Pengaruh hal itu memang tidak dapat dikongkritkan, dan kerusakan yang ditimbulkannya sendiri kadang-kadang memang tidak tampak transparan, tetapi sulit dihilangkan. Sedang segala sesuatu yang dapat menyebabkan kerusakan diharamkan oleh syara’. (Halal dan Haram edisi terjemah hal 103 – 104)
Sebetulnya yang ditunjukkan oleh Sunnah Syarifah dan adab-adab Islam dalam masalah ini adalah bahwa perintah terhadap pakaian, makanan, penampilan manusia tidaklah masuk dalam kategori ibadah yang harus dipegang teguh sebagaimana hal ini terjadi pada Rasulullah saw dan para sahabat. Akan tetapi seorang muslim diharuskan mengikuti perkara terbaik untuk lingkungannya, disukai masyarakatnya dan yang menjadi kebiasaan mereka dengan tidak melanggar nash atau hukum yang tidak diperselisihkan. Hukum memanjangkan jenggot atau mencukurnya adalah diantara perkara-perkara yang diperselisihkan. (Fatawa al Azhar juz II hal 166, Maktabah Syamilah)
Yusuf al Qorodhowi membagi hukum mencukur jenggot ini menjadi tiga pendapat :
1. Haram, sebagaimana dikemukan oleh Ibnu Taimiyah dan lainnya.
2. Makruh, sebagaimana diriwayatkan dalam Fathul Bari dari pendapat Iyadh, sedang dari selain Iyadh tidak disebutkan.
3. Mubah, sebagaimana dikemukakan oleh sebagian ulama modern.
Barangkali pendapat yang lebih moderat, lebih mendekati kebenaran, dan lebih adil ialah pendapat yang memakruhkannya, karena suatu perintah tidak selamanya menunjukkan hukum wajib sekalipun ditegaskan alasannya (illat) untuk berbeda dengan orang-orang kafir. Contoh yang terdekat adalah perintah untuk menyemir rambut agar berbeda dengan kaum Yahudi dan Nasrani, tetapi sebagian sahabat tidak menyemir rambutnya. Hal itu menunjukkan bahwa perintah tersebut hukumnya mustahab (sunnat).