Assalamu’alaikum wr. wb.
Ustadz, saya kaget ketika seorang ustadz memberikan arahan bahwa penghalalan uang-uang subhat dan haram bisa dimanfaatkan untuk maslahat dakwah. Ia mencontohkan, uang ‘hadiah’ yang didapat RT/RW hingga Lurah, anggota legislatif, bupati, gubernur, dan lain-lain, itu bisa dimanfaatkan untuk kepentingan dakwah.
Si Ustadz merujuk pada kitab fatawa tulisan Ibnu Taimiyah. Saya bingung, karena belum pernah baca kitab tersebut.
Pertanyaan saya, benarkah Ibnu Taimiyah berfatwa seperti itu? Bagaimana hukum duit subhat dan haram seperti di atas dari kacamata syariah Islam?
Wa’alaikumussalam wr. wb.
Hadiah yang Diberikan karena Jabatan
Suap dan hadiah adalah dua perbuatan yang memiliki jenis yang sama, yaitu kedua-duanya masuk didalam kategori pemberian kepada seseorang. Allah swt telah masyariatkan dan menganjurkan pemberian hadiah sebagai sesuatu yang dapat menyenangkan hati dan jiwa sebaliknya mengharamkan dan melaknat para pelaku suap.
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ …
Artinya : “Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram.” (QS. Al Maidah : 42)
Al Qurthubi menyebutkan pendapat Ibnu Mas’ud yang mengatakan bahwa as suht (memakan yang haram) disitu adalah suap. Umar bin Khottob mengatakan,”Suap kepada seorang hakim adalah as suht.” Dari Nabi saw bersabda,”Setiap daging yang tumbuh dikarenakan as suht maka neraka adalah yang utama baginya.’ Mereka bertanya,”Wahai Rasulullah apa yang dimaksud dengan as suht itu?’ Beliau saw menjawab,’Suap kepada seorang hakim.” (HR. Baihaqi)
Ibnu Mas’ud juga mengatakan bahwa as suht adalah seseorang yang memenuhi kebutuhan saudaranya kemudian dia memberikan hadiah kepadanya dan dia menerimanya. Sedangkan Ibnu Khuwaizin Mandad mengatakan bahwa as suht itu adalah seseorang yang makan karena jabatannya, seperti seseorang yang memiliki jabatan di pemerintahan dan datang seorang lainnya yang memerlukannya kemudian orang itu tidak memenuhi kebutuhannya kecuali dengan suap yang diambilnya. Tidak ada perbedaan dikalangan para ulama terdahulu bahwa suap diberikan untuk membatalkan suatu hak dan ini adalah haram” (Al jami’i Li Ahkamil Qur’an juz VI hal 538 – 539)
Sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan dari Abdullah bin Amr berkata,”Rasulullah saw telah melaknat orang yang memberi dan menerima suap.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
Untuk lebih jelas tentang definisi suap bisa dibaca jawaban sebelumnya tentang “Hukum Jadi PNS Karena Suap”.
Tentang perbedaan antara hadiah dan suap ini, Syeikh ‘Athiyah Muhammad Salim, Hakim Pengadilan Tinggi di Madinah al Munawwaroh mengatakan bahwa sesungguhnya hadiah adalah sesuatu yang disyariatkan dan disukai. Ia memiliki pengaruh yang berbeda dari suap. Hadiah dapat menyatukan hati, memunculkan kasih sayang sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Hendaklah kalian saling memberi hadiah maka kalian akan saling menyayangi.” Dan hadiah juga dapat membersihkan berbagai kotoran jiwa. Sedangkan suap kebalikannya, ia mengakibatkan terputusnya silaturahim dan permusuhan.
Hadiah diberikan dengan perasaan senang sebagai penghargaan buat orang yang menerimanya atau meyatukan hatinya yang bertujuan baik. Untuk itu ia tidaklah diberikan secara sembunyi-sembunyi seperti halnya seorang pemberi suap yang memberikan suap kepada orang yang menerimanya.”
Beliau juga mengatakan,”Suap diberikan oleh seorang pemberinya dengan perasaan tidak suka sedangkan si penerima menerimanya dengan sembunyi-sembunyi, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Tidaklah halal harta seorang muslim kecuali dengan cara yang menyenangkan jiwa.” ini adalah hadiah dan bukan suap. Firman Allah
… فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا ﴿٤﴾
Artinya : “kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. An Nisaa : 4) yaitu dengan pemberian itu menyenangkan jiwanya.
Beliau melanjutkan,”Nash-nash yang menunjukkan penerimaan hadiah lebih banyak dari yang telah disampaikan diatas namun cukuplah dengan ijma kaum muslimin yang membolehkan menerima hadiah.”
Pemberian seseorang yang memiliki ketergantungan dalam pemenuhan kebutuhan atau keperluannya kepada para pejabat negara, apakah ia seorang aleg, lurah, bupati, gubernur, hakim atau pejabat-pejabat lainnya bisa dikategorikan sebagai suap bukan hadiah.
Pemberian tersebut biasanya dilakukan karena ada maksud-maksud tertentu yang diinginkannya yang terkait dengan hak, urusan ataupun pekerjaannya kemudian diberikannya secara sembunyi-sembuyi, apakah dengan bertemu di suatu tempat, melalui transfer ke rekeningnya, rekening saudaranya, melalui ajudannya, nama yayasannya atau berbagai trik-trik lainnya.
Untuk itu Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah menolak pemberian buah apel yang dihidangkan para biarawan meskipun saat itu dirinya begitu ingin memakannya dan mengatakan bahwa pemberian kepada pejabat setelah mereka (Rasulullah, Abu Bakar dan Umar) adalah suap.”
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa para ulama telah mengatakan,”Sesungguhnya pemberian hadiah kepada wali amri—orang yang diberikan tanggung jawab atas suatu urusan—untuk melakukan sesuatu yang tidak diperbolehkan atasnya adalah haram, baik bagi yang memberikan maupun menerima hadiah itu, dan ini adalah suap yang dilarang Nabi saw.” (Majmu’ Fatawa juz XXXI hal 161)
Uang Haram atau Syubhat Untuk Dana Da’wah
Terkait dengan pemasalahan bolehkah harta yang didapat dengan cara yang diharamkan digunakan untuk pembiayaan proyek-proyek kebajikan, kemaslahatan, termasuk didalamnya untuk pembiayaan da’wah di jalan Allah swt ?
Para ulama telah berbeda pendapat tentang hukum bersedekah dengan harta yang haram :
1. Sebagian ulama tidak membolehkan bersedekah dengan harta yang haram berdasarkan firman Allah swt :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ الأَرْضِ وَلاَ تَيَمَّمُواْ الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنفِقُونَ وَلَسْتُم بِآخِذِيهِ إِلاَّ أَن تُغْمِضُواْ فِيهِ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ ﴿٢٦٧﴾
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Al Baqoroh : 267)
Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairoh bahwasanya Rasulullah saw bersabda,”Sesungguhnya Allah swt baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Sesungguhnya Allah swt memerintahkan orang-orang beriman sebagaimana Dia telah memerintahkan para rasul-Nya dengan firman-Nya
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ ﴿٥١﴾
Artinya : “Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Mukminun : 51) dan firman-Nya
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُلُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ …
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu.” (QS. Al Baqoroh : 172)
Kemudian beliau saw menyebutkan seseorang yang telah melakukan perjalanan jauh yang berambut kusut dan berdebu, orang itu menengadahkan kedua tangannya ke langit dan berkata,’Wahai Allah… wahai Allah…, sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan mengkonsumsi yang haram maka bagaimana doanya akan dikabulkan?” (HR. Muslim)
Dari nash-nash diatas jelas bahwa amal shalehlah yang diterima Allah swt. Setiap amal kebaikan harus dibiayai dengan harta yang halal sepenuhnya tidak ada syubhat didalamnya karena Allah swt baik dan tidak menerima kecuali yang baik artinya orang yang berinfak dengan harta yang haram ke tempat manapun maka tidaklah ada pahala baginya terhadap apa yang telah diinfakkannya.
2. Jumhur ulama berpendapat bahwa apabila seorang muslim telah mengambil harta
yang haram maka wajib baginya untuk mengembalikannya kepada pemiliknya apabila ia mengetahui bahwa orang tersebut masih hidup atau kepada ahli warisnya apabila orang tersebut sudah meninggal dunia. Dan apabila orang itu tidak diketahui kepastiannya maka hendaklah ia menunggu kehadirannya dan ketika orang itu datang maka harta dan segala keuntungan yang terkait dengan harta tersebut haruslah diberikan kepadanya.
Adapun apabila harta—haram—tersebut milik orang yang tidak diketahuinya, dan sudah ada keputus-asaan dalam mengetahui keberadaannya, apakah dia masih hidup atau sudah meninggal, ada ahli warisnya atau tidak maka pemilik harta yang haram ini harus mensedekahkannya, seperti menginfakkannya untuk pembangunan masjid, jembatan dan rumah sakit.
Jumhur ulama mendasarkan pendapatnya yaitu bersedekah dengan harta yang haram apabila tidak diketahui pemiliknya, ahli warisnya atau adanya kesulitan untuk mengetahuinya dengan hadits daging kambing panggang dihidangkan kehadapan Rasulullah saw dan aku—sahabat—mengatakan kepadanya bahwa itu haram.dia mengatakan,”Aku mendapati daging kambing yang diambil tanpa seizin pemiliknya.” Kemudia beliau bersabda,”Berikanlah makan para tawanan dengannya.”
Jumhur juga berdalil dengan qiyas dan mengatakan sesungguhnya harta itu berada diantara dua pilihan yaitu dimusnahkan atau dibelanjakan untuk kebaikan. Prinsipnya bahwa dibelanjakan untuk kebaikan jauh lebih utama daripada dibuang karena dengan dibuang berarti tidak mendatangkan mafaat.
Adapun diberikan kepada orang faqir atau tempat-tempat kebaikan maka akan mengandung manfaat dan memberikan manfaat bagi pemiliknya dengan pahala walaupun bukan dengan kehendaknya, sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih,”Sesungguhnya seorang yang menanam tanaman (buah) baginya pahala pada setiap buah dan tanamannya yang diambil oleh manusia atau burung.” Dan tidak disangsikan lagi bahwa tanaman yang dimakan oleh burung itu bukanlah keinginan petani tersebut namun ia tetap mendapatkan pahala. (Buhuts wa Fatawa Islamiyah juz III hal 298 – 300)
Jadi pendapat jumhur ulama bahwa harta yang yang haram lebih baik disedekahkan daripada dibuang apabila sudah tidak diketahui lagi pemiliknya. Namun demikian terkait dengan sedekah dari uang suap perlu kiranya sedikit lebih diperdalam dikarenakan didalam perbuatan tersebut ada pelanggaran terhadap hak manusia dan juga hak Allah swt.
Pemberian suap yang dilakukan seseorang kepada para pejabat mengandung dua kemungkinan :
- Pemberian itu dilakukan oleh seseorang yang memang mempunyai hak atas sesuatu kemudian mendapatkan hambatan untuk mendapatkannya dari seorang pejabat dan ia akan mendapatkan haknya itu setelah dikeluarkan sejumlah uang atau barang sebagai suap buatnya.
- Pemberian itu dilakukan atas kesepakatan bersama antara orang yang memberikan dan menerima suap untuk mempermudah urusan orang yang memberikannya padahal ia bukan / belum termasuk orang yang berhak atas urusan tersebut.
Macam yang pertama :
Terhadap orang yang bersedekah dengan uang suapnya :
Apa yang dilakukannya adalah kezhaliman dan memakan harta dengan cara yang batil sehingga tidak diperbolehkan baginya untuk bersedekah atau berinfak dengan harta tersebut ke tempat-tempat kebaikan terlebih lagi untuk da’wah di jalan Allah swt.
Orang itu berkewajiban mengembalikan uang suap tersebut kepada orang yang telah memberikannya jika ia masih hidup atau kepada ahli warisnya jika ia telah meninggal dunia, sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw bersabda,”Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci dan sedekah yang berasal dari ghulul (mencuri).” (HR. Muslim) Ghulul adalah mengambil harta rampasan perang sebelum ada pembagiannya diantara para tentara dan juga tanpa seizing imam, ini termasuk dalam pencurian.
Terhadap lembaga atau jama’ah da’wah yang menerimanya :
Apabila Lembaga atau Jama’ah Da’wah tersebut mengetahui bahwa sedekah atau sumbangan yang diberikan seseorang atau anggotanya yang juga pejabat negara diperoleh dengan cara seperti disebutkan diatas maka tidak diperbolehkan menerimanya terlebih lagi untuk pembiayaan da’wahnya di jalan Allah swt.
Kisah al Mughiroh bin Syu’bah yang pada masa jahiliyahnya adalah orang yang sering membunuh dan mengambil harta orang-orang yang dibunuhnya kemudian ia menemui Nabi saw setelah masuk islam maka Rasulullah saw mengatakan kepadanya,”Adapun keislamanmu maka aku menerimanya sedangkan hartamu maka aku tidaklah menginginkannya sedikit pun.” (HR. Bukhori) Hal itu menunjukkan bahwa tidak diperbolehkan menerima harta yang didapat dengan cara yang zhalim.
Sedangkan jika Lembaga atau Jama’ah Da’wah itu tidak mengetahui kejelasan sumber harta yang disedekahkan tersebut maka dalam hal ini pun ada dua kemungkinan :
- Si pemberi sedekah dengan uang suap tersebut adalah orang yang tidak diketahui, seperti ; ia adalah simpatisan lembaga yang tidak dikenal, orang asing, atau yang menyembunyikan identitasnya maka dibolehkan menerimanya.
- Si pemberi sedekah dengan uang suap tersebut adalah orang yang dikenal, seperti : seorang simpatisan, pendukung atau anggotanya yang sudah dikenal maka Lembaga atau Jama’ah tersebut sudah seharusnya mencari tahu tentang sumber sedekahnya tersebut dengan bertanya kepadanya dan ini tidaklah sulit karena jumlah simpatisan, pendukung ataupun anggota yang merangkap sebagai pejabat negara tidaklah banyak dan terbatas.
Macam Suap yang Kedua :
Terhadap orang yang bersedekah :
Dalam permasalahan yang kedua ini maka sudah seharusnya seorang yang memiliki perhatian kepada da’wah untuk tidak terlibat didalam hal yang diharamkan ini, sebagaimana dalil-dalil yang ada serta firman Allah swt ;
… وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ ﴿٢﴾
Artinya : “dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” (QS. Al Maidah : 2)
Namun apabila hal itu terjadi juga maka uang tersebut tidaklah perlu dikembalikan kepada orang yang memberikannya dikarenakan dalam hal ini yang dilanggar adalah hak Allah swt bukan hak manusia maka diperbolehkan baginya mensedekahkannya kepada Lembaga atau Jama’ah Da’wahnya setelah ia bertaubat dengan taubat nasuha untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya.
Terhadap Lembaga dan Jama’ah Dawah
Jika memang orang tersebut sudah bertaubat terhadap perbuatannya maka diperbolehkan baginya untuk menerimanya karena dosa perbuatan tersebut dikenakan kepada pelakunya saja, sebagaimana firman Allah swt :
… وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى …
Artinya : “Dan seseorang tidak akan memikul beban dosa orang lain.” (QS. Al An’am : 164)
Berdasarkan dalil adalah bahwa Rasulullah saw pernah menerima hadiah berupa daging kambing yang sudah diberi racun oleh seorang Yahudi. Umar bin Khottob pernah menerima jizyah seorang kafir dzimmi dari hasil penjualan khomr.
Ibnu Mas’ud pernah didatangi seseorang dan mengatakan,”Sesungguhnya aku mempunyai seorang tetangga yang suka makan riba dan orang itu sering mengundangku.” Ibnu Mas’ud menjawab,”Tidak mengapa engkau memenuhinya dan dosanya adalah untuk orang itu.” (Mushannif Abdur Razaq juz VIII hal 150)
Dalam hal ini kewajiban Lembaga atau Jama’ah Da’wahnya untuk mengingatkan dan menasehatinya agar bertaubat dan tidak mengulangi lagi perbuatan tersebut demi kebersihan dirinya dan jama’ahnya.
Namun apabila orang itu masih mengulangi perbuatan tersebut serta mensedekahkannya untuk dana da’wah dijalan Allah seharusnya pihak Lembaga atau Jama’ah tidak menerimanya karena pihak Lembaga sudah mengetahui sumber pendapatan harta yang disedekahkannya tersebut. Dan jika hal itu masih diterimanya maka ini termasuk dalam membantunya untuk melakukan suatu kemaksiatan, sebagaimana perkataan Ibrahim an Nakh’i,”Ambillah (hadiah orang yang memakan riba) selama engkau tidak menyuruh atau membantunya.” (Mushannif Abdur Razaq juz VIII hal 151)
Demikianlah terkait dengan penerimaan terhadap sedekah atau sumbangan untuk kepentingan da;wah di jalan Allah yang berasal dari suap atau harta-harta lainnya yang diharamkan oleh Allah swt.
Tentunya suatu kebaikan terlebih lagi da’wah menyeru dijalan Allah haruslah betul-betul didanai oleh sumber-sumber yang jelas kehalalannya agar semua yang dilakukan mendapatkan redho dan berkah dari Allah swt.
Tentang fatwa Ibnu Taimiyah dalam permasalahan syubhat, Wallahu A’lam, saya tidak pasti mengetahuinya karena anda tidak menyebutkannya dalam pertanyaan. Namun demikian, menurut hemat saya, kalau pun disebutkan tidaklah langsung berkaitan dengan permasalahan yang ditanyakan tentang hadiah para pejabat yang disedekahkan atau disumbangkan untuk keperluan da’wah karena hadiah tersebut masuk dalam bab suap yang diharamkan dan tidak syubhat, sebagaimana penjelasan diatas.
Menurut hemat saya tetap lebih baik untuk tidak menggunakan harta yang syubhat untuk kepentingan da’wah dan kemaslahatan umat, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram juga jelas dan diantara keduanya ada perkara yang syubhat (samara) yang kebanyakan manusia tidak mengetahui hukumnya. Barangsiapa yang menghindari perkara yang syubhat maka ia telah membersihkan diri dan kehormatannya. Barangsiapa yang jatuh kedalam perkara syubhat maka ia telah jatuh kedalam perkara yang haram.” (HR. Bukhori Muslim)
Ada sebuah perkataan dari Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam hal harta yang syubhat adalah hendaknya sebuah harta yang syubhat dibelanjakan untuk sesuatu yang paling jauh dari manfaat, yang jauh sebagaimana perintah Rasulullah saw dalam penghasilan seorang tukang bekam dengan memberikan makan kepada budak sedangkan yang dekat adalah apa yang ada pada makanan, minuman dan yang sejenisnya kemudian apa yang tampak pada pakaian …” (Majmu’ Fatawa juz XXVIII hal 326)
Wallahu A’lam