Ustadz, saya sedang dalam kebimbangan. Saya sering menghadiri undangan rapat atau seminar, baik yang dengan atau tanpa menginap, di hotel berbintang. Menurut informasi dari saudara saya yang bekerja di salah satu hotel berbintang yang cukup ternama, hotel-hotel berbintang di Indonesia belum memiliki “halal kitchen” sebagaimana hotel-hotel berbintang di negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Menurut pengamatan dan pengalaman saya, hotel-hotel tersebut hampir pasti selalu menyediakan menu yang mengandung daging babi. Sedangkan alat-alat makan maupun alat-alat masaknya – karena tidak memiliki “halal kitchen” – hampir bisa dipastikan digunakan bersama-sama baik untuk menyajikan/memasak daging babi maupun yang non-babi.
Bagaimana hukumnya kita makan dan minum di tempat seperti itu di mana ada kemungkinan besar bahwa alat makan dan masaknya telah mengalami percampuran dengan daging babi & tidak dicuci sesuai dengan syariat islam?
Hal yang paling menyulitkan lagi adalah ketika acara berlangsung sepanjang hari (dari pagi hingga sore) dan sekaligus menginap di hotel tersebut serta selama berhari-hari lamanya. Apakah selama saya berada di tempat tersebut sebaiknya minum dari berbotol-botol air mineral yang saya beli sendiri, sama sekali tidak menggunakan alat makan/minum (piring, sendok, cangkir, gelas, dsb) yang disediakan di hotel tersebut, dan selalu makan di luar hotel? Sementara paket acara tersebut sudah termasuk sewa ruang rapat, menginap di hotel tsb, berikut konsumsi selama menginap di sana. Pihak kantor atau penyelenggara tidak mau menguangkan dana konsumsi dalam bentuk tunai dengan alasan bahwa biaya penyelenggaraan acara tersebut sudah satu paket. Sehingga kalau saya harus makan sendiri di luar hotel & membeli air mineral selama sekian hari acara tersebut berlangsung, saya harus mengeluarkan uang sendiri yang saya perhitungkan cukup lumayan.
Mohon jawabannya
Wassalamu alaikum wr wb
Waalaikumussalam Wr Wb
Saudara Urip yang dimuliakan Allah swt. Allah swt menjadikan syariat ini penuh dengan berbagai kemudahan tidak dengan kesempitan. Tatkala seseorang tidak bisa menggunakan air untuk berwudhu maka ia diperbolehkan bertayamum, tatkala seeorang didalam suatu perjalanan maka ia bisa mengqoshor atau menjama’ sholatnya.
Firman Allah swt,
يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Artinya : “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al Baqoroh : 185)
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Artinya :” dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al Hajj : 78)
Syeikhul islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tentang suci atau najisnya anjing ini terdapat tiga pendapat ulama :
- Bahwa seluruhnya najis kecuali bulunya, sebagaimana perkataan Syafi’i, Ahmad dalam salah satu riwayatnya.
- Bahwa seluruhnya suci bahkan air liurnya, sebagaimana pendapat yang termasyhur dari Malik.
- Bahwa air liurnya najis sedangkan bulunya suci, sebagaimana pendapat yang termasyhur dari Abi Hanifah dan ini adalah pendapat kebanyakan para sahabat. (Majmu’ Fatawa juz XXI hal 617)
Imam Nawawi menyebutkan bahwa hadits Rasulullah saw,”Bersihkan bejana salah seorang dari kalian apabila dijilat anjing ialah dengan mencucinya sebanyak tujuh kal. Cucian yang pertama kalinya hendaklah dengan tanah.” (HR. Muslim) merupakan dalil diwajibkannya mencuci sesuatu yang terkena najis jilatan anjing sebanyak tujuh kali dan ini merupakan madzhab kami, Imam Malik, Ahmad dan juga jumhur ulama.
Sedangkan Abu Hanifah mengatakan : “Cukup dengan mencucinya sebanyak tiga kali.” (Shohih Muslim bi Syarhin Nawawi juz III hal 238)
Terjadi perbedaan juga dikalangan para ulama apakah sabun atau yang sejenisnya bisa dipakai untuk menggantikan tanah yang menyertai air saat pencucian dari najis anjing :
- Pendapat yang mengatakan bahwa sabun, garam abu atau yang sejenisnya tidak bisa menggantikan tanah.
- Pendapat yang mengatakan bahwa sabun, garam abu atau yang sejenisnya bisa menggantikan tanah.
- Pendapat yang mengatakan jika ada tanah maka ia tidak bisa menggantikannya namun jika tidak ada tanah maka ia bisa menggantikannya. (Roudhotuth Tholibin wa ‘Umdatul Muttaqin juz I hal 9, Maktabah Syamilah)
Jadi mengenai alat-alat makan, seperti piring, sendok, garpu atau yang lainnya walaupun sebelumnya digunakan untuk menyajikan daging anjing atau babi namun apabila tukang cuci restoran tersebut sudah mencucinya dengan air serta menggosoknya dengan sabun maka itu sudah cukup untuk menjadikan alat-alat tersebut suci dan bisa digunakan.
Dengan demikian apabila seorang muslim diundang makan di restoran atau hotel-hotel berbintang maka tidak perlu baginya membawa makanan, minuman atau alat-alat makan maupun minum sendiri. Hal ini, selain akan merepotkan diri juga akan menambah pembiayaan pembelian makanan maupun minuman baginya terlebih lagi jika intensitas acara yang seperti ini sering dilakukan.
Wallahu A’lam
-Ustadz Sigit Pranowo, Lc-
Bila ingin memiliki karya beliau dari kumpulan jawaban jawaban dari Ustadz Sigit Pranowo LC di Rubrik Ustadz Menjawab , silahkan kunjungi link ini :
Resensi Buku : Fiqh Kontemporer yang membahas 100 Solusi Masalah Kehidupan…