Ustadz Sigit yang dirahmati Allah, saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan yang cukup mengganjal saya.
Yang pertama adalah mengenai takdir. Menurut buku yang saya baca takdir adalah “Segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah untuk mahluk-Nya.” Semua yang berada di bumi, langit serta isinya di ciptakan oleh Allah. Dan seiring dengan penciptaan mereka, Allah juga telah memberikan suatu aturan, lakon atau cerita untuk diri mereka masing-masing. Dan cerita inilah menurut buku yang saya baca disebut takdir. (QS. Al Qamar : 49). Cerita manusia dari lahir sampai dia diakhirat nanti telah Allah tentukan sedit-detilnya, dan dicatat dalam kitab Lauhul Mahfudz. Dan segala sesuatu telah ditentukan oleh takdir apakah dia akan berperan sebagai Raja, Sopir, atau bahkan penjahat sekalipun. (QS. Al Hijr : 21). Dan takdir yang telah ditentukan Allah tidak dapat diubah lagi sampai hari kiamat nanti (QS. Faathir : 43). Jadi semua tingkah laku kita sudah “diprogram” oleh Allah, bahkan sedetik kemudian langkah kita akan berlaku apa sudah ditentukan Allah, bahkan jauh sebelum kita diciptakan oleh Allah (QS. Al Hadiid : 22 – 23) . (Buku : Ya Allah, Tolong Aku Karya A.K penerbit Quanta Hal 140-153). Namun saya pernah berkonsultasi dengan seorang aktifitis Islam, bahwa ada takdir yang telah ditetapkan oleh Allah dan tidak bisa diubah seperti sakit, kematian, kita lahir sebagai seorang perempuan atau laki-laki, dan ada juga takdir yang Allah yang tidak tidak punya kewenangan dalam menentukannya, karena merupakan pilihan kita sebagai manusia, seperti contohnya sebagai perempuan bila dia memilih untuk tidak berjilbab adalah pilihan dia, bukan takdir dari Allah, jika seseorang merampok adalah pilihan dia dan bukan takdir dari Allah. Dan saya juga pernah bertanya tentang takdir oleh seorang guru ngaji di masjid tempat saya mengaji kurang lebih pengertian takdir adalah seperti yang saya baca dibuku yang saya sebutkan diatas. Yang menjadi pertanyaan saya adalah bagaimana mengenai konsep takdir yang diajarkan Rasulullah SAW yang sebenarnya.
Pertanyaan yang kedua adalah bahwa masih ada kaitannya dengan takdir, saya membaca di artikel Eramuslim, bahwa yang sudah ditentukan oleh Allah adalah rejeki dan maut, sedangkan jodoh adalah pilihan kita sendiri, bukan Allah yang menentukan. Jika benar jodoh bukan Allah yang menentukan mengapa saya tidak bisa menikah dengan pria pilihan saya ? Mengapa artikel seperti itu bisa ditampilkan di Eramuslim yang sejatinya sebagai media pencerahan bagi umat Islam.
Pertanyaan yang ketiga bagaimana hukumnya bagi seorang perempuan yang berjilbab syar’i kemudian melepasnya hanya karena alasan ekonomi (karena takut susah dapat kerja) kemudian berjilbab setelah bekerja, namun ketika berhenti kerja buka jilbab lagi, dan ketika sudah bekerja berjilbab lagi, begitu terus sampai lebih dari 3 kali kejadian. Apakah dia termasuk orang yang fasik? Bagaimana agar tetap istiqomah di jalan Allah?
Pertanyaan yang ke empat orang kafir adalah jelas penghuni neraka jahanam dan mereka kekal selama-lamanya di neraka. Bagaimana dengan orang munafik, fasik, musyrik? Apakah mereka kekal dineraka selama-lamanya atau hanya sementara saja?
Pertanyaan ke lima bagaimana harta yang di dapat dari bekerja dengan menggunakan ijazah palsu (lulus SMU mengaku S1). Untuk mendapatkan penghasilan itu dia bekerja selayaknya karyawan kantoran umumnya, hanya saja ijazah dan referensi kerjanya palsu.
Demikian pertanyaan saya ustadz. Mohon maaf jika terlalu banyak. Semoga pencerahan dari ustadz dapat menambah iman saya pada Allah.
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudari Arum yang dimuliakan Allah SWT.
Pengertian Taqdir
Takdir Allah terhadap segala sesuatu mencakup peneguhan terhadap beberapa hakikat berikut :
1. Mengimani bahwa Allah SWT mengetahui segala sesuatu sebelum terjadinya sebagaimana diri-Nya mengetahui hal itu setelah terjadinya. Allah mengetahui sesuatu yang belum terjadi, tengah terjadi dan akan terjadi dan tidaklah ada sesuatu yang tidak diketahui-Nya baik yang kecil maupun besar, sebagaimana firman Allah SWT :
ۚ وَمَا يَعْزُبُ عَن رَّبِّكَ مِن مِّثْقَالِ ذَرَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ وَلَا أَصْغَرَ مِن ذَٰلِكَ وَلَا أَكْبَرَ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ
Artinya : “Dan tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yunus [10] : 61)
2. Mengimani bahwa Allah swt telah menuliskan segala sesuatu di “Lauh Mahfuzh” sebelum Dia swt menciptakan langit dan bumi.
مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
Artinya : “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. Al Hadid [57] : 22)
3. Mengimani bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam ini adalah kehendak Allah swt. Tidak ada suatu kebaikan maupun keburukan kecuali dengan kehendak-Nya.
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Artinya : “Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Insaan [76] : 30)
4. Mengimani bahwa segala sesuatu di alam ini adalah ciptaan Allah SWT dan hasil dari ketetapan-Nya.
قُلِ اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ
Artinya : Katakanlah: “Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Tuhan yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.”(QS. Ar-Ra’ad [13] : 16)
Segala sesuatu yang terjadi di alam ini adalah kehendak Allah swt, baik itu perkataan maupun perbuatan, pergerakan maupun berhenti, kondisi maupun keadaaan, baik maupun buruk seseorang. Namun demikian Allah SWT bersifat adil, Dia tidak akan menyesatkan orang yang berhak mendapatkan petunjuk atau sebaliknya. Kemudian setiap hamba-Nya pun diberikan kehendak dan pilihan untuk menentukan perbuatan-perbuatannya sendiri, sebagaimana firman-Nya :
لِمَن شَاءَ مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ
Artinya : “(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang berkehendak menempuh jalan yang lurus.” (QS. At Takwir [81] : 28)
Dan semua kehendak manusia itu tidaklah keluar dari kehendak dan takdir Allah SWT. Untuk itu Allah SWT telah memberikan kepada hamba-hamba-Nya akal untuk bisa membedakan mana yang baik dan buruk serta untuk bisa menentukan pilihan apakah sesuatu itu dilakukan atau tidak.
Didalam kitab “Al Bayan Fii Arkanil Iman” disebutkan bahwa ketetapan Allah terhadap manusia bisa dibagi menjadi dua :
Pertama : perkara-perkara yang manusia tidak memiliki kehendak dan pilihan didalamnya, seperti : keberadaan atau ketidakberadaan, tinggi atau pendek, pintar atau bodoh, sehat atau sakit, kehidupan atau kematiannya dan lainnya. Dalam hal ini manusia tidaklah dikenakan pahala maupun siksa.
Kedua : Perkara-perkara yang menjadi takdir Allah sebelumnya sesuai dengan ilmu dan hikmah Allah swt namun didalamnya terdapat sebab, perbuatan, keinginan dan kehendak manusia, seperti : makan, munum, berpakaian atau hal-hal mubah (dibolehkan) lainnya atau seperti : shalat, infak, jihad atau hal-hal taat lainnya, seperti : berzina, mencuri, minum khamr atau hal-hal yang diharamkan lainnya. Perbuatan-perbuatan ini —macam kedua— terjadi sesuai dengan ilmu, tulisan, kehendak dan ketetapan Allah swt dan manusia diberikan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan diberikan sangsi atas keburukan yang dilakukannya. Seorang mukmin berkeyakinan bahwa seluruh perbuatan hamba baik yang berupa pilihan maupun paksaan terjadi dengan keinginan Allah dan takdirnya sejak di azali dan dibawah pengetahuan-Nya sebelum terjadinya. (Al Bayan, hal. 415 – 416)
Dengan demikian seorang wanita yang melepas jilbabnya atau seorang yang melakukan perampokan merupakan takdir Allah SWT karena tidaklah ada sesuatu yang terjadi di alam ini, apakah ia berupa kebaikan atau keburukan kecuali itu semua adalah takdir, ketetapan dan kehenda Allah SWT. Namun dalam hal ini orang itu diberikan sangsi atas perbuatannya itu dikarenakan kehendaknya memilih melepaskan jilbab atau melakukan perampokan padahal akalnya telah mengetahui bahwa mengenakan jilbab adalah kewajiban dan merampok adalah perbuatan yang dilarang dan merugikan orang lain.
Demikian pula dengan jodoh adalah takdir Allah SWT, apakah seorang wanita menikah dengan pria pilihannya atau pilihan orang tuanya, atau dirinya tidak menikah atau menikah dengan seseorang kemudian bercerai dan menikah lagi dengan pria lain, atau menikah dengan seorang pria kemudian bercerai dan tidak menikah lagi.
Diwajibkan bagi seorang mukmin untuk mengimani hikmah Allah SWT di dalam takdir-takdir-Nya. Dia swt memiliki hikmah yang tepat pada segala sesuatu yang terjadi di alam ini baik yang dapat fahami maupun tidak oleh akal manusia. Akan tetapi banyak diantara hikmah-hikmah Allah swt itu tidak bisa difahami oleh akal manusia. Karena itu diwajibkan bagi manusia untuk berserah diri kepada Allah swt dan ini merupakan bagian dari keimanan terhadap kesempurnaan hikmah-Nya dan tidak boleh menentangnya terhadap aturan maupun takdir-Nya.
Melepas Jilbab Karena Alasan Ekonomi
Tidak selayaknya bagi seorang muslimah yang telah mengenakan jilbab kemudian melepasnya hanya karena alasan ekonomi atau tuntutan pekerjaan karena hal ini termasuk melanggar perintah Allah SWT.
ا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
Artinya : “Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab [33] : 59)
Tidak sepatutnya dirinya melakukan pelanggaran demikian hanya karena tuntutan ekonomi dan atau untuk menambah rezekinya karena sesungguhnya rezekinya, banyak atau sedikit penghasilannya telah ditetapkan dan dituliskan Allah di Lauh Mahfuzh-Nya.
Perbuatan menanggalkan jilbab sementara dirinya tetap meyakini kewajibannya bisa termasuk dalam perbuatan fasik karena pengertian fasik adalah keluar dari ketaatan kepada Allah swt. Diharuskan baginya untuk segera bertaubat kepada Allah swt dan mengenakan kembali jilbabnya serta bertawakal kepada Allah SWT atas rezekinya.
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا
وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۚ
Artinya : “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath Thalaq [65] : 2-3)
Adapun hal-hal yang bisa menjadikan seseorang tetap istiqamah diatas jalan dan ketaatan kepada-Nya adalah memperbanyak ilmu pengetahuan agamanya demi meningkatkan keimanannya kepada Allah swt serta mencari lingkungan atau teman-teman dari kalangan orang-orang shaleh yang takut kepada Allah swt.
Apakah Orang Fasik, Musyrik dan Munafik Kekal di Neraka?
Diantara pokok-pokok ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah moderat di dalam nama-nama iman dan agama. Di dalam nama-nama iman dan agama kita dapati beberapa kelompok yang berbeda, yaitu: Mu’tazilah dan Khawarij di satu sisi serta Murji’ah di sisi lainnya. Muta’zilah dan Khawarij mengatakan, “Sesungguhnya seseorang apabila berzina maka dia telah keluar dari keimanan dan tidaklah menjadi mukmin…” Sedangkan Murji’ah mengatakan yang sebaliknya, “Sesungguhnya seseorang walaupun dirinya berzina atau mencuri maka dia tetaplah mukmin yang sempurna keimanannya, keimanannya seperti keimanan orang yang paling taat kepada Allah.” Sementara Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengatakan, “Apabila seseorang berzina atau mencuri maka ia adalah seorang mukmin yang kurang keimanannya atau mukmin dengan keimanannya dan fasik dengan dosa besarnya.”
Kemudian juga moderat di dalam hukum—di dalam hukum terhadap manusia atas perbuatannya, apa yang akan menimpanya jika dirinya melakukan perbuatan dosa besar. Mu’tazilah dan Khawarij mengatakan, “Sesungguhnya orang itu kekal di neraka bersama dengan orang-orang munafik, Abu Jahl, Abu Lahab dan selain mereka.” Sementara Murji’ah mengatakan, “Tidak, bahkan setiap pelaku dosa besar tidaklah kekal di neraka selama-lamanya dan ini tidak mungkin.” Sementara itu Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengatakan, “Sesungguhnya dia berhak mendapatkan siksa dan bisa saja Allah mengampuninya.” (Liqo’at al Bab al Maftuh juz 45 hal 19)
Dengan demikian seorang yang meninggal diatas agama islam tidaklah kekal di dalam neraka betapa pun besar dosa yang dilakukannya, dan bisa jadi dirinya masuk neraka sesuai dengan dosa-dosa yang dilakukannya dan jika Allah berkehendak maka dirinya akan mendapatkan ampunan dari-Nya.
Imam Bukhori meriwayatkan dari ‘Ubadah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak kecuali Allah satu-satunya dengan tidak menyekutukan-Nya dan bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya dan (bersaksi) bahwa ‘Isa adalah hamba Allah, utusan-Nya dan firman-Nya yang Allah berikan kepada Maryam dan ruh dari-Nya, dan surga adalah haq (benar adanya), dan neraka adalah haq, maka Allah akan memasukkan orang itu ke dalam surga betapapun keadaan amalnya.”
Adapun terhadap dosa syirik maka para ulama membagi menjadi dua macam :
- Syirik Kecil, seperti : riya, bersumpah dengan selain Allah swt maka tidaklah menyebabkan dirinya kekal di neraka dan tidaklah menghapuskan amal-amalnya akan tetapi perbuatan tersebut termasuk yang diharamkan sepertihalnya dosa-dosa besar bahkan lebih berat dari dosa-dosa besar akan tetapi tidak menyebabkannya kekal di neraka, demikian menurut Syeikh Ibn Baaz.
- Berbeda dengan Syirik Kecil maka pelaku Syirik Besar, seperti : menyembah selain Allah swt dapat mengeluarkannya dari islam, kekal di neraka dan menghapuskan amal-amalnya.
Sedangkan nifak atau kemunafikan pun dibagi menjadi dua macam :
- Nifak Amali, seperti : berdusta jika berbicara, berkhianat, menyalahi janji, bermalas-malasan dalam shalat tidaklah menyebabkan pelakunya keluar dari islam dan tidak menyebabkan dirinya kekal di neraka.
- Berbeda dengan Nifak Amali maka Nifak Itiqadiy, seperti : mendustakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mendustakan sebagian yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, membenci Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dapat mengeluarkan pelakunya dari islam dan menyebabkannya kekal di neraka.
Penghasilan Dari Ijazah Palsu
Seorang yang melamar pekerjaan dengan menggunakan ijazah palsu berarti dirinya telah melakukan suatu kecurangan (penipuan) yang diharamkan agama, berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Dan barangsiapa menipu kami, maka dia bukan golongan kami.”
Markaz al Fatwa didalam fatwanya No. 51544 menyebutkan bahwa apabila seseorang mendapatkan pekerjaannya dengan menggunakan ijazah palsu kemudian dirinya profesional didalam amalnya itu maka tidaklah ada kesempitan baginya terhadap gaji yang didapat darinya selama dirinya menunaikan pekerjaannya itu sesuai dengan yang diinginkan (instansinya) dan diharuskan baginya untuk bertaubat kepada Allah terhadap perbuatan curangnya itu.
Wallahu A’lam.
Ustadz Sigit Pranowo
Bila ingin memiliki karya beliau dari kumpulan jawaban jawaban dari Ustadz Sigit Pranowo LC di Rubrik Ustadz Menjawab , silahkan kunjungi link ini :
Resensi Buku : Fiqh Kontemporer yang membahas 100 Solusi Masalah Kehidupan…