Eramuslim – Assalamu’alaykum wr. wb.
Saya pernah menanyakan tentang ucapan seorang ustadz bahwa ada seorang habib berkata, “Barang siapa ikut menyalatkan jenazah saya, maka haram jasadnya disentuh api neraka.” Ditambahkan pula dalam kisah tersebut, ada seorang badewi (orang arab gunung) yang sedang berada di pasar dan membeli daging. Ketika ia mengetahui ada orang-orang yang akan menyalatkan jenazah, ia simpan dagaingnya di sekitar mesjid dan ikut shalat jenazah. Sampai di rumah daging tersebut dia diserahkan kepada isterinya, namun setelah dimasak berjam-jam, daging tersebut tidak matang-matang (tidak tersentuh api karena berada di sekitar mesjid pada waktu menyalatkan jenazah sang Habib). Ketika saya tanyakan referensi cerita tersebut, ustadz tersebut mengatakan tidak ada referensi. Ini masalah karomah adanya di dalam hati yaitu keyakinan dan keimanan.
- Bagaimana hukumnya seseorang yang memberi jaminan seperti tersebut di atas (haram disentuh api neraka hanya dengan menyalatkan jenazahnya).
- Bagaimana hukumnya kalau kita meyakininya bahwa itu benar?
- Bagaimana hukumnya bagi ustadz tersebut yang menyebarkan cerita seperti itu.
Terima kasih. Wassalamu’alaykum wr wb
Waalaikumussalam Wr Wb
Saudara Dede yang dirahmati Allah swt
Karomah merupakan perkara luar biasa yang diberikan Allah swt kepada hamba-Nya yang shaleh (wali Allah) baik semasa hidupnya maupun setelah matinya sebagai kemuliaan yang diberikan Allah kepadanya. Karomah ini bukanlah bentuk kenabian sebagaimana yang telah Allah berikan kepada para nabi-Nya.
Kemunculan karomah tidaklah bisa disesuaikan dengan keinginan atau kemauan wali itu. Tidaklah setiap kali orang itu menginginkan perkara luar biasa itu terjadi maka ia terjadi akan tetapi semua adalah atas kehendak dan keinginan Allah swt sebagaimana seorang Nabi tidak bisa mendatangkan mu’jizat dari dirinya sendiri kecuali Allah menghendakinya.
وَقَالُوا لَوْلَا أُنزِلَ عَلَيْهِ آيَاتٌ مِّن رَّبِّهِ قُلْ إِنَّمَا الْآيَاتُ عِندَ اللَّهِ وَإِنَّمَا أَنَا نَذِيرٌ مُّبِينٌ
Artinya : “Dan orang-orang kafir Mekah berkata: “Mengapa tidak diturunkan kepadanya mukjizat-mukjizat dari Tuhannya?” Katakanlah: “Sesungguhnya mukjizat- mukjizat itu terserah kepada Allah. dan Sesungguhnya Aku Hanya seorang pemberi peringatan yang nyata”. (QS. Al Ankabut : 50)
Dan diantara sebab yang menjadikan seseorang itu bisa dikatakan sebagai wali Allah adalah keimanan dan ketakwaananya kepada Allah swt, sebagaimana firman-Nya :
أَلا إِنَّ أَوْلِيَاء اللّهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿٦٢﴾
الَّذِينَ آمَنُواْ وَكَانُواْ يَتَّقُونَ ﴿٦٣﴾
لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَياةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ لاَ تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ ﴿٦٤﴾
Artinya : “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan} di akhirat. tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (QS. Yunus : 62 – 64)
Didalam ayat diatas disebutkan bahwa wali Allah adalah seorang yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt yaitu yang menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Ketakwaannya nampak dalam akidah, ibadah, akhlak ataupun dalam setiap sisi kehidupannya.
Karena keimanan dan ketakwaannya yang utuh kepada Allah swt menjadikan mereka tidak merasa takut akan berbagai peristiwa di hari kiamat dan tidak bersedih terhadap berbagai kehidupan yang ditinggalkannya di dunia. Al Baidhowi mengatakan bahwa wali-wali Allah ini adalah orang-orang yang diberikan karomah.
Tentang perkataan seorang habib yang anda tanyakan tidaklah bisa diyakini sebagai sebuah karomah dikarenakan dua hal :
1. Perkataan itu diucapkan pada saat dirinya masih hidup sementara tak seorang pun mengetahui akhir kehidupan dirinya apakah ia akan mati dalam keadaan baik (husnul khatimah) ataukah sebaliknya, sebagaimana didalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori bahwa Rasulullah saw bersabda,”Sesungguhnya amal perbuatan adalah pada akhirnya.” Didalam hadits lain yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud bahwasanya Rasulullah saw bersabda,”Dan sesungguhnya seorang diantara kalian ada yang beramal dengan amal ahli surga sehingga antara dirinya dengannya (surga) hanyalah tinggal sehasta lalu suratan takdir mendahuluinya dan beramal dengan amal ahli neraka maka ia pun masuk neraka. Dan ada seorang diantara kalian yang beramal dengan amal neraka sehingga antara dirinya dengannya (neraka) hanyalah tinggal sehasta lalu suratan takdir mendahluinya dan beramal dengan amal ahli surga maka ia pun masuk surga.” (HR. Bukhori dan Muslim).
Dan tidaklah diketahui bahwa seseorang adalah wali Allah swt sebelum dirinya diketahui meninggal didalam keadaan beriman kepada Allah swt, sebagaimana disebutkan oleh Imam Al Qurthubi. Beliau mengatakan bahwa tidaklah seseorang dari kita diketahui bahwa dirinya adalah wali Allah kecuali setelah diketahui bahwa orang itu meninggal dalam keadaan mukmin dan jika tidak diketahui bahwa dia meninggal dalam keadaan mukmin maka tidak mungkin bagi kita untuk memastikan bahwa dirinya adalah wali Allah swt karena berdasarkan pengetahuan dari Allah bahwa kewalian seseorang tidaklah bertentangan dengan keimanan. Dan jika kita bersepakat bahwa kita tidak mungkin bisa memastikan bahwa orang itu bertentangan atau sejalan dengan keimanan maka tidaklah kita bisa memastikan bahwa perkara itu adalah bukti dirinya adalah wali Allah. (Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an)
2. Tidak seorang pun yang berhak mensucikan seseorang atau dirinya sendiri kecuali Allah swt, sebagaimana firman Allah swt :
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يُزَكُّونَ أَنفُسَهُمْ بَلِ اللّهُ يُزَكِّي مَن يَشَاء وَلاَ يُظْلَمُونَ فَتِيلاً
Artinya : “Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih? Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya dan mereka tidak aniaya sedikitpun.” (QS. An Nisaa : 49)
Ibnu Katsir mengatakan bahwa maksud dari “Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya” adalah bahwa hal itu (pensucian) kembali kepada Allah swt karena Dia lah swt yang Maha Mengetahui hakekat seluruh perkara dan hal-hal yang tersembunyinya. “ (Tafsir Al Qur’an al Azhim juz II hal 333)
Sedangkan terhadap anda yang mendengar berita atau kisah tersebut maka tidak ada kewajiban untuk meyakininya dikarenakan tidak ada seorang pun—termasuk wali Allah—yang ma’shum atau terlepas dari kesalahan terlebih lagi jika berita tersebut tidak bersumber dari nash-nash yang bisa diterima menurut syariat.
Didalam permasalahan ini terdapat sebuah ungkapan Syeikhul Islam Ibnu Tamiyah “Jika memang apa yang dikatakannya sesuai dengan apa yang diberitakan oleh Rasulullah saw berdasarkan riwayat-riwayatnya yang shahih maka ia bisa diterima akan tetapi apabila bertentangan dengannya maka tidaklah bisa diterima dan jika hal itu tidak diketahui sesuai atau bertentangan dengannya maka hendaklah bersikap tidak menerima atau menolaknya.”
Demikian pula bagi yang mendengar berita tersebut maka hendaklah mencermatinya secara seksama berita tersebut dan tidaklah disebarluaskan sebelum diyakini olehnya bahwa itu adalah berita yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya dikarenakan tidak bertentangan dengan nash-nash Al Qur’an maupun hadits-hadits Nabi saw agar tidak menimbulkan kebingungan ditengah-tengah umat.
Wallahu A’lam
Ustadz Sigit Pranowo
Bila ingin memiliki karya beliau dari kumpulan jawaban jawaban dari Ustadz Sigit Pranowo LC di Rubrik Ustadz Menjawab , silahkan kunjungi link ini :
Resensi Buku : Fiqh Kontemporer yang membahas 100 Solusi Masalah Kehidupan…