Assalmkum……………..Ust
Sebenarnya, bagaimana sih islam memandang hukum berhubungan dengan lawan jenis baik via sms maupun telp selluler…………..? Mohon penjelasnnya ust kalo bisa disertakan dalil-dalil yang jelas……………..? Demikian Jazakumulloh ats jwbnya
Waalaikumussalam Wr Wb
Saudara Addhiey yang dirahmati Allah swt
Hubungan seksual adalah hal fitrah yang telah Allah berikan kepada setiap manusia serta menjadi kebutuhan didalam kehidupannya. Namun demikian Islam sebagai agama fitrah menginginkan hubungan tersebut menjadi sesuatu yang suci dan beradab. Untuk itu islam mengharuskan hubungan seksual itu dilakukan oleh pasangan yang sah menurut syariat sehingga ia dianggap sebagai sebuah ibadah dan mendapatkan pahala, sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Abu Dzar bahwa para sahabat bertanya,”Wahai Rasulullah, apakah jika diantara kami menyalurkan hasrat biologisnya (kepada isterinya) juga mendapat pahala? Beliau menjawab,’Bukankah jika ia menyalurkan pada yang haram ia berdosa? Maka demikian pula jika ia menyalurkannya kepada yang halal, maka ia juga akan mendapatkan pahala.” (HR. Muslim)
Apabila hubungan atau penyaluran syahwat itu dilakukan melalui sarana hp, sms, email maka :
1. Apabila penyaluran syahwat itu dilakukan antara pasangan suami isteri sekalipun dengan menggunakan kata-kata yang dapat membangkitkan syahwat diantara keduanya atau bahkan hingga megeluarkan mani maka hal itu tidaklah masalah. Terlebih lagi jika mereka berdua hidup berjauhan tempat maka hal itu bisa menjadi satu alternatif bagi mereka untuk melepaskan syahwatnya daripada jatuh kedalam sesuatu yang diharamkan Allah swt berdasarkan kaidah fiqih “mengambil kemudharatan yang lebih ringan”.
Akan tetapi apabila diantara mereka saling menggunakan kamera (internet atau 3G) dan saling memperlihatkan auratnya masing-masing sehingga terlampiaskan syahwat seksualnya maka pada dasarnya dibolehkan akan tetapi dikarenakan adanya kemungkinan bocor sehingga dikhawatirkan ada orang lain yang ikut menyaksikannya atau rekaman (hp) itu jatuh ketangan orang lain maka menghindari untuk tidak melakukannya adalah yang terbaik, sebagaimana kaidah ushul “mencegah kemudharatan lebih diutamakan dari mengambil manfaat”.
2. Apabila hubungan itu dilakukan antara bukan pasangan suami isteri :
a. Jika kata-kata yang dituliskan melalui sarana itu hanya sebatas bertanya tentang perkara-perkara seks kepada orang yang dianggap memiliki ilmu tentang itu dengan tetap menjaga adab-adab antara lawan jenis didalam berbicara, menjauhi bahasa-bahasa yang bisa membangkitkan syahwat diantara keduanya dan menggunakan bahasa-bahasa kiasan maka hal tersebut diperbolehkan, sebagaimana firman Allah swt : “..maka bertanyalah kepada orang yang memiliki pengetahuan.” (QS. An Nahl : 43)
b. Jika kata-kata yang dituliskan itu adalah kata-kata yang bisa membangkitkan syahwat diantara keduanya atau bahkan saling membayangkan satu dengan yang lainnya maka hal ini dilarang dan bisa dikategorikan sebagai zina maknawi sebagaimana sabda Rasulullah saw,” Abu Hurairoh berkata dari Nabi saw,”Sesungguhnya Allah telah menetapkan terhadap anak-anak Adam bagian dari zina yang bisa jadi ia mengalaminya dan hal itu tidaklah mustahil. Zina mata adalah pandangan, zina lisan adalah perkataan dimana diri ini menginginkan dan menyukai serta kemaluan membenarkan itu semua atau mendustainya.” (HR. Bukhori)
Imam Bukhori memasukan hadits ini kedalam Bab Zina Anggota Tubuh Selain Kemaluan, artinya bahwa zina tidak hanya terbatas pada apa yang dilakukan oleh kemaluan seseorang saja. Namun zina bisa dilakukan dengan mata melalui pandangan dan penglihatannya kepada sesuatu yang tidak dihalalkan, zina bisa dilakukan dengan lisannya dengan membicarakan hal-hal yang tidak benar dan zina juga bisa dilakukan dengan tangannya berupa menyentuh, memegang sesuatu yang diharamkan.
Ibnu Hajar menyebutkan pendapat Ibnu Bathol yaitu,”Pandangan dan pembicaraan dinamakan dengan zina dikarenakan kedua hal tersebut menuntun seseorang untuk melakukan perzinahan yang sebenarnya. Karena itu kata selanjutnya adalah “serta kemaluan membenarkan itu semua atau mendustainya.” (Fathul Bari juz XI hal 28)
Wallahu A’lam.