk yang memiliki tempat tidur sedang bagi orang yang berzina tidak mempunyai apa-apa.” (HR. Abu Daud dan an Nasai)
Imam Suyuthi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan pemilik tempat tidur adalah suaminya, atau tuannya. Seorang isteri dinamakan tempat tidur dikarenakan suami yang menidurinya. Dia juga menambahkan bahwa tidak ada bagian untuk lelaki yang menzinahinya terhadap anak itu. Sesungguhnya pemilik tempat tidur adalah pemilik ibu dari anak itu, yaitu suaminya atau tuannya sedangkan lelaki yang menzinahinya terlarang memilikinya. (Syarh Sunan an Nasai juz V hal 148 – 149)
Adapun apabila yang anda maksudkan dengan nikah sirri adalah nikah yang tetap menghadirkan rukun-rukun nikahnya, seperti wali dari perempuannya, dua orang saksi dan ijab qabul namun hanya saja tidak didaftarkan secara administratif kepada KUA maka pernikahan tersebut pada dasarnya sah.
Akan tetapi dikarenakan wanita yang anda nikahi itu ternyata masih berstatus istri dari suaminya yang pertama pada saat akad nikah dan pada saat akad itu berlangsung anda tidak mengetahui perihal itu maka pernikahan tersebut menjadi rusak (fasid) menurut hukum syariat dan wanita itu harus dipisahkan dan baginya iddah untuk menjaga hak laki-laki itu terhadap nasab anaknya. Adapun masa iddah wanita itu adalah hingga dia melahirkan bayinya, sebagaimana firman Allah swt :
وَأُوْلَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Artinya : “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath Thalaq : 4)
Adapun tentang anak yang dikandungnya maka ia dinasabkan kepada anda (ayahnya), sebagaimana disebutkan didalam “al Fatawa al Kubro” :
“Sesungguhnya kaum muslimin telah bersepakat bahwa setiap pernikahan yang diyakini oleh seorang suami bahwa itu adalah pernikahan yang diperbolehkan, jika dia menggaulinya maka anaknya bisa disandarkan kepadanya dan keduanya saling mewarisinya sebagaimana kesepakatan kaum muslimin walaupun pernikahan itu pada asalnya adalah pernikahan yang batil menurut kesepakatan kaum muslimin, baik lelaki yang menikah itu adalah seorang yang kafir atau muslim…
Demikian pula seorang muslim yang jahil (tidak tahu) seandainya dia menikahi seorang wanita yang masih dalam masa iddahnya sebagaimana dilakukan oleh orang-orang jahil dari kalangan arab badui lalu lelaki itu menggaulinya dengan keyakinan bahwa perempuan itu sudah menjadi istrinya maka anak yang dilahirkan dari wanita itu dinasabkan kepadanya (lelaki itu) dan dia bisa mewarisinya sebagaimana kesepakatan kaum muslimin, dan kejadian seperti ini sudah banyak.” (al Fatawa al Kubro, juz IV hal 420)
Wallahu A’lam