Assalamualaikum Pak Ustadz,
Saya ingin menanyakan mengenai hukumnya menggunakan ‘jimat’, berupa kertas yang bertuliskan ayat2 Al Quran. Apakah dibenarkan dalam Islam apabila penggunaannya untuk menolak / agar kebal terhadap santet dari orang-orang yang berniat jahat kepada kita? Perlu diketahui bahwa ‘jimat’ ini diberikan oleh seorang kiyai. Tetapi saya ragu apakah ini termasuk dalam kategori syirik atau tidak. terimakasih sebelumnya.
Waalaikumussalm Wr Wb
Saudara NH yang dimuliakan Allah swt
Allah swt telah menurunkan Al Qur’an agar manusia berubadah didalam membaca dan mentadabburi makna-maknanya sehingga mereka mengetahui hukum-hukumnya serta mengamalkannya. Karena itulah Al Qur’an merupakan nasehat dan peringatan bagi mereka yang dapat melembutkan hati, membuat gemetar kulit, menjadi obat penyakit-penyakit hati seperti kebodohan dan kesesatan, mensucikan jiwa dari berbagai kotoran syirik, maksiat dan dosa-dosa.
Allah swt menjadikan Al Qur’an sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang yang hatinya terbuka, menggunakan pendengarannya dan dia menyaksikan, firman Allah swt :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَاء لِّمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ
Artinya : “Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus : 57)
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُّتَشَابِهًا مَّثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ ذَلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاء
Artinya : “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. Az Zumar : 23)
إِنَّ فِي ذَلِكَ لَذِكْرَى لِمَن كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ
Artinya : “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang Dia menyaksikannya.” (QS. Qaff : 37)
Allah swt menjadikan Al Qur’an sebagai mu’jizat bagi Rasul-Nya, Muhammad saw dan sebagai sebuah tanda terbesar bahwa dirinya adalah seorang rasul dari sisi Allah swt kepada seluruh manusia agar beliau saw menyampaikan syariat-Nya kepada mereka, sebagai rahmat bagi mereka serta untuk menegakkan hujjah atas mereka.
Allah swt berfirman :
وَقَالُوا لَوْلَا أُنزِلَ عَلَيْهِ آيَاتٌ مِّن رَّبِّهِ قُلْ إِنَّمَا الْآيَاتُ عِندَ اللَّهِ وَإِنَّمَا أَنَا نَذِيرٌ مُّبِينٌ ﴿٥٠﴾
أَوَلَمْ يَكْفِهِمْ أَنَّا أَنزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ يُتْلَى عَلَيْهِمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَرَحْمَةً وَذِكْرَى لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ ﴿٥١﴾
Artinya : “Dan orang-orang kafir Mekah berkata: "Mengapa tidak diturunkan kepadanya mukjizat-mukjizat dari Tuhannya?" Katakanlah: "Sesungguhnya mukjizat- mukjizat itu terserah kepada Allah. dan Sesungguhnya aku hanya seorang pemberi peringatan yang nyata". Dan Apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) sedang Dia dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam (Al Quran) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al Ankabut : 50 – 51)
Artinya : “Ini adalah ayat-ayat kitab (Al Quran) yang nyata (dari Allah).” (QS. Al Qashash : 2)
Artinya : “Inilah ayat-ayat Al Quran yang mengandung hikmat.” (QS. Luqman : 2)
Pada dasarnya Al Qur’an adalah Kitab tentang syariat dan penjelasan berbagai hukum. Ia adalah tanda yang faseh, mu’jizat yang luar biasa dan argumentasi yang tak terbantahkan yang dengannya Allah swt menguatkan Rasulul-Nya, Muhammad saw. Bersamaan dengan itu maka terdapat riwayat bahwa Rasulullah saw pernah meruqyah dirinya dengan Al Qur’an dengan membaca “al muawwidzat ats tsalatsah”, yaitu قل هو الله أحد dan قل أعوذ برب الفلق dan قل أعوذ برب الناس . Terdapat pula riwayat bahwa beliau saw mengizinkan ruqyah yang tidak mengandung kesyirikan didalamnya dari al Qur’an dan doa-doa yang disyariatkan. Beliau saw juga membolehkan praa sahabatnya meruqyah dengan Al Qur’an dan mengambil upah darinya.
Dari ‘Auf bin Malik berkata,”Pada masa jahiliyah kami pernah meruqyah. Lalu kami mengatakan,’Wahai Rasulullah apa pendapatmu tentang itu?’ beliau saw menjawab,’Tunjukanlah ruqyahmu dihadapanku, dan tidaklah mengapa dengan ruqyah selama tidak ada kesyirikan didalamnya.” (HR. Muslim didalam shahihnya)
Dari Abu Sa’id al Khudriy berkata,”Beberapa orang sahabat berangkat pada suatu perjalanan hingga mereka singgah di sebuah kampung dari perkampungan orang-orang Arab. Para sahabat pun berharap dijamu oleh mereka akan tetapi mereka enggan menjamunya. Tiba-tiba kepala kampung itu disengat binatang berbisa. Mereka pun berupaya untuk menyembuhkan dengan berbagai macam cara namun tak satu pun berhasil. Sebagian mereka berkata,’Cobalah kalian datangi rombongan yang mampir itu barangkali sebagian dari mereka memiliki sesuatu (untuk penyembuhan).’ Maka mereka pun mendatangi para sahabat dan berkata,’Wahai rombongan (tamu), sesungguhnya pemimpin kami telah disengat binatang dan kami telah berupaya sekuat tenaga akan tetapi tak satu pun yang berguna, maka apakah salah seorang diantara kalian memiliki sesuatu (untuk menyembuhkannya)?’ sebagian dari sahabat berkata,’Ya.. demi Allah sesungguhnya aku mencoba meruqyah akan tetapi, demi Allah, sungguh kami berharap dijamu kalian namun kalian enggan menjamu kami maka saya tidak akan meruqyah kalian sehingga kalian memberikan kami upah.’ Mereka pun bersepakat untuk memberikan sejumlah kambing. Sahabat itu pun berangkat dan meludahinya serta membaca الحمد لله رب العالمين dan pemimpin mereka pun sembuh lalu bangun dan berjalan seakan-akan tidak pernah sakitdan berkata,’Tunaikanlah upah mereka sebagaimana kesepakatan kalian.’ Sebagian mereka mengatakan,’Bagi-bagilah (antara kalian).’ Dan sahabat yang meruqyah berkata,’Janganlah kalian membagi-bagikannya sebelum kita bertemu Nabi saw.’ Lalu mereka pun menceritakan hal itu kepadanya dan Nabi saw bersabda,’Apa yang kamu lakukan itu adalah ruqyah.’ Lalu beliau saw bersabda,’Sungguh kalian telah berbuat yang benar. Bagi-bagilah dan sisakan bagian buatku.’ Maka Nabi saw pun tertawa.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Dari Aisyah ra berkata,”Rasulullah saw apabila berbaring diatas tikarnya maka beliau saw meniupan di telapak tangannya dengan قل هو الله أحد dan al muawwidzatai (Al Falaq dan An Naas) seluruhnya lalu beliau saw mengusapkan kedua tangannya itu ke wajahnya dan bagian-bagian tubuhnya yang bisa dijangkau oleh kedua tangannya itu.’ Aisyah berkata,’Tatkala beliau sakit maka beliau memerintahkanku untuk melakukan itu padanya.” (HR. Bukhori)
Dari Aisyah berkata bahwa Nabi saw memohonkan perlindungan (kepada Allah) untuk sebagian keluarganya dan mengusap dengan tangan kanannya sambil berkata,”Wahai Allaih Tuhan manusia, hlangkanlah penyakit dan sembuhkanlah. Engkau adalah Yang Maha Menyembuhkan dan tidaklah ada penyembuhan kecuali penyembuhan-Mu yang tidak meninggalkan penyakit.” (HR. Bukhori)
Banyak lagi hadits-hadits lainnya yang menegaskan bahwa ruqyah dengan Al Qur’an maupun yang lainnya dan beliau saw mengizinkan serta menetapkan ruqyah selama tidak ada kesyirikan didalamnya.
Tidak terdapat riwayat dari Nabi saw—padahal kepada beliau Al Qur’an diturunkan, beliau lah yang paling mengetahui tentang hukum-hukumnya serta paling mengetahui kedudukannya—bahwa beliau saw menggantungkan pada tubuhnya atau selainnya suatu jimat dari Al Qur’an maupun yang lainnya atau beliau saw mengambil Al Qur’an atau beberapa ayat darinya sebagai hijab yang menutupi tubuhnya atau selainnya dari berbagai kejahatan ataupun membawa Al Qur’an atau sesuatu dari Al Qur’an didalam bajunya atau perhiasannya diatas kendaraannya agar terlindung dari kejahatan para musuhnya atau mendapatkan kemenangan terhadap mereka atau agar dimudahkan perjalanannya sehingga berbagai rintangan ddidalam perjalanannya sirna atau lain-lainnya demi mendapatkan manfaat atau menghilangkan kemudharatan.
Dan seandainya hal itu disyariatkan pastilah beliau saw bersemangat untuk itu, melakukannya dan menyampaikannya kepada umatnya serta menerangkannya kepada mereka berdasarkan firman Allah swt :
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ وَإِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ
Artinya : “Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.” (QS. Al Maidah : 67)
Dan seandainya beliau saw melakukan hal itu atau menjelaskannya kepada para sahabatnya pastilah mereka akan meriwayatkannya kepada kita dan mengamalkannya. Sesungguhnya para sahabat adalah orang-orang yang paling semangat untuk menyampaikan dan memberikan penjelasan dan mereka adalah orang-orang yang paling memeliharan syariat baik berupa perkataan maupun perbuatan dan yang paling ittiba (mengikuti) Rasulullah saw. Akan tetapi tidaklah ada sedikit pun riwayat dari seorang pun dari mereka.
Hal itu merupakan dalil bahwa membawa mushaf, meletakkannya di mobil, perhiasan rumah atau lemari uang dengan tujuan mencegah kedengkian, melindunginya, mendapatkan manfaat atau mencegah kemudharatan maka ia tidaklah dibolehkan.
Begitu juga dengan menjadikan Al Qur’an sebagai hijab, menuliskannya diatasnya atau menuliskan ayat-ayat dari Al Qur’an pada rantai emas atau perak atau yang lainnya untuk digantungkan sebagai jampi dan sejenisnya maka tidaklah diperbolehkan karena bertentangan dengan petunjuk Rasulullah saw dan para sahabatnya berdasarkan keumuman hadits,”Barangsiapa yang menggantungkan jimat maka Allah tidak akan menyempurnakan baginya..” didalam riwayat lain,”Barangsiapa yang menggantungkan jimat maka ia telah berbuat syirik” keduanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Serta keumuman sabda Rasulullah saw,”Sesungguhnya jampi, jimat dan tiwalah adalah syirik.”
Namun Nabi saw mengecualikan jampi yang tidak terdapat kesyirikan didalamnya maka ia dibolehkan, sebagaimana penjelasan diatas. Dan beliau saw tidaklah memberikan pengecualian terhadap jimat sehingga ia tetaplah dilarang, demikianlah pendapat Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, sekelompok dari sahabat dan sekelompok dari tabi’in diantaranya adalah para sahabat Abdullah bin Mas’ud seperti Ibrahim bin Yazid an Nakh’i.
Ada sekelompok ulama yang memberikan rukhshah (keringanan) menggantungkan jimat-jimat dari Al Qur’an, Asmaul Husna dan sifat-sifat Allah untuk tujuan memberikan perlindungan dan lainnya. Mereka mengecualikan hal itu dari hadits Nabi saw tentang jimat-jimat diatas sebagaimana dikecualikannya jampi yang tidak terdapat kesyrikan didalamnya karena Al Qur’am adalah firman Allah swt maka meyakini keberkahan dan manfaat didalamnya maupun didalam nama-nama dan sifat-sifat Allah bukanlah sebuah kesyirikan sehingga tidaklah dilarang mengambil darinya sebagai jimat, mengamalkan sesuatu darinya, menyertakannya atau menggantungkannya dengan berharap keberkahan dan menfaatnya.
Pendapat ini disandarkan kepada perkataan sekelompok orang diantaranya Amr bin al ‘Ash akan tetapi riwayatnya tidaklah teguh karena didalam sanadnya terdapat Muhammad bin Ishaq dan ia adalah salah seorang ‘penipu’.. dan andaikan riwayat itu teguh maka ia bukanlah dalil dibolehkannya menggantungkan jimat-jimat dari itu semua (Al Qur’an, Asmaul Husna) karena yang dimaksudkan di situ adalah menghafalkan Al Qur’an untuk anak-anak yang sudah besar dan menuliskannya untuk anak-anak kecil pada lembaran-lembaran lalu menggantungkannya di leher-leher mereka. Memang secara lahiriyah dia melakukan itu bersama anak-anak untuk mengulang-ulang bacaan yang telah dituliskannya sehingga mereka dapat menghafalkannya dan dia melakukan itu bukanlah untuk menjaga diri anaka-anak dari kedengkian atau kejahatan lainnya, maka ini tidaklah bisa disamakan dengan jimat sedikit pun.
Asy Syeikh Abdurrahman bin Hasan didalam kitabnya “Fathul Majid” memilih pendapat Abdullah bin Mas’ud serta para sahabatnya yang melarang berbagai jimat dengan menggunakan Al Qur’an serta yang lainnya. Dia mengatakan bahwa ini adalah pendapat yang benar ditinjau dari tiga sisi :
1. Keumuman larangan dan tidak ada pengkhususan terhadap yang umum.
2. Sebagai tindakan preventif karena bisa mengarah kepada menggantung yang lainnya.
3. Bahwa apabila digantungkan maka ia akan mengalami pelecehan oleh orang yang menggantungkannya ketika dirinya masuk ke WC atau kamar kecil. (Fatawa al Lajnah Li al Buhts al Ilmiyah wa al Ifta’ juz I hal 324 – 330)
Wallahu A’lam