Assalamua’laikum Wr.Wb.
Ustad, saya mau tanya
1. Apa boleh kita baca atau menyentuh Al-Qur’an tanpa punya wudhu ?
2. Saya pernah denger kalau kita baca surat at-taubah, tidak perlu baca basmalah dulu, apa itu benar ustad dan apa alasannya ?
Terimakasih atas jawabannya.
Wassalamua’laikum Wr.Wb
Amir
Waalaikumussalam Wr Wb
Saudara Amir yang dimuliakan Allah swt
Menyentuh Al Qur’an Tanpa Wudhu
Para imam telah bersepakat diharamkan membawa mushaf dan menyentuhnya bagi orang yang sedang haidh, nifas maupun junub, tak seorang pun sahabat yang menentangnya, namun hal tersebut dibolehkan oleh Daud dan Ibnu Hazm azh Zhahiriy.
Dalil yang digunakan oleh para imam adalah firman Allah :
إِنَّهُ لَقُرْآَنٌ كَرِيمٌ (77) فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ (78) لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ (79) تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ (80)
Artinya : “Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia. Pada Kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh). tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. Diturunkan dari Rabbil ‘alamiin.” (QS. Al Waqi’ah : 77 – 80), bahwa yang dimaksud dengan al Kitab di situ adalah mushaf sedangkan makna menyentuh adalah menyentuh secara fisik yang telah diketahui.
Dalil ini mendapat tanggapan dari sebagian ulama yang menafsirkan “kitab yang terpelihara” adalah Lauh Mahfuzh sedangkan makna “orang-orang yang suci” adalah para malaikat. Atau seandainya yang dimaksud dengan al Kitab adalah mushaf maka orang-orang yang suci adalah orang-orang yang suci dari kesyirikan, karena orang-orang musyrik adalah najis, pendapat ini dibenarkan oleh Ibnul Qoyyim didalam “At Tibyan fii Aqsaamil Qur’an, hal 141” bahwa yang dimaksud dengan al Kitab adalah yang ada ditangan para malaikat.
Para imam juga berdalil dengan hadits Ibnu Umar,”Janganlah kamu menyentuh al Qu’an kecuali kamu dalam keadaan bersih” hadits disebutkan oleh Haitsami didalam “Majma’ az Zawaid” dia mengatakan bahwa orang-orang yang meriwayatkannya bisa dipercaya. Sedangkan al Hafizh mengatakan bahwa sanadnya tidak masalah namun didalamnya terdapat seorang perawi yang diperselisihkan.
Sedangkan dalil Daud dan Ibnu Hazm yang mengatakan tidak diperbolehkan membawa dan menyentuhnya adalah apa yang terdapat didalam ash Shahihain, bahwa Nabi saw mengutus sebuah tulisan kepada Hiraklius yang didalamnya terdapat ayat :
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ (64)
Artinya : “Katakanlah: "Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan…". (QS. Al Imran : 64) , serta tulisan-tulisan lainnya yang dikirim kepada mereka yang mana mereka tidaklah bersih dari junub.
Hal ini dijawab oleh para imam dengan mengatakan bahwa surat tidaklah bisa dikatakan dengan mushaf dan tidak ada larangan dalam hal ini, seperti halnya membawa buku-buku agama yang didalamnya terdapat ayat-ayat al Qur’an. Dari sini kita dapat mengetahui bahwa membawa atau menyentuh mushaf bagi orang yang sedang haidh atau junub adalah diharamkan yang tidak terbantahkan. Hal itu merupakan bentuk penghormatan terhadap mushaf.
Adapun bagi orang yang berhadats kecil, maka hukumnya sebagai berikut :
1. Jumhur ulama mengharamkannya menyentuh dan membawa mushaf, ini adalah pendapat Malik, Syafi’i dan Abu Hanifah didalam salah satu riwayatnya, dalil-dalil mereka sama dengan yang diatas.
2. Sebagian ulama membolehkannya, ini adalah pendapat Abu Hanifah didalam salah satu riwayatnya sebagaiman juga dibolehkan oleh Daud bin Ali.
Sebagian orang-orang yang mengharamkannya mengecualikan hal itu terhadap anak-anak kecil yang belum baligh atau bermimpi karena kebutuhan mereka untuk menghafal Al Qur’an serta memudahkan penghafalannya bagi mereka, karena jika pun seorang anak itu bersuci (wudhu) maka bersucinya itu tidaklah sah dikarenakan tidak sah niatnya. Hal ini kemudian dianalogikan kepada orang-orang dewasa yang membutuhkan al Qur’an untuk menghafal Al Qur’an. Adapun apabila untuk tujuan ibadah maka diharuskan atasnya untuk bersuci.
Demikianlah, sedangkan membaca al Qur’an tanpa menyetuh atau membawa mushaf dibolehkan bagi orang yang sedang berhadats kecil, ini sudah menjadi kesepakatan para fuqoha, walaupun yang paling utama (afdhol) adalah dalam keadaan bersuci, khususnya apabila dimaksudkan untuk ibadah, karena ibadah dengan bersuci lebih sempurna dan lebih bisa diharapkan untuk diterima. (Fatawa al Azhar juz VII hal 496)
Surat At Taubah Tanpa Basmalah
Terdapat perbedaan tentang sebab peramasalahan ini :
Ada yang mengatakan bahwa hal itu dikarenakan surat at taubah diturunkan pada saat peperangan, pertempuran dan untuk membongkar keadaan orang-orang munafik sehingga tidaklah pas apabila ia diawali dengan basmalah yang didalamnya mengandung rahmat (kasih sayang), sebagaimana kebiasaan orang-orang Arab tatkala mereka menyerang orang lain dengan perkataan maka awal perkataannya adalah disesuaikan dengan isi perkataannya.
Serta yang diriwayatkan dari ibnu Abbas yang bertanya kepada Utsman,”Mengapa tidak ditulis kalimat basmalah antara surat at taubah dengan al anfal?” Utsman menjawab,”Karena surat at taubah adalah surat yang terakhir turun dan hingga Rasulullah saw wafat beliau tidak menjelaskan tentang permasalahan ini. Dan aku melihat awal surat ini memiliki kemiripan dengan akhir-akhir surat al anfal maka aku pun sertakan surat at taubah setelah surat al anfal.
Wallahu a’lam