asalamualaikum wr.wb
saya telah menikah selama kurang lebih 2 tahun, dan selama 2 tahun itu suami saya tidak bekerja, memang pada saat awal pernikahan orang tua sempat menentang karena suami saya tidak mempunyai pekerjaan tetap tapi karena saya cinta pada suami saya tidak menghiraukan nasihat orang tua saya, dan saya pikir sambil berjalan suami saya mau berusaha dan mencari pekerjaan. tetapi setelah berjalan 2 tahun ini saya yang menafkahi keluarga karena saya yang bekerja. dan sampai untuk biaya persalinan pun saya yang mengeluarkan, setiap saya bicarakan masalah ini pasti dia marah dan temprament maka saya putuskan untuk tidak membahas masalah ini untuk menghindari pertengkaran, tapi hati saya sepertinya tidak menerima
yang ingin saya tanyakan apa hukum suami yang tidak menafkahi istri secara lahir dan berdosakan saya apabila sering mengeluhkan suami saya dalam hati???
mohon penjelasannya pak ustad, terima kasih
Walaikumussalam Wr Wb
Saudara Dewi yang dimuliakan Allah swt
Sebagaimana telah difahami bahwa kewajiban seorang suami adalah memberikan nafkah kepada keluarganya. (baca : Hukum Gaji Istri untuk Suami)
Islam menganggap dosa besar bagi seorang suami yang mengabaikan kewajiban ini, sebagaimana disebutkan didalam riwayat Abu Daud dari Abdullah bin ‘Amr, ia berkata; Rasulullah saw bersabda: "Cukuplah dosa bagi seseorang dengan ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya." Didalam sabdanya saw yang lain yang diriwayatkan oleh Muslim disebutkan : "Cukuplah seseorang itu dikatakan berdosa orang-orang yang menahan makan (upah dan sebagainya) orang yang menjadi tanggungannya."
Islam tidaklah menuntut besar kecilnya penghasilan atau rezeki yang didapat seseorang akan tetapi yang dituntut darinya hanyalah berusaha semaksimal mungkin untuk bisa mendapatkan rezekinya itu, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhori dari Az Zubair bin Al ‘Awam dari Nabi saw bersabda: "Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh seorang dari kalian yang mengambil talinya lalu dia mencari seikat kayu bakar dan dibawa dengan punggungnya kemudian dia menjualnya lalu Allah mencukupkannya dengan kayu itu lebih baik baginya daripada dia meminta-minta kepada manusia, baik manusia itu memberinya atau menolaknya".
Umar bin Khottob pernah mengatakan,”Tidak sepantasnya seorang dari kalian hanya duduk-duduk saja tidak mencari rezeki dan hanya berdoa,’Wahai Allah berikanlah aku rezeki.’ Bukankah kalian telah mengetahui bahwa langit tidak akan menurunkan emas dan perak.”
Adapun besaran dari nafkah yang harus diberikan seorang suami kepada istri dan anak-anaknya tergantung kepada kemampuan si suami. Semakin tinggi kelas ekonominya maka ia harus semakin memberikan kelayakan hidup bagi keluarganya dan sebaliknya ketika suami memiliki tingkat ekonomi yang rendah maka si istri juga harus bisa memahaminya tanpa harus menuntutnya dengan sesuatu yang diluar batas kemampuan dan kesanggupannya.
Kewajiban memberikan nafkah ini tidaklah hilang dari diri seorang suami walaupun istrinya seorang yang kaya raya atau memiliki penghasilan sendiri. Tidak ada salahnya bagi seorang istri untuk mengingatkan suaminya akan kewajiban ini terlebih jika tampak adanya pengabaian terhadap kewajiban ini didalam dirinya.
Dan jika seorang suami tetap mengabaikan kewajibannya memberikan nafkah kepada keluarganya sehingga si istri harus menafkahi sendiri kebutuhan diri dan keluarganya dengan hartanya maka biaya yang dikeluarkannya selama itu menjadi utang yang harus dibayar oleh suaminya. Suami tetap diwajibkan membayar utang tersebut walaupun hal itu terjadi selama bertahun-tahun lamanya selama si istri belum merelakannya.
engabaian ini juga menjadikan si istri memiliki hak meminta kepada hakim agar memaksa suaminya untuk memenuhi kebutuhannya atau agar memisahkan mereka berdua dari tali perkawinan.
Didalam kitab ”al Mausu’ah” disebutkan bahwa para fuqaha telah bersepakat kewajiban memberikan nafkah istri ada pada suaminya dikarenakan akad sah (perkawinannya)… Jika seorang suami tidak menunaikan kewajiban ini tanpa adanya penghalang yang berasal dari istrinya maka si istri memiliki hak untuk meminta nafkahnya tersebut melalui hakim sehingga si hakim mengambil dari suaminya secara paksa. Akan tetapi jika si suami tidak memberikan nafkahnya dikarenakan adanya penghalang dari istrinya, seperti : nusyuz (baca : (Baca : Hukum Istri yang Menampar Suami, pen) maka dirinya tidak bisa dipaksa untuk mengeluarkan nafkahnya itu.
Lalu apakah bisa seorang istri memiliki hak menuntut pisah dari suaminya jika dia menahan tidak memberikan nafkahnya tanpa adanya sebab ?
Pada fuqaha berbeda pendapat dalam hal ini dalam beberapa keadaan namun mereka bersepakat didalam beberapa keadaan yang lain, sebagai berikut :
1. Jika si suami yang menahan dari memberikan nafkahnya itu memiliki harta yang tampak maka dibolehkan bagi istrinya untuk mengambil nafkahnya itu dari suaminya baik dengan sepengetahuan si suami atau tidak, baik dilakukannya sendiri atau melalui seorang hakim. Dan dalam hal ini tidak ada bagi istrinya hak untuk menuntut pisah karena dimungkinkan baginya untuk mendapatkan nafkahnya itu tanpa perlu adanya pemisahan.
Dalam hal ini, sama saja baik si suami berada di negerinya atau tidak, baik harta suaminya itu ada dihadapannya atau tidak, baik hartanya itu berupa uang atau alat transportasi atau perkebunan yang dimungkinkan untuk diambil darinya.
Sedangkan pendapat yang paling masyhur dari dua pendapat Syafi’i adalah bahwa jika harta si suami yang tampak itu ada dihadapannya maka tidak diperbolehkan pemisahan (suami-istri). Akan tetapi jika harta itu berada jauh darinya sejauh jarak qashar shalat maka dibolehkan bagi si istri untuk menuntut pisah. Jika keadaannya tidak seperti demikian maka urusannya diserahkan kepada hakim untuk mendatangkan harta itu dan tidak ada hak istri menuntut pemisahan.
Jika keadaannya tidaklah diketahui apakah dirinya dalam keadaan kaya atau susah maka tidak ada pemisahan karena sebab (untuk pemisahan) tidaklah terwujud.
2. Apabila seorang suami yang menahan nafkahnya tidaklah memiliki harta yang tampak baik dikarenakan kesulitannya (miskin) atau tidak diketahui keberadaan hartanya itu atau dikarenakan suaminya itu menghilangkan hartanya maka si istri mengangkat permasalahan ini kepada hakim untuk menuntut pisah dari suaminya itu dikarenakan sebab-sebab diatas. Meski terjadi perselisihan dikalangan fuqaha tentang pembolehan pemisahan ini menjadi dua pendapat : para ulama Hanafi tidak membolehkannya… sementara para ulama Maliki dan Hambali memberikan kepadanya pilihan : tetap mempertahankan ikatan suami istri dan menjadikan pembiayaan nafkahnya sebagai utang atas suaminya atau mengangkat permasalahan ini kepada hakim untuk menuntut pemisahan pernikahannya… (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 10346 – 10347)
Dan pendapat yang kuat adalah bahwa seorang istri yang tidak mendapatkan nafkah dari suaminya memiliki hak untuk menuntut pemisahan dirinya dari suaminya dikarenakan kuatnya dalil-dalil yang menunjukkan hal itu, sebagaimana dikatakan jumhur fuqaha.
فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
Artinya : ”Menggenggam (istri) dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS. Al Baqoroh : 229)
Pada ayat diatas Allah memberikan dua pilihan kepada seorang suami antara menggenggam dengan cara yang ma’ruf yaitu memberikan nafkah kepadanya atau menceraikannya dengan cara yang baik pula jika dirinya tidak bisa memberikan nafkah kepadanya.
Wallahu A’lam