Assalamu’alaikum wr.wb
Ustadz, saya pernah membaca tentang takdir yang bisa dirubah. saya juga pernah membaca kalau sesuatu yang telah ditakdirkan itu karena beberapa sebab, ketika seseorang melakukan sebab itu maka berlakulah sesuatu yang ditakdirkan, begitu pula, jika ia tidak melakukannya maka sesuatu yang hendak ditakdirkan itu tidak berlaku. Terus terang saya agak bingung dan pernah berfikir takdir yang mana saja sebenarnya yang merupakan pilihan atau konsekuensi dari apa yang kita lakukan. Misalnya ketika saya tamat SMA dan ada beberpa pilihan kuliah yang bisa saya masuki, apakah saya sudah ditakdirkan disatu tempat atau bisa berupa pilihan jika saya memilih A akan terjadi X, jika saya memilih B yang akan terjadi adalah Y. Begitu pula misalnya ketika ada beberapa tawaran pernikahan misalnya. Apakah saya memangg ditakdirkan hanya dengan 1 ketentuan saja, atau bisa beberapa pilihan ketentuan jika saya memilih si A, maka takdir hidup saya akan begini, tapi jika saya memilih si B maka takdir hidup saya akan begitu, dst. Sebenarnya bagaimana ustadz ? Atas jawabannya saya ucapkan jazakumullah..
Fina – Bandung
Saudara fina yang dimuliakan Allah swt
Berbagai perbuatan manusia dapat dikategorikan menjadi dua macam :
1. Musayyar yaitu perbuatan-perbuatan yang didalamnya seorang manusia tidak memiliki kebebasan atau pilihan lain kecuali ia menerimanya, seperti kehadirannya di dunia ini maupun kematiannya, kelahirannya di suatu daerah dan tidak di daerah lainnya, perkembangan tubuhnya baik tinggi atau pendek, bentuk rambutnya, warna kulitnya dan sebagainya. Bisa diibaratkan bahwa sifat musayyar ini sama dengan sifat sebuah benda, tanaman dan hewan.
2. Mukhoyyar yaitu bahwa manusia memiliki kebebasan terhadap suatu perkara untuk menerima atau menolaknya. Untuk itu Allah swt memberikan kepadanya akal, pemahaman dan kemampuan untuk membedakan apakah sesuatu itu baik atau buruk, terpuji atau tercela. Inilah yang membedakan manusia dengan benda, tumbuhan maupun hewan sehingga manusia menjadi makhluk Allah swt yang mukallaf (mempunyai berbagai kewajiban) bila ia sudah sampai pada usia baligh. Karena itu orang gila, anak kecil maupun orang yang tertidur tidaklah terbebankan oleh kewajiban dikarenakan mereka semua tidak memiliki kebebasan untuk menerima atau menolak suatu perkara.
Dan kedua macam perbuatan tersebut tidaklah ada yang keluar dari takdir dan ketentuan Allah swt. Semuanya telah dituliskan Allah swt di Lauh Mahfuzh, telah diketahui, diciptakan dan dikehendaki oleh-Nya, sebagaimana firman-Nya :
مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
Artinya : “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (Tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. Al Hadid : 22)
Artinya : “Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Ankabut : 62)
Artinya : “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (QS. Al Qomar : 49)
Artinya : “(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At Takwir : 28 – 29)
Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa iman adalah mengimani Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir dan takdir baik dan buruk.
Syeikh ‘Athiyah Saqar mengatakan bahwa Allah swt telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang akan terjadi berupa kebaikan atau keburukan dan menjadikannya dapat menerima ketaatan maupun kemaksiatan serta membebankannya dengan berbagai perkara yang diperintahkan maupun dilarang dan dibebaskan baginya untuk melaksanakannya atau tidak melaksanakannya dan kelak dia akan dihisab dihadapan Allah swt atas apa yang dilakukannya dengan kebebasannya dan pilihannya kepada ketaatan atau kemaksiatan. Manusia tidaklah mengetahui apa yang telah ditetapkan didalam ilmu Allah swt kecuali setelah hal yang ditakdirkan itu terjadi.
Beliau juga mengatakan bahwa sesungguhnya Allah swt mengetahui bahwa Abu Lahab tidaklah mengimani Muhammad saw namun demikian Allah swt memerintahkan nabi-Nya untuk mengajaknya beriman agar beriman atau tidak berimannya dia atas dasar kebebasan dan pilihan-Nya, maka Abu Lahab pun memilih untuk kufur (tidak beriman) dan hal itu terus berlangsung hingga dirinya mati dalam keadaan kafir, disinilah diketahui secara jelas bahwa Allah swt telah menetapkan didalam ilmu-Nya bahwa Abu Lahab akan memilih kekufuran dan mati dalam keadaan kafir. (Fatawa Al Azhar juz X hal 125)
Hal lain yang perlu diketahuia adalah bahwa ilmu Allah swt hanyalah bersifat inkisyaf (menyingkap) sesuatu yang lalu, saat ini atau akan datang, artinya bahwa Allah swt mengetahui bahwa seseorang akan melakukan ini dan itu, kebaikan atau keburukan, ketaatan atau kemaksiatan, mati dalam keadaan mukmin atau kafir sejak azali. Akan tetapi ilmu Allah ini tidaklah memiliki sifat ijbar (memaksa) ataupun ta’tsir (mempengaruhi), sebagaimana yang ada pada kehendak-Nya.
Kemudian Allah swt adalah Maha Bijaksanan didalam setiap urusan dan ciptaan-Nya. Dia juga Maha Menyayangi hamba-hamba-Nya dengan mengutus para rasul-Nya, memberikan kepada mereka kitab-kitab-Nya, menetapkan syariat-Nya agar manusia bisa membedakan perkara-perkara yang baik dari perkara-perkara yang buruk untuk kemudian memilih perkara-perkara yang baik itu dan meninggalkan yang buruk.
Dengan demikian setiap manusia bebas atas pilihan yang diambilnya dan kelak akan diminta pertanggungjawaban dihadapan Allah swt atas hal tersebut, termasuk dalam hal ini adalah kasus yang anda tanyakan, yaitu seorang siswa SMA yang dihadapkan dengan berbagai perguruan tinggi yang akan dipilihnya atau seorang wanita yang akan menjatuhkan pilihannya terhadap beberapa lelaki yang menginginkannya.
Siswa SMA atau wanita itu telah diberikan oleh Allah swt akal, pengetahuan dan kemampuan menentukan pilihan. Sebelum dirinya menentukan pilihannya kepada perguruan tinggi atau lelaki mana yang dipilihnya maka Allah swt sudah mengetahui pilihannya itu akan dijatuhkan kemana. Akan tetapi ilmu Allah ini tidaklah memaksa maupun mempengaruhi dirinya untuk melakukan apa yang diketahui-Nya akan tetapi membiarkan kepadanya atau memberikan kebebasan kepadanya untuk menjatuhkan pilihannya. Sehingga pilihannya itu dilakukan atas dasar kesadaran dan kebebasan.
Pada saat dirinya memberikan penilaian baik buruk terhadap seluruh alternatif yang ada dihadapannya maka tidaklah ada pahala maupun dosa baginya akan tetapi ketika ia melaksanakan pilihannya itu dan jika hal itu merupakan ketaatan maka baginya pahala, jika maksiat maka baginya dosa dan jika ia perkara mubah maka tidak ada dosa dan pahala baginya.
Dikarenakan orang itu tidak mengetahui apa catatan maupun ketentuan Allah terhadap dirinya di Lauh Mahfuzh apakah pada akhirnya dia akan memilih PT A atau si fulan sebagai suaminya maka hendaklah dia berusaha memilih yang terbaik bagi dirinya dan menghindari kemaksiatan didalamnya. Dan Allah swt tidak akan pernah sedikit pun menzhalimi hamba-hamba-Nya akan tetapi merekalah yang menzhalimi diri mereka sendiri. Allah juga tidak akan pernah salah memberikan pahala kepada orang yang berhak mendapatkan pahala dan tidak akan salah memberikan dosa kepada orang yang memang berhak atasnya.
إِنَّ اللّهَ لاَ يَظْلِمُ النَّاسَ شَيْئًا وَلَكِنَّ النَّاسَ أَنفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ
Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi manusia Itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri.” (QS. Yunus : 44)
Wallahu A’lam