Ustadz Sigit yang saya hormati,
Saya hanya ingin menanyakan tentang maraknya bencana alam yang menimpa suatu negeri dengan berturut-turut dan beruntun. Apakah ini semua merupakan azab Allah SWT ?Apakah Allah SWT hendak menunjukkan kesalahan negeri tersebut ? Adakah dari kalangan ulama salaf yang mengupas tentang fenomena munculnya bencana alam yang menimpa suatu negeri secara beruntun ?
Atas penjelasannya saya ucapkan jazakallah khoiron katsiro.
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudara Abu Zaid yang dimuliakan Allah SWT
Dalam beberapa tahun terakhir, negeri ini terus menerus secara beruntun ditimpa berbagai bencana yang banyak memakan korban jiwa dan kerugian harta benda. Terakhir sekali ujian di bulan lalu, hanya dalam sebulan (oktober) negeri ini ditimpa 3 bencana: tanah longsor di Wasior, tsunami di Mentawai dan letusan gunung Merapi yang hingga hari ini masih terus mengeluarkan materialnya dengan letusan-letusannya.
Lalu apakah itu semua ujian atau adzab dari Allah SWT ?
Jika kita melihat pada tabiat berbagai musibah itu berupa kesengsaraan atau kesulitan lalu melihat waktu kejadiannya di dunia serta sasaran atau obyeknya yang menimpa orang-orang yang ada di sekitar wilayah musibah-musibah itu tanpa membedakan antara orang-orang baik atau zhalim maka bisa dikatakan bahwa ia adalah ujian bagi sebagian orang untuk memilah kualitas keimanan dan ketaatan mereka sebagaimana firman-Nya :
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ ﴿٢﴾
Artinya: “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk [67] : 2)
Dan bisa jadi ia adzab dari Allah bagi sebagian lainnya yaitu para pelaku maksiat dan dosa yang enggan untuk bertaubat, sebagaimana dinyatakan oleh firman Allah SWT:
فَلْيَضْحَكُواْ قَلِيلاً وَلْيَبْكُواْ كَثِيرًا جَزَاء بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ ﴿٨٢﴾
Artinya: “Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS. At Taubah [9] : 82)
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ali berkata, “Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang ayat yang paling utama dalam kitabullah ta’ala, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menceritakannya kepada kami, (yaitu ayat): “(Apa saja musibah yang menimpa kalian maka disebabkan oleh perbuatan tangan-tanganmu sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Ash-Shura [42] : 30), dan saya akan menafsirkannya kepadamu wahai Ali, apa-apa yang menimpa kalian berupa sakit, siksaan atau cobaan di dunia, maka itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian dan Allah ta’ala Maha Pemurah dari hendak mengadzab dua kali kepada mereka ketika di akherat sedangkan apa-apa yang Allah maafkan di dunia maka Allah ta’ala Maha Lembut dari hendak kembali setelah memaafkannya.”
Siksa atau adzab yang diberikan Allah SWT itu disebabkan dosa-dosa mereka sebagaimana firman-Nya:
فَكَذَّبُوهُ فَعَقَرُوهَا فَدَمْدَمَ عَلَيْهِمْ رَبُّهُم بِذَنبِهِمْ فَسَوَّاهَا ﴿١٤﴾
Artinya: “Lalu mereka mendustakannya dan menyembelih unta itu, Maka Tuhan mereka membinasakan mereka disebabkan dosa mereka, lalu Allah menyama-ratakan mereka (dengan tanah).” (QS. Asy-Syams [91] : 14)
Para Pemimpin yang Jauh Dari Allah
Dosa-dosa dan kemaksiatan yang dilakukan itu menuntupi hati dan keimanan mereka. Ketiadaan iman membawa mereka melakukan berbagai kerusakan bukan hanya yang bersifat fisik, seperti pengrusakan alam, namun juga yang bersifat mental, seperti: kezhaliman, tidak memperhatikan halal dan haram, boleh dan tidak boleh menurut agama serta lainnya. Ketiadaan iman itu tidak hanya merusak diri mereka sendiri akan tetapi juga orang-orang di sekitarnya. Semakin banyak para pelaku dosa dan kemaksiatan ini maka semakin berat pula bahaya dan akibat yang ditimbulkannya.
وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ ﴿٣٠﴾
Artinya: “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Ash-Shura [42] : 30)
Kerusakan mental dan ketiadaan iman manusia di suatu negeri tidaklah bila dilepaskan dari kerusakan agama para pemimpin dan ulamanya. Ibnul Mubarok mengatakan, ”Tidaklah kerusakan agama (iman) yang ada kecuali dikarenakan para penguasa dan ulama su’u (buruk).”
Senada dengan apa yang perkataan Ibnul Mubarok diatas, Imam Ghazali di dalam kitabnya “Ihya” menyebutkan bahwa sesungguhnya kerusakan terjadi para rakyat disebabkan kerusakan para pemimpin dan kerusakan para pemimpin disebabkan kerusakan para ulama.”
Ketika para pemimpin suatu negeri tidak lagi memiliki keimanan di hatinya, tidak memperdulikan halal-haram, mengabaikan syariat Allah, membuat berbagai kebijakan dan aturan yang menzhalimi umat, asyik tenggelam dengan dunianya sendiri, terus menambah pundi-pundi kekayaannya, melanggengkan jabatannya sementara mereka menutup mata atas kesulitan rakyatnya maka selain membawa kesengsaraan kepada masyarakat secara umum juga dapat medatangkan kemurkaan Allah swt ketika para ulamanya tidak lagi mau menasehati dan meluruskan mereka.
Disadari atau tidak, sesungguhnya prilaku buruk para pemimpin dapat menjadi contoh buruk bagi para pemimpin yang ada di level bawahnya atau juga bagi masyarakat yang menyaksikannya. Sungguh mereka tidak hanya memikul dosa-dosa perbuatan mereka saja akan tetapi juga dosa-dosa orang-orang yang mengikutinya. Tepatlah apa yang disebutkan Ibnu Hajar di kitabnya “al Fath” bahwa rakyat itu tergantung (kualitas) agama para pemimpinnya.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa jika para pemimpin yang mengurusi jiwa-jiwa dan harta rakyatnya tetap istiqamah (diatas kebenaran) maka rakyat mereka pun akan istiqamah, sebagaimana perkataaan Abu Bakar kepada wanita Ahmasiyah di dalam riwayat Imam Bukhori, ”Wanita itu berkata: ‘Apa yang membuat kami eksis di atas kebaikan dari apa yang Allah datangkan setelah zaman jahiliyyah ini?’ Abu Bakar menjawab: ‘Yang membuat kalian tetap di atas kebaikan adalah selama pemimpin-pemimpin kalian istiqamah.’ Wanita itu bertanya: ‘Siapakah para pemimpin?’ Abu Bakar menjawab: ‘Bukankah kaummu memiliki para pembesar dan tokoh yang memerintahkan mereka lalu mereka menta’ati pemimpin mereka?’ Wanita itu menjawab: ‘Ya benar’ Abu Bakar berkata: ‘Mereka itulah para pemimpin masyarakat’.”
Karena itulah para pemimpin umat ini terdahulu sangat khawatir jika mereka tidak bisa istiqamah di atas jalan dan manhaj Allah SWT di dalam mengurusi permasalahan rakyatnya. Mereka betul-betul meyakini kalaulah bisa lepas dari pengamatan orang lain, luput dari pengadilan dunia akan tetapi mereka tidaklah bisa menghindari pengadilan Allah swt yang akan menanyakan semua harta yang didapat, perbuatan yang dilakukan, kekuasaan yang direbut, jabatan yang diraih, kebijakan yang dibuat. Abu Daud meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Seorang amir adalah pemimpin bagi rakyatnya dan dia dimintai pertanggungjawaban atas mereka.”
Ketika Umar bin Abdul Aziz berada di mushallanya lalu istrinya masuk dan melihat Umar tengah menopang kedua pipinya dengan kedua tangannya sambil mengucurkan air mata yang membasahi janggutnya. Istrinya pun bertanya, “Wahai Amirul Mukminin adakah suatu kejadian?” Umar menjawab, “Wahai Fatimah sesungguhnya di leherku terdapat urusan umat Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam baik yang berkulit hitam atau merah. Lalu aku merenungi perkara orang miskin yang lapar, orang sakit yang lemah, yang telanjang tak berpakaian, yang tertindas, terzhalimi, teraniaya, terasing, para tahanan, orang-orang tua renta, orang yang memilik banyak anak-anak sementara harta mereka sedikit atau orang-orang seperti mereka semua yang ada di seluruh pelusuk tanah air dan penjuru negeri, sungguh aku mengetahui bahwa Tuhanku akan menanyaiku tentang (keadaan) mereka pada hari kiamat maka aku takut tidak memiliki satu argumentasi pun dihadapan-Nya maka aku pun menangis.”
Renungan dan tangisan yang bukan hanya basa basi namun dibuktikan dengan kezuhudan, keadilan dan perhatian besarnya untuk senantiasa mendahulukan kepentingan rakyatnya daripada diri dan keluarganya, senasib dan sepenanggungan dengan rakyatnya meskipun hanya 2.5 tahun Umar memegang tampuk kekuasaan sebelum akhirnya beliau meningal dunia karena diracun.
Di masanya, tidak ada dari kaum muslimin yang berhak menerima zakat (mustahik) dari baitul mal sehingga beliau memutuskan bahwa kelebihan harta di baitul mal-baitul mal kaum muslimin itu dibagi-bagikan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani namun mereka pun semua menolak karena merasa selama ini telah dicukupkan oleh baitul mal. Lalu beliau meminta agar para gubernurnya membebaskan para budak, membayarkan utang orang-orang yang berhutang, menikahkan para pemuda yang tidak sanggup menikah serta membiayai kebutuhan mereka namun tetap saja harta itu masih melimpah hingga pada akhirnya dikembalikan lagi ke baitul mal-baitul mal kaum muslimin.
Suatu ketika Umar bin Abdul Aziz selesai melaksanakan shalat isya lalu dia menemui putri-putrinya dan memberikan salam kepada mereka. Ketika itu putri-putrinya merasakan sesuatu sehingga mereka menutupi mulut-mulut mereka dengan tangan mereka dan bersegera keluar (tidak menemui ayahnya). Umar pun bertanya kepada wanita pengasuh mereka, ”Apa yang terjadi dengan mereka?” Wanita itu menjawab, ”Sesungguhnya mereka tidaklah memiliki sesuatu untuk makan malam kecuali hanya kacang adas dan bawang merah lalu mereka khawatir engkau akan mencium baunya dari mulut-mulut mereka.” Umar pun menangis dan berkata kepada mereka, ”Wahai putri-putriku, sesungguhnya berbagai jenis makanan untuk makan malam tidaklah bermanfaat bagi kalian jika kelak ayah kalian dicemplungkan ke neraka.” Maka putri-putrinya itu pun menangis dengan suara keras dan Umar pun berlalu.
Umar adalah sosok pemimpin yang menyadari bahwa kepemimpinan adalah amanah berat bukan sarana memperkaya diri, keluarga dan kelompoknya. Diceritakan dari Abdul Aziz putra Umar bin Abdul Aziz bahwa aku pernah dipanggil (khalifah) al Manshur dan dia bertanya, ”Berapakah kekayaan Umar bin Abdul Aziz ketika diangkat sebagai khalifah?” Aku menjawab, ”50.000 dinar.” Al Manshur kembali bertanya, ”Lalu berapakah kekayaannya di hari kematiannya?” Aku menjawab, ”hanya 200 dinar.”
Dari Amr bin Muhajir bahwa belanja Umar bin Abdul Aziz setiap harinya adalah 2 dirham. Dari Said bin Amir adh Dhab’i dari Aun bin al Mu’tamar bahwa Umar bin Abdul Aziz berkata kepada istrinya, ”Apakah kamu punya satu dirham untuk aku belikan anggur?” Istrinya menjawab, ”Tidak punya.” Umar kembali bertanya, ”Apakah kamu punya beberapa sen saja?” Istrinya menjawab, ”Tidak. Anda Amirul Mukminin sementara anda tidak sanggup menghadirkan satu dirham!’ Umar menjawab, ”Keadaan seperti ini jauh lebih ringan daripada gulungan rantai di neraka jahanam.”
Fatimah istri Umar bin Abdul Aziz pernah menceritakan bahwa beliau adalah orang yang paling banyak shalat dan puasa, dan aku tidak melihat seorang yang paling menyendiri dengan Tuhannya daripada dirinya. Beliau apabila selesai melaksanakan shalat isya maka memperpanjang duduknya di masjid lalu mengangkat kedua tangannya dengan terus menangis sehingga kedua matanya diserang kantuk kemudian terjaga sementara dirinya masih berdoa dengan mengangkat kedua tangannya sambil menangis kemudian kedua matanya diserang kantuk lagi dan terjaga lagi, begitulah (keadaannya) sepanjang malam.
Sungguh sosok kepemimpinan yang saat ini hilang dari tubuh umat meskipun umat ini memiliki ribuan atau bahkan ratusan ribu pemimpin. Sosok kepemimpinan yang didambakan dan dirindukan kehadirannya untuk bisa mengangkat kualitas hidup dunia maupun akherat mereka. Sosok kepemimpinan yang mendahulukan rakyatnya saat senang dan membelakangkan mereka saat sulit karena takut hari perhitungannya dihadapan Allah SWT.
Larinya Para Ulama dari Amanah
Kelemahan iman dan jauhnya para pemimpin dari Allah SWT adalah juga disebabkan pengabaian para ulama dan dainya dari tugas utamanya sebagai pewaris Nabi yaitu menyampaikan amar ma’ruf nahi munkar dan pengabaian terhadap amanah ilmu yang dipikul di pundaknya disebabkan tak kuasanya mereka terhadap tarikan-tarikan dunia berupa harta, kekuasaan dan jabatan dan terkadang pula wanita.
Imam Ghazali mengatakan dalam kitabnya “Ihya Ulumuddin”, ”Adapun saat ini para pemimpin yang tamak telah mengikat lidah-lidah para ulama sehingga menjadikan mereka terdiam tidak bisa berbicara, kata-kata mereka tidaklah membantu keadaan-keadaan mereka maka mereka pun mengalami kegagalan. Seandainya mereka jujur dan benar dalam menunaikan hak ilmunya maka pastilah mereka sukses. Maka kerusakan rakyat disebabkan kerusakan para pemimpin dan kerusakan para pemimpin disebabkan kerusakan para ulama dan kerusakan para ulama disebabkan mereka dikuasai sifat cinta harta dan jabatan. Barangsiapa yang dikuasai oleh cinta dunia maka dia tidak akan mampu mengawasi berbagai dosanya, lantas bagaimana dengan para penguasa dan pejabat?”
Para ulama dan dai yang memiliki ilmu agama saja ketika dikuasai oleh cinta harta dan jabatan tidak mampu mengendalikan dirinya untuk tidak berbuat maksiat dan dosa apalagi para pemimpin yang tidak memiliki dasar ilmu agama tentunya lebih tidak mampu lagi mengendalikan diri mereka untuk tidak berbuat maksiat dan dosa.
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِيَ آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ ﴿١٧٥﴾وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِن تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَث ذَّلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُواْ بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ ﴿١٧٦﴾
Artinya: “Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian Dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu Dia diikuti oleh syaitan (sampai Dia tergoda), Maka jadilah Dia Termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, Sesungguhnya Kami tinggikan (derajat) nya dengan ayat-ayat itu, tetapi Dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, Maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya Dia mengulurkan lidahnya (juga). demikian Itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.” (QS. Al A’raf [7] : 175-176)
Ibnu Katsir didalam tafsirnya menjelaskan tentang makna وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الأرْضِ adalah cenderung kepada perhiasan dan bunga-bunga dunia, menginginkan kelezatan dan kenikmatannya. Hingga akhirnya dia pun terpedaya sebagaimana terpedayanya orang-orang selainnya dari kalangan para ulama.
Sementara Sayyid Qutb mengatakan bahwa makna “mengikuti hawa nafsu” adalah mengikuti hawa nafsunya sendiri dan hawa nafsu para penguasa yang memiliki diri mereka (para ulama itu) untuk kepentingan mereka (penguasa) demi mencari harta benda kehidupan dunia.
Betapa banyak orang-orang alim dalam agama dan kami melihat mereka memahami hakikat agama Allah kemudian tergelincir darinya lalu menyuarakan selainnya, memanfaatkan ilmunya dalam berbagai penyimpangan yang dikehendaki, fatwa-fatwa yang dinginkan para pemimpin dunia yang semu! (Fii Zhilalil Qur’an juz III hal 322)
Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Hudzaifah bin Al Yaman dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangannya, hendaknya kalian beramar ma’ruf dan nahi munkar atau jika tidak niscaya Allah akan mengirimkan siksa-NYa dari sisi-Nya kepada kalian, kemudian kalian memohon kepada-Nya namun do’a kalian tidak lagi dikabulkan.” Abu Isa berkata; Hadits ini hasan.
Umat ini membutuhkan para ulama dan dai yang robbaniyin yang senantiasa berhubungan erat dengan Allah SWT, hati dan fikirannya senantiasa terikat dengan akherat meskipun jiwa mereka di dunia berinteraksi dengan umatnya. Para ulama yang tidak berorientasi dunia dan mencari keuntungan-keuntungan dunia dengan ilmunya, yang takut menyia-nyiakan amanah ilmu dan dakwah yang telah dipikulkan Allah diatas pundaknya, senantiasa menyerukan yang maruf dan mencegah yang munkar meskipun orang-orang tidak menyukainya sebagaimana dicontohkan oleh para pendahulu mereka dari kalangan salafus shaleh.
Karena itu sekecil apa pun kemaksiatan dan dosa yang ada ditengah-tengah umat tidak boleh dibiarkan karena ia akan terus melebarkan pengaruhnya kepada orang-orang disekitarnya sehingga menjadikan banyak para pendukungnya bagaikan suatu penyakit menular yang manakala didiamkan tidak diobati akan semakin menularkan orang-orang yang ada disekitarnya dan membahayakan mereka semua.
Semoga berbagai kejadian dan musibah di negeri ini semakin menyadarkan para ulama, pemimpin dan rakyatnya untuk menahan diri dari segala kemaksiatan dan kembali kepada Allah dengan berbagai amal-amal ketaatan kepada-Nya. Karena kebaikan negeri ini kembali kepada keimanan dan ketakwaan ketiganya.
Wallahu A’lam.
Ustadz Sigit Pranowo Lc
Tertarik dengan kumpulan konsultasi Ustadz menjawab, silahkan klik link dibawah ini :
Resensi Buku : Fiqh Kontemporer yang membahas 100 Solusi Masalah Kehidupan…
http://m.eramuslim.com/resensi-buku/100-solusi-masalah-kehidupan-dalam-fiqh-kontemporer.htm