Bagaiman hukumnya orang tidak berpuasa namun bersenggama di bulan ramadhan?
wassalam
Waalaikumussalam Wr Wb
Barangsiapa yang melakukan jima’ (senggama) pada siang hari di bulan Ramadhan sementara diwajibkan atasnya berpuasa dikarenakan ia adalah seorang mukallaf, sehat tidak sakit yang menghalanginya untuk berpuasa, mukim atau tidak dalam perjalanan atau safar maka diwajibkan atasnya kafarat berupa membebaskan budak dan jika ia tidak mendapatkannya maka berpuasa dua bulan berturut-turut dan jika ia tidak menyanggupinya maka memberikan makan 60 orang miskin.
Abu Daud meriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata; seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata; aku telah binasa. Kemudian beliau berkata: “Ada apa denganmu?” Ia berkata; aku telah menggauli isteriku pada Bulan Ramadhan. Beliau berkata: “Apakah engkau mendapatkan sesuatu untuk membebaskan budak?” Ia berkata; tidak. Beliau berkata: “Apakah engkau mampu untuk melakukan puasa dua bulan berturut-turut?” Ia berkata; tidak. Beliau berkata: “Apakah engkau mampu untuk memberi makan enam puluh orang miskin?” ia berkata; tidak. Beliau berkata: “Duduklah.” Kemudian diberikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam satu keranjang yang berisi kurma, kemudian beliau berkata; bersedekahlah dengan ini. Lalu orang tersebut berkata; wahai Rasulullah, tidak ada diantara dua daerah yang berbatu hitam (yaitu Madinah) keluarga yang lebih fakir daripada kami. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tertawa hingga terlihat gigi-gigi serinya, beliau bersabda: “Berikanlah makan mereka dengannya.”
Adapun jika yang melakukan senggama di siang hari Ramadhan itu termasuk orang-orang yang dibolehkan berbuka, seperti : ia sedang sakit yang menghalanginya berpuasa atau sedang dalam perjalan (safar) maka tidaklah diwajibkan baginya kafarat akan tetapi diwajibkan baginya mengqadha hari itu diluar bulan ramadhan.
Didalam fatawa al Islam Sual wa Jawab No. 50256 tentang “Hukum Menggauli Istri di Siang Hari Bulan Ramadhan Sedangkan Dia Dalam Keadaan Safar” disebutkan :
“Tidaklah ada kafarat dan dosa atasnya karena orang yang bersafar dibolehkan baginya berbuka akan tetapi diwajibkan baginya mengqadha hari itu.”
Al Lajnah ad Daimah (10/202) pernah ditanya tentang “Hukum Orang yang Menggauli Istrinya Di Siang Hari Ramadhan Sementara Mereka Berdua adalah Musafir yang Tidak Berpuasa”
Al Lajnah menjawab :
“Dibolehkan berbuka dan mengqadha bagi seorang musafir yang sedang dalam perjalan di siang hari Ramadhan berdasarkan firman Allah swt :
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Artinya : “Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah : 184) – Dibolehkan baginya makan, minum dan bersenggama selama dalam safarnya.”
Asy Syeikh Ibn Baaz didalam Majmu’ al Fatawa (15/307) pernah ditanya tentang “Hukum Orang yang Bersenggama Di Siang Hari Ramadhan Padahal Dirinya Sedang Berpuasa dan Bolehkah Seorang Musafir Jika Berbuka Menggauli Istrinya?”
Syeikh menjawab :
“Terhadap orang yang bersenggama pada siang hari Ramadhan padahal dirinya sedang berpuasa dengan puasa wajib maka wajib atasnya kafarat, yaitu kafarat Zhihar berupa membebaskan budak dan jika dia tidak mendapatinya maka berpuasa dua bulan berturut-turut dan jika dia tidak menyanggupinya maka memberikan makan enam puluh orang miskin dengan tetap diwajibkan atasnya mengqadha hari itu serta bertaubat kepada Allah swt terhadap apa yang terjadi padanya.
Adapun jika ia sedang dalam perjalanan (safar) atau sakit dengan suatu penyakit yang membolehkannya berbuka maka tidak ada atasnya kafarat dan tidaklah mengapa namun diwajibkan atasnya mengqadha hari yang disitu ia bersenggama karena seorang yang sakit dan sedang dalam perjalanan dibolehkan baginya berbuka dengan berjima atau selainnya sebagaimana firman Allah swt :
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Artinya : “Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah : 184)
Adapun hukum terhadap istri dalam hal ini maka seperti hukum terhadap suaminya jika si istri berpuasa wajib maka wajib atasnya kafarat dengan qadha sedangkan jika si istri juga sedang dalam perjalanan (safar) atau sakit dengan suatu penyakit yang menghalanginya berpuasa maka tidak wajib atasnya kafarat.”
Wallahu A’lam