Assalamualaikum, Pak Ustadz,
Saya ingin bertanya tentang masalah hutang piutang. Ada beberapa temen saya pernah meminjam uang pada saya walaupun jumlahnya tidak begitu besar, tapi sampai sekarang mereka tidak ataupun belum membayarnya.
Saya tidak tahu apakah mereka lupa atau pura -pura lupa. Untuk menagihnya pun saya agak kurang enak, jadi ya kadang saya ikhlaskan saja.
Bolehkah hal ini walau kadang-kadang terbesit keinginan untuk menagihnya, tapi ada beberapa yang sudah pindah keluar kota dan tak pernah ketemu lagi. Kalau ingin mengikhlaskannya, apakah ada niat khusus?
Waalaikumussalam Wr Wb
Bersedekah dengan Utang
Ada dua kemungkinan ketika seseorang tidak membayar utangnya :
- Kemungkinan orang yang berutang itu melalaikan kewajibannya padahal ia memiliki kemampuan untuk membayarnya. Jika ini yang terjadi maka ia telah melakukan kezhaliman dikarenakan penangguhan pembayarannya sedangkan utang adalah amanah yang harus ditunaikan. Didalam sebuah hadits dari Abi Dzar ra yang mengatakan,”Aku bersama Nabi saw dan tatkala aku diperlihatkan Uhud, beliau saw bersabda,”Aku tidak ingin Uhud ini dirubah dengan emas serta masih ada padaku diatas tiga dinar kecuali satu dinar yang aku simpan untuk melunasi utangku.” (HR. Bukhori) Juga sabda Rasulullah saw : “Penangguhan pembayaran hutang bagi orang yang mampu membayarnya adalah kezaliman. “ (HR. Bukhori).
- Kemungkinan memang orang itu dalam keadaan sulit sehingga tidak memiliki kesanggupan untuk membayarnya.
Pada asalnya setiap orang yang memberikan utang kepada seseorang mempunyai hak untuk menagihnya pada saat batas waktu pelunasannya telah lewat sementara orang yang berutang belum juga membayarnya. Namun demikian Allah swt membuka peluang bagi orang yang mempunyai piutang untuk mendapatkan pahala dengan membuka pintu sedekah.
Terhadap orang yang tidak membayar utangnya padahal mereka memiliki kemampuan melunasinya maka si pemilik piutang bisa melakukan langkah-langkah berikut jika memang ia tetap ingin melakukan penagihan :
- Mengingatkan orang yang berutang tersebut akan kewajibannya membayar utangnya.
- Menasehatinya agar tidak jatuh kedalam kezhaliman.
- Jika memungkinkan maka ia bisa memberikan kepadanya kesempatan kedua untuk melunasinya.
- Jika memang orang itu tetap tidak mau membayar utangnya maka ia boleh mengajukannya ke pengadilan sehingga penagihannya dilakukan oleh hakim.
Adapun terhadap orang yang mengalami kesulitan atau tidak memiliki kemampuan membayar utangnya maka Allah swt menganjurkan kepadanya untuk memberikan kesempatan kepadanya hingga waktu kesanggupannya membayar meskipun jika ia mensedekahkan piutangnya itu maka itu lebih baik, sebagaimana firman Allah swt,
وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَن تَصَدَّقُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿٢٨٠﴾
”Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al Baqoroh : 280)
Allah swt meminta kepada orang yang memberikan utang agar bersabar terhadap mereka yang berutang terutama mereka yang tidak memiliki kesanggupan membayarnya. Islam membedakan perlakuan antara seorang muslim dengan orang-orang jahiliyah dahulu.
Pada masa jahiliyah dahulu ketika orang yang berutang tidak mampu membayarnya maka orang yang memberikan utang akan mengatakan kepadanya,”Engkau bayar atau aku tambah utangmu (riba).”
Perlukah Niat Khusus Sedekah
Dari Amirul Mukminin Abi Hafshin Umar bin Khottob ra berkata,”Aku mendengar Rasulullah saw bersabda,”Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung dari niatnya, Sesungguhnya bagi setiap hanyalah apa yang ia niatkan.” (HR Bukhori Muslim)
Ada satu kaidah fiqih yang dibangun diatas hadits ini yaitu al umur bi maqoshidiha (Setiap perkara tergantung dari maksudnya). Setiap perkara disini mencakup perbuatan dan perkataan. Allah swt tidak hanya melihat hal-hal yang zhahir saja tetapi juga yang batin (tersembunyi), dalam hal ini adalah maksud dari suatu perbuatan atau perkataan.
Seorang yang duduk-duduk di masjid dengan maksud i’tikaf secara zhohir tidak bisa dibedakan dengan orang yang duduk di masjid dengan maksud beristirahat atau menunggu temannya. Namun Allah memberikan pahala kepada orang yang duduk di masjid dengan maksud i’tikaf dan tidak kepada yang lainnya.
Begitu juga orang yang tidak menagih piutangnya dari orang yang berutang kepadanya dengan maksud membiarkan saja tanpa kejelasan terserah mau dibayar atau tidak dengan orang yang tidak menagih lagi utangnya itu dengan maksud bersedekah kepadanya.
Niat menurut etimologi berarti tekad terhadap sesuatu. Sedangkan menurut terminologi fiqih adalah kehendak untuk ta’at dan mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan suatu perbuatan atau tidak melakukannya.
Niat dari suatu perbuatan atau perkataan diperlukan karena dua hal :
- Membedakan antara ibadah dengan adapt (kebiasaan), seperti contoh diatas.
- Membedakan peringkat suatu ibadah dengan ibadah yang lainnya, seperti seorang yang mengerjakan shalat dua rakaat di masjid maka ia perlu mengkhususkan niat shalatnya itu, apakah ia melakukan shalat qobliyah shubuh atau sholat shubuh.
Dikarenakan sedekah adalah ibadah, untuk itu diperlukan niat bagi orang yang bersedekah berdasarkan firman Allah swt,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ ﴿٥﴾
”Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah : 5)
serta hadits Umar bin khottob diatas.
Niat untuk bersedekah cukup diucapkan didalam hati tanpa perlu diucapkan dengan lisan sebagaimana pendapat jumhur ulama. Adapun pengkhususan niat dalam hal ini tidaklah diperlukan dikarenakan tidak adanya sesuatu yang membuatnya samar atau perlu dibedakan dengan macam sedekah lainnya.
Wallahu A’lam