Ustadz, saya seorang karyawan yang bekerja di Jakarta dan rumah di Cibinong. Setiap hari pulang kerja dan menaiki bus melewati jalan tol dari Jakarta pukul 17.30 dan tiba di Cibinong pukul 20.00. Jika saya solat maghrib di Jakarta, maka tidak dapat bus dari terminal terdekat dan harus ke terminal yang lebih jauh, sehingga kemungkinan saya pulang jam 22.00.
Karena itulah, maka sholat maghrib saya Jama’ dengan Isya, hampir setiap hari dari Senin sampai Jumat, terkadang sholat di bus dengan tayamum. Bagaimana hukumnya? Apakah saya harus jama’ atau sholat dalam bus?
Jazakumullohu khairan katsira.
Waalaikumussalam Wr Wb
Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amir dari ayahnya berkata,”Aku menyaksikan Nabi saw mengerjakan shalat diatas kendaraannya dengan mengahadap ke arah kemana kendaraannya mengarah.” (HR. Bukhori Muslim)
Didalam hadits yang lain disebutkan bahwa Nabi saw melakukan shalat sunnah sedangkan dia saw berada diatas kendaraannya dan tidak menghadap ke arah kiblat.” (HR. Bukhori)
Imam Nawawi mengatakan bahwa boleh mengerjakan shalat sunnah diatas kendaraan pada saat safar menghadap kearah kendaraannya mengarah, ini boleh menurut ijma para ulama dengan syarat safar yang dilakukannya bukanlah untuk maksiat. Karena didalam safar maksiat tidak dibolehkan rukhshoh (keringanan) sedikit pun, seperti orang yang bersafar untuk merampok, membunuh orang lain, durhaka kepada orang tuanya, seorang budak yang lari dari tuannya atau durhaka terhadap suami, namun (di berikan rukhshoh) untuk bertayammum.” (Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi juz V hal 294 – 295)
Diriwayatkan dari Amir bin Rabi’ah berkata,”Aku menyaksikan Rasulullah saw mengerjakan shalat diatas kendaraannya dengan menggerakkan kepalanya menghadap ke arah kendaraannya mengarah namun beliau saw tidaklah melakukan hal yang sama pada shalat wajib.” (Muttafaq Alaih).
Al Alamah al Azhim Abadi mengatakan bahwa yang ada diriwayat ini kemungkinan dalam keadaan tidak terpaksa (darurat) menurut syariah. Adapun apabila dalam keadaan terpaksa menurut syariah maka diperbolehkan mengerjakan shalat wajib diatas kendaraan, sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad didalam musnadnya, Daruquthni, Tirmidzi dan Nasa’i dari Ya’la bin Murroh bahwasanya Nabi saw dan para sahabatnya tiba di daerah Madhiq sedangkan beliau masih berada diatas kendaraannya, langit berada diatasnya sementara tanah becek dibawahnya kemudian tiba waktu shalat maka beliau saw memerintahkan muadzin untuk adzan dan iqomat. Lalu Rasulullah saw yang berada diatas kendaraannya maju ke depan dan mengimami sholat mereka dengan isyarat (gerakan) dan menjadikan sujudnya lebih rendah daripadai ruku’nya.”
Imam Tirmidzi mengatakan ini adalah hadits gharib yang hanya diriwayatkan oleh Amr bin Maimun bin ar Rumaah al Balakhi yang tidak dikenal kecuali dari haditsnya. Hadits ini juga diriwayatkan oleh lebih dari satu orang ulama.
Ibnu Taimiyah didalam kitab “Syarhul Ahkam” mengatakan bahwa hadits ini telah dinyatakan shahih oleh Abdul Haq, hasan menurut Nawawi, lemah menurut Baihaqi. Hadits ini persis seperti pendapat sebagian ulama Syafi’i tentang sahnya shalat wajib diatas kendaraan sebagaimana sahnya shalat diatas kapal laut, yang merupakan ijma ulama. Imam Syafi’i menyatakan sah shalat wajib diatas kendaraan dengan beberapa persyaratan.
Sementara itu Imam Nawawi didalam “Syarh” nya dan Al Hafizh didalam “Fath” nya menyatakan bahwa ijma adalah tidak boleh meninggalkan kiblat didalam shalat wajib.” Namun Al Hafizh memberikan rukhshoh (keringanan) ketika dalam keadaan sangat takut. Nawawi mengatakan bahwa ijma tidak dibolehkannya shalat wajib diatas kendaraan.
Dia menambahkan,”Jika dimungkinkan maka ia mengarahkannya ke arah kiblat, berdiri, ruku’, sujud diatas kendaraannya yang berhenti maka boleh baginya shalat wajib namun apabila kendaraan itu sedang berjalan maka tidak sah shalat fardhunya, ini adalah pendapat yang berasal dari Syafi’i, ada yang menyebutkan bahwa shalat wajibnya sah sebagaimana shalat diatas perahu menurut ijma.
Seseorang yang berada di atas kendaraan kemudian dia khawatir seandainya turun untuk melaksanakan shalat wajib dia akan tertinggal oleh rombongannya dan bahaya mengancamnya maka para ulama Syafi’i mengatakan,”Dia boleh shalat wajib diatas kendaraan sesuai kemampuannya dan hendaklah dia mengulanginya lagi dikarenakan sebelumnya dia mendapatkan halangan.” (Aunul Ma’bud juz III hal 70 – 71)
Berdasarkan hadits Ya’la bin Murroh diatas, Abu ath Thoyyib al Madaniy al Hanafi didalam “Syarhut Tirmidzi” mengatakan bahwa beliau saw mengimami shalat itu. Dilihat dari lahiriyahnya bahwa shalat itu adalah shalat wajib karena yang difahami dari shalat berjama’ah adalah shalat wajib. Bukti lainnya terhadap hal itu adalah adzan karena didalam shalat sunnah tidak disyariatkan baginya adzan. Maka hadits ini menunjukkan bolehnya mengerjakan shalat wajib diatas kendaraan apabila ada halangan, demikian pula pendapat para ulama kami (madzhab Hanafi).
Al Qodhi Abu Bakar bin al Arabi didalam “Al Aridhah” mengatakan,”Hadits Ya’la ini lemah sanadnya namun shahih maknanya.” Dia mengatakan,”Shalat dengan isyarat diatas kendaraan sah apabila orang itu khawatir akan terlewat waktunya dan tidak mungkin turun dikarenakan mepetnya waktu atau dikarenakan jalanannya basah (becek).” (Tuhfatul Ahwadzi juz I hal 448)
Hadits-hadits diatas merupakan dalil dibolehkannya shalat sunnah pada saat safar sedangkan pada saat tidak safar maka terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama, sebagaimana disebutkan Asy Syaukani.
Abu Yusuf, Abu Sa’id al Isthakhari salah seorang ulama Syafi’i serta Ahli Zhahir membolehkannya. Ibnu Hazm mengatakan,”Kami telah meriwayatkan dari Waki’i dari Sufyan dari Manshur bin al Mu’tamar dari Ibrahim an Nakh’i berkata,’Mereka pernah shalat diatas kendaraan dan menghadap kearah kendaraan mereka mengarah.” Dia berkata,’dan ini adalah kisah tentang para sahabat dan tabi’in secara umum baik dalam keadaan safar maupun tidak.” Imam Nawawi mengatakan bahwa itu adalah kisah dari Anas bin Malik.
al Iraqi megatakan bahwa orang yang berpendapat seperti itu—membolehkan shalat diatas kendaraan pada saat tidak safar—berdalil dengan keumuman hadits ini yang tidak secara tegas menyebutkan kata safar.
Selanjtunya dia juga menambahkan bahwa zhahir hadits-hadits yang dikhususkan oleh safar tidaklah membedakan antara safar yang jauh atau dekat, demikian pendapat Syafi’i dan jumhur ulama.
Imam Malik berpendapat bahwa tidak dibolehkan kecuali pada safar yang dibolehkan didalamnya qashar (memotong) shalat , ini juga diceritakan dari Syafi’i namun ini aneh, ini juga pendapat Imam Yahya. (Nailul Authar juz II hal 144)
Berdasarkan berbagai dalil dan pendapat para ulama diatas, maka saran saya kepada saudara dede yang hampir setiap hari melintasi jalur tol Jakarta – Cibinong dengan kendaraan umum dan mendapatkan waktu maghribnya habis diatasnya adalah :
1. Hendaklah anda sudah berwudhu sebelum menaiki kendaraan umum dan berupaya untuk menjaganya hingga datang waktu maghrib. Sebisa mungkin hindari tayammum sekalipun hal itu dibolehkan ketika wudhu anda batal.
2. Dikarenakan adanya kesulitan mendapatkan kendaraan jika anda mengerjakan shalat di Jakarta serta tidak mungkinnya anda turun darinya ketika datang waktu maghrib maka dibolehkan bagi anda untuk shalat maghrib di bus tanpa di-jama’ (digabungkan) dengan shalat isya. Hal ini dikarenakan anda masih akan mendapatkan waktu isya setibanya di rumah.
3. Sesampainya di rumah, apabila anda masih mendapatkan waktu maghrib maka hendaklah anda mengulangi shalat maghrib tanpa shalat isya dikarenakan waktu isya belum tiba. Namun jika waktu isya sudah tiba maka anda pun harus mengulang shalat maghrib sebelum menunaikan shalat isya.
Hal itu dikarenakan shalat maghrib sebelumnya yang anda lakukan diatas kendaraan itu dikerjakan tidak sempurna, baik saat ruku’, sujud ataupun tidak menghadap kearah kiblat.
Wallahu A’lam
-Ustadz Sigit Pranowo Lc-