Ustadz, saya punya teman muslim yang bekerja di lembaga pendidikan Jepang yang ada di Indonesia. Para siswa yang bersekolah di sana sebagian besar adalah anak non-muslim yang suka makan daging babi atau zat yang mengandung babi.
Pada waktu jam makan, siswa-siswanya banyak yang makan daging babi. Setelah makan daging babi, mereka suka merangkul atau memeluk, bahkan mencium muka teman saya yang muslim itu, tanpa cuci tangan dan cuci mulut terlebih dahulu. Teman saya selalu membawa pakaian khusus shalat untuk mendirikan shalat. Yang ingin saya tanyakan, apakah shalat teman saya itu sah atau tidak?
Bagaimana hukum dari kondisi tersebut. Apakah teman saya harus mencuci baju dan mukanya sebanyak 7 kali, di mana salah satunya dengan pasir/tanah? Dan bagaimana jika kejadiannya secara tiba-tiba/insidental? mohon jawaban sejelas-jelasnya berikut dalil-dalilnya. terima kasih
-Suroso Purwanto-
Waalaikumussalam Wr Wb
Hukum Daging Babi
Sebagaimana sudah diketahui bahwa hukum daging babi adalah haram, berdasarkan firman Allah swt ;
Artinya : “diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi.” (QS. Al Maidah : 3)
Imam Nawawi mengatakan,”Didalam ayat digunakan lafazh daging dikarenakan bagian inilah yang paling penting (inti). Para ulama kaum muslimin telah bersepakat dengan pengharaman lemak, darah dan seluruh bagian tubuhnya.” (Shahih Muslim bi syarhin Nawawi juz XIII hal 142)
Artinya : “Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena Sesungguhnya semua itu kotor.” (QS. Al Maidah : 145)
DR Wahbah memasukkan daging babi kedalam kelompok najis yang disepakati seluruh madzhab walaupun disembelih sesuai dengan syariat Islam karena nash Al Qur’an menunjukkan bahwa ia adalah najis ain (dzatnya). Oleh karena itu daging dan seluruh bagian tubuhnya berupa bulu, tulang dan kulitnya tetaplah najis walaupun sudah disamak. Sedangkan menurut ulama Mailiki bahwa daging dari babi yang hidup baik urat, air mata, ingus maupun air liurnya adalah suci. (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz I hal 302)
Diantara alasan lain bahwa najis pada babi adalah najis ain adalah mereka meng-qiyas-kan babi dengan anjing bahkan keadaan babi sesungguhnya lebih buruk daripada anjing sehingga tidaklah bisa dimanfaatkan. Namun alasan ini tidak diterima oleh sebagian ulama Syafi’i dikarenakan hal itu tidak terjadi pada serangga yang tetap suci walaupun ia tidak bisa dimanfaatkan.
Ada riwayat dari Abu Hanifah bahwa dia mengatakan najis pada babi adalah najis ain sehingga diharamkan mengambil manfaat baik dari bulu maupun bagian-bagian tubuh lainnya namun dia memberikan rukhshoh (keringanan) pada bulunya yang digunakan untuk benang jahit jika diperlukan. (Tuhfatul Fuqoha juz I hal 52)
Al Kasani juga menyebutkan riwayat yang sama dari Abu Hanifah bahwa babi adalah najis ain dikarenakan Allah swt mensifatkannya dengan rijs (najis). (Bada’ius Shona’i juz I hal 287)
Pendapat para penduduk Madinah—madzhab Maliki—bahwa anjing seluruhnya najis baik pada air liur maupun dzatnya (ain) sebagaimana babi. (Al Kafi fi Madzhab Ahlil Madinah)
Al ‘Alamah al Azhim Abadi menyebutkan pendapat Al Khottobi bahwa hadits Rasulullah saw,”Dan Dia mengharamkan babi serta harga (jual beli) darinya.” Adalah dalil terhadap rusaknya jual beli kotoran dan segala sesuatu yang najis dzatnya (ain). (Aunul Ma’bud, juz IX hal 370)
Bagi orang yang mengatakan bahwa najis babi adalah ainiyah (dzatnya) maka ia tidaklah bisa disucikan dalam keadaan bagaimanapun. Sedangkan bagi mereka yang mengatakan bahwa ia adalah hukmiyah maka ia bisa disucikan, seperti kulitnya dengan cara disamak. Wallahu A’lam
Hukum Badan atau Baju Yang Disentuh Orang Yang Makan Daging Babi
1. Sebagian ulama Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa memegang anjing atau babi atau yang terlahir dari kedua jenis tersebut haruslah dicuci sebanyak tujuh kali dan salah satunya dengan tanah, baik najisnya itu air liur, kencing, segala yang basah darinya atau bagian-bagiannya yang sudah kering namun disentuh dalam keadaan basah, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Sucikan bejana salah seorang diantara kalian apabila terkena jilatan anjing dengan mencucinya sebanyak tujuh kali, salah satunya dengan tanah.” Dalam riwayat lain,”permulaannya dengan tanah.” Dalam riwayat lain,”.. campurkan pada kali kedelapan dengan tanah.” Disini babi disertakan bersama dengan anjing dikarenakan keadaan babi lebih buruk darinya, berdasarkan firman Allah,”Atau daging babi, sesungguhnya ia adalah rijs (najis).”
Terdapat sebuah riwayat dari Imam Ahmad yang mengharuskan mencuci dari najis anjing dan babi dengan delapan kali yang salah satunya dengan tanah, demikian pula pendapat al Hasan al Bashri, berdasarkan sabda Rasulullah saw didalam beberapa riwayat,”.. campurkan pada kali kedelapan dengan tanah.”
Ada sebagian dari para ulama madzhab Syafi’i bahwa babi tidaklah seperti anjing sehingga mensucikanya cukup dengan sekali cuci tanpa tanah sebagaimana najis-najis lainnya karena nash yang disebutkan didalamnya penggunaan tanah hanyalah terhadap anjing saja.
2. Adapun para ulama Hanafi dan Maliki berpendapat cukuplah mencuci bejana yang dijilat anjing tanpa menggunakan tanah, alasan mereka bahwa riwayat-riwayat yang disebutkan didalamnya penggunaan tanah ada pada hadits yang mudhtharib (simpang siur), ada yang menggunakan lafazh,”yang pertama.” Ada dengan lafazh,”salah satunya,” lafazh ketiga,”kali yang lainnya.” riwayat keempat,”yang ketujuh dengan tanah.” Dan yang kelima,”dan campurkan pada kali kedelapan dengan tanah.” Kesimpang siuran ini mengharuskannya untuk dihilangkan. Dan sesungguhnya penyebutan tanah tidaklah tegas didalam setiap riwayat. (Al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 3910 – 3911)
Jadi apabila anggota tubuh atau baju seseorang dipegang oleh orang yang terlebih dahulu menyentuh daging babi, baik secara tiba-tiba atau tidak, bisa ada dua kemungkinan :
1. Apabila tangan orang yang menyentuhnya masih basah atau tampak bekas-bekas daging babinya maka diharuskan baginya untuk mensucikan bagian yang tersenuth tadi—tidak perlu mandi—dengan air sebanyak tujuh kali. Setelah itu dia dibolehkan shalat dengannya.
2. Akan tetapi apabila tangan orang yang menyentuhnya sudah kering atau tidak ada bekas-bekas daging babi maka ini tidaklah berpengaruh apa-apa terhadap badan atau pakaiannya dikarenakan suatu najis tidaklah berpindah kecuali dalam keadaan basah. Dengan demikian ia diperbolehkan shalat dengan menggunakan pakaiannya tadi.
Wallahu A’lam.
Ustadz Sigit Pranowo