Assalamu’alaikum wr. wb,
Ustad, saya mempunyai bebrapa pertanyaan sbb:
1. Istri saya tidak mau sholat berjamaah dan bermakmum pada saya. Saya telah berulangkali memintanya tetapi selalu diabaikan tanpa alasan, bagaimana hukumnya?
2. Istri saya sholat tidak menghadap ke arah kiblat sebagaimana yang saya ukur arah kiblat dari tempat tinggal saya adalah 294 derajat tetapi istri saya sholatnya mengarah ke arah kurang dari 270 derat (arah barat sedikit ke kiri). Jika kita benar2 tidak dapat petunjuk (mencari tahu) arah kiblat (Ka’bah) yang benar tentu hal demikian tidak jadi masalah karena timur dan barat adalah milik Allah, mohon penjelasan yang dilakukan istri saya ini.
Alhamdulillah atas penjelasannya
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Sholat berjamaah
Sunnah muakkadah bagi seorang laki-laki baligh dan berakal untuk melakukan sholat berjamaah di masjid berdasarkan dalil-dalil berikut :
- Sabda Rasulullah saw,”Sholat berjamaah lebih utama dari sholat sendirian sebanyak dua puluh tujuh derajat.” (muttafaq alaihi)
- Sabda Rasulullah saw,”Sholat berjamaah adalah diantara sunnah petunjuk, tidaklah seorang meninggalkannya kecuali ia adalah munafiq.” (HR. Muslim)
- Sabda Rasulullah saw,”Tidaklah tiga orang yang berada di suatu kampung atau desa yang tidak menunaikan sholat berjamaah disitu kecuali setan telah menguasai diri mereka, maka hendaklah kalian tunaikan sholat berjamaah. Sesungguhnya seekor srigala akan memakan kambing yang menyendiri.” (HR. Abu Daud)
Namun diperbolehkan bagi mereka untuk tidak berjamaah masjid jika mendapatkan uzur, baik uzur yang ada pada dirinya, seperti; sakit, lumpuh, hanya memiliki satu kaki, ataupun karena situasi yang tidak memungkinkan untuk mendatangi masjid seperti cuaca yang sangat dingin, hujan lebat, jarak rumah dengan masjid yang terlalu jauh dan sulit dicapai, atau yang lainnya, sebagaimana hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwasanya dia melakukan adzan untuk sholat pada suatu malam yang dingin, angin dan hujan kemudian diakhir adzannya dia mengucapkan,”Sholatlah kalian di rumah-rumah kalian, sholatlah kalian di rumah-rumah kalian.” Kemudian dia mengatakan, ”Sesungguhnya Rasulullah saw pernahmemerintahkan muadzin apabila malam begitu dingin atau hujan lebat dalam suatu perjalanan hendaklah ia menyebutkan sholatlah kalian di rumah-rumah kalian.” (HR.Muslim)
Adapun bagi kaum wanita, para ulama bersepakat bahwa mereka tidak dianjurkan untuk melakukan sholat berjamaah di masjid, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari ibnu Umar dari Nabi saw bersabda,”Jadikanlah sholat-sholat kalian di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian menjadikannya kuburan.” (HR. Muslim)
Terkait dengan hadits tersebut diatas, jumhur ulama mengatakan,”Akan tetapi ia adalah sholat nafilah agar tidak terlihat oleh orang lain, sebagaimana disebutkan oleh hadits lain,’Sholat yang paling utama adalah sholat seseorang di rumahnya kecuali yang maktubah.” Aku (Nawawi) mengatakan,’Yang benar adalah sholat nafilah, hal ini ditunjukan oleh hadits-hadits yang ada didalam bab ini, dan tidak diperbolehkan hadits ini ditujukan untuk sholat-sholat fardhu. Hadits ini menganjurkan untuk sholat nafilah di rumah agar tidak terlihat dan menjauhkan dirinya dari riya, terlindung dari hal-hal yang bisa membatalkan sholat, menjadikan rumah lebih berkah dengannya, menurunkan ketenangan dan malaikat didalamnya serta mengusir setan darinya sebagaimana disebutkan didalam hadits lain, demikianlah makna dari hadits Rasulullah saw dalam riwayat lain,”Sesungguhnya Allah menjadikan didalam rumahnya kebaikan dikarenakan sholatnya.” (Shohih Muslim bi Syarhin Nawawi juz VI hal 96 – 97)
Dari penjelasan dan berbagai dalil yang disebutkan diatas nampak jelas bahwa seorang laki-laki kalau tidak betul-betul memiliki uzur maka sangat dianjurkan untuk melakukan sholat-sholat fardhunya berjamaah di masjid, sebaliknya dengan kaum wanita.
Dengan demikian kuantitas seorang laki-laki sholat berjamaah di rumah bersama keluarga praktis jauh lebih sedikit dibandingkan sholatnya berjamaah di masjid dikarenakan uzur tidaklah datang setiap saat atau waktu.
Kalaupun sholat itu memang terpaksa harus dilakukan di rumah maka cobalah ajak isteri dan anak-anak untuk ikut berjamaah karena tentunya hal ini lebih utama daripada sholat sendiri-sendiri. Jika isteri masih sulit diajak berjamaah maka cobalah berikan pengertian akan keutamaan sholat berjamaah.
Menentukan arah kiblat
Para ulama telah bersepakat bahwa menghadap kiblat adalah syarat sahnya sholat sebagaimana firman Allah swt,”Dan dari mana saja kamu (keluar), Maka Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu (sekalian) berada, Maka Palingkanlah wajahmu ke arahnya…” (QS. Al Baqoroh : 150) kecuali dalam dua keadaan yaitu keadaan yang sangat mencekam (peperangan) dan sholat nafilah bagi orang yang melakukan perjalanan diatas kendaraan.
Para ulama juga bersepakat bahwa siapa yang menyaksikan ka’bah dengan matanya sendiri maka ia diwajibkan untuk menghadapkan sholatnya kearah badan ka’bah dengan penuh keyakinan
Adapun bagi orang yang tidak menyaksikan ka’bah dengan matanya sendiri maka ia diharuskan menjadikan arah ka’bah sebagai sasaran / target sholatnya berdasarkan hadits Rasulullah saw,”Apa yang diantara timur dan barat adalah kiblat.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi) dari zhohir hadits ini, berarti bahwa antara keduanya adalah kiblat. Seandainya setiap orang yang sholat diharuskan mengarahkannya tepat mengenai badan ka’bah maka banyak orang yang sholatnya berada dalam suatu barisan yang panjang dalam satu garis lurus tidaklah sah.. (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz 1 hal 758)
Dengan demikian sangat sulit bagi setiap orang yang sholat terutama mereka yang tidak menyaksikan ka’bah, terlebih lagi bagi kaum muslimin yang tinggal jauh dari Mekah atau di luar negara Saudi Arabia untuk mengarahkan sholatnya betul-betul mengenai badan ka’bah. Allah swt tidaklah membebankan hamba-hamba-Nya dengan sesuatu yang mustahil namun Allah swt sangat memahami kekurangan dari hamba-hamba-Nya.
Untuk itu hadits Rasulullah diatas,” Apa yang diantara timur dan barat adalah kiblat.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi) adalah dalam rangka memberikan kemudahan bagi hamba-hamba-Nya didalam melaksanakan sholat.
Jadi manakah arah kiblat yang betul-betul tepat, apakah 294 derajat atau yang kurang dari 270 derajat—seperti yang anda perselisihkan dengan isteri anda—tidak perlu menjadi permasalahan yang prinsip, karena Hanya Allah yang mengetahui berapa derajat sebenarnya yang betul-betul mengenai badan ka’bah. Untuk itu, cukuplah bagi mereka yang berada di tempat yang seperti ini hanya mengambil arah kiblat sebagai sasaran sholatnya dan tidak harus ke badan ka’bah.
Sebagaimana Rasulullah saw saat berada di Madinah, tentunya sangat sulit bagi beliau saw dan para sahabat untuk mengarahkan sholat-sholat mereka tepat mengenai badan ka’bah, untuk itu Allah swt menurunkan ayatnya,”Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al Baqoroh : 144). Jadi cukuplah menghadapkan sholatnya ke arah kiblat, yang boleh jadi—Allah Yang Maha Mengetahui—jika betul-betul ditarik garis lurus mungkin tidak mengenai badan ka’bah tetapi mengenai mihrobnya, atau tiang masjidnya. Apakah yang seperti ini kemudian dianggap tidak sah?!!
Namun demikian para ulama mengharuskan bagi mereka untuk berijtihad atau menggunakan segenap kemampuannya dalam mengarahkan sholatnya kearah ka’bah walaupun pada kenyataannya mungkin tidak persis tepat mengenainya, sebagaimana firman Allah swt,”dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui.” (QS. Al baqoroh : 115)
Sebelum dirinya berijtihad ada baiknya dia menanyakan terlebih dahulu kepada orang yang dia percaya dan memiliki ilmu dalam menentukan arah kiblat, karena hal ini lebih utama dari ijtihadnya. Jika memang orang seperti ini tidak ada, maka dia diharuskan berijtihad dalam menentukan arahnya walaupun hanya sebatas berpatokan dengan matahari, kutub, bintang atau yang lainnya yang mungkin bisa dipakai sebagai tanda untuk menentukan arah kiblat.
Wallahu A’lam.