Ustadz ada beberapa hal yg saya jumpai di rumah maupun di sekolah yaitu ttg seseorang yg bermusik.
1 Apa hukumnya sesorang mendengarkan / memainkan musik. Saya pernah membaca perihal hal ini yaitu ttg perbedaan pendapat para ulama dalam menentukan hukum mengenai ini.Tentu saja mereka menggunakan dalil2 dari Al-Qur`an dan hadist dlm meyampaikan pendapatnya, tetapi ada dalil yg membolehkan dan yg melarang musik. Nah kalau musik klasik semisal Mozart apa hukumnya? Bagaimana kita menyikapinya?
Terima kasih.
Ustadz, saya juga ingin tahu alamat emailnya?
Wassalamualaikum wr wb
Waalaikumussalam Wr Wb
Saudara Ahmad yang dimuliakan Allah
Sebagaimana yang anda sebutkan bahwa terjadi pro kontra dikalangan para ulama terhadap hukum nyayian dan alat musik. DR Wahbah mengatakan bahwa yang masyhur didalam madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) adalah mengharamkan menggunaan alat-alat untuk menyanyi, seperti : lute, drum, seruling, rebab dan yang lainnya termasuk memetik gitar, flute, klarinet dan yang lainnya.
Siapa yang selalu mendengarkannya maka persaksiannya tidaklah diterima sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Akan ada dari umatku orang-orang yang menghalalkan khomr, babi, sutera dan musik.” (HR. Bukhori) dan didalam lafazh yang lain disebutkan,”Ada orang-orang dari umatku yang akan meminum khomr, menamakannya dengan bukan namanya, memainkan musik diatas kepalanya dengan alat-alat musik dan para penyanyi wanitanya maka Allah akan menenggelamkan mereka kedalam bumi dan menjadikan sebagian dari mereka menjadi monyet dan babi.” (HR. Ibnu Majah)
Didalam mengharamkan musik ini, mereka juga menggunakan dalil dari Al Qur’an ;
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ
Artinya : “dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan Perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah.” (QS. Luqman : 6)
Sebagaimana diketahui bahwa alat-alat itu mengahalanginya dari mengingat Allah dan dari mengerjakan sholat serta membuang-buang harta, sebagaimana khomr.
Para ulama Syafi’i dan Hambali memakruhkan alat pukul yang terbuat dari dahan pohon yang menjadikan nyanyiannya semakin ramai dan nyanyian itu tidak akan ramai apabila alat itu digunakan sendirian. Alat itu menyertai nyanyian sehingga hukumnya adalah hukum nyanyian, yaitu makruh apabila digabungkan dengan sesuatu yang haram atau markruh seperti tepuk tangan, nyanyian, tarian dan apabila tidak ada hal-hal demikian maka ia tidaklah makruh karena ia bukanlah alat musik…
Imam Malik, Zhohiriyah dan sekelompok orang-orang sufi membolehkan mendengarkan musik walaupun dengan menggunakan alat pukul dari kayu dan rotan, ini adalah pendapat sekelompok sahabat, seperti Ibnu Umar, Abdullah bin Ja’far, Abdullah bin Zubeir, Muawiyah, Amr bin ‘Ash dan yang lainnya serta sekelompok tabi’in seperti Sa’id bin Musayyib. (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz IV hal 2664 – 2665)
Syeikh Mahmud Syaltut mengatakan didalam fatawanya tentang belajar alat musik dan mendengarkannya bahwa sesungguhnya Allah swt menciptakan manusia dengan memiliki insting atau tabi’at yang cenderung kepada kesenangan dan kebaikan yang membekas didalam dirinya. Dengan hal itu dirinya menjadi tenang, senang, bersemangat dan menenangkan anggota tubuhnya. Jiwanya juga merasa lega dengan berbagai pemandangan yang indah seperti pemandangan yang hijau, air yang jernih, wajah yang cantik, bebauan yang wangi.
Syari’at tidaklah mematikan insting itu akan tetapi ia mengaturnya dan bersifat moderat didalam islam merupakan sesuatu yang sangat mendasar yang telah ditunjukkan oleh Al Qur’an yang mulia, seperti firman-Nya :
يَا بَنِي آدَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وكُلُواْ وَاشْرَبُواْ وَلاَ تُسْرِفُواْ
Artinya : “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.” (Qs. Al A’raf : 31)
Berdasarkan hal itulah syariat islam mengarahkan manusia untuk memenuhi berbagai tuntutan instingnya kepada batas yang moderat dan tidak melepaskannya begitu saja dan tidak juga mencabut insting itu didalam menyukai berbagai pemandangan yang baik, suara-suara yang nikmat didengar dan sesungguhnya syariat itu mengaturnya dengan baik dan seimbang kepada apa-apa yang tidak membawa kemudharatan dan kejahatan.
Beliau juga menambahkan didalam fatwanya bahwa dirinya telah membaca pendapat salah seorang fuqoha abad XI yang terkenal dengan sifat wara’ dan ketakwaannya, tulisannya itu berjudul “Penjelasan dalil-dalil dalam mendengarkan alat-alat musik” oleh Syeikh Abdul Ghani an Nablusi al Hanafi yang menegaskan didalamnya bahwa hadits-hadits yang dijadikan dasar oleh orang-orang yang mengharamkan musik terikat dengan penyebutan berbagai macam permainan, penyebutan khomr, biduanita, perbuatan tak senonoh dan hampir dipastikan bahwa didalam hadits tersebut tidak disebutkan perbuatan-perbuatan yang demikian. Karena itu dia menjadikan bahwa mendengar suara-suara dan alat-alat musik apabila disertai dengan hal-hal yang diharamkan atau menggunakan sarana-sarana yang diharamkan atau terjadi di situ hal-hal yang diharamkan maka hukumnya haram. Dan apabila ia bersih dari hal-hal yang demikian maka hukumnya mubah (boleh) untuk menghadiri, mendengarkan dan mempelajarinya.
Nabi saw, para sahabat, tabi’in, para imam dan fuqoha telah menghadiri berbagai pertemuan untuk mendengarkan sesuatu yang tidak ada didalamnya suatu pelecehan dan yang diharamkan, hal ini juga banyak dikemukakan oleh para fuqoha. Fatwanya bahwa mendengarkan alat-alat yang memiliki alunan (senandung) atau suara-suara tidak mungkin diharamkan hanya sebatas suara yang keluar dari alat itu akan tetapi ia diharamkan apabila ia digunakan untuk sesuatu yang diharamkan atau menggunakan sarana yang diharamkan atau melalaikan yang wajib.
Kesimpulan ini didapat dari berbagai kitab fiqih para madzhab dan hukum-hukum didalam Al Qur’an dan dari sisi bahasa bahwa memukul duff (rebana) atau alat-alat lainnya para penunggang onta, untuk menggelorakan semangat para tentara dalam berperang, didalam perkawinan, hari raya, kedatangan orang yang selama ini hilang, membangkitkan semangat untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang penting adalah mubah sebagaimana kesepakatan ulama.
Adapun perselisihan yang terjadi diantara para fuqoha yang terdapat didalam buku-buku mereka adalah masalah halal atau tidak halal menyibukkan dirinya dengan musik baik mendengarkan, menghadiri atau mengajarkan apabila para pelakunya adalah orang yang berbuat haram seperti meminum khomar, nyanyian tak senonoh, cabul (jorok) yang bisa membangkitkan hawa nafsu maupun kefasikan pada orang-orang yang mendengarkannya begitu juga dengan joget atau perbuatan mesum lainnya. Dan itu semua digunakan pada tempat-tempat yang mengandung kemunkaran atau diharamkan… “
Ibnu Hazm mengatakan bahwa permasalahan ini tergantung dari niatnya. Barangsiapa yang berniat untuk menghibur dirinya, menyemangatinya untuk berbuat ketaatan maka ia termasuk orang yang taat dan berbuat baik dan barangsiapa yang berniat bukan untuk ketaatan juga bukan untuk kemaksiatan maka hal itu termasuk didalam perbuatan yang sia-sia yang dimaafkan seperti manusia yang keluar ke kebunnya hanya untuk refresing atau orang yang duduk-duduk di depan pintu rumahnya untuk rileks semata.
Imam Ghozali mengemukakan pendapat asy Syaukani didalam menjelaskan hadits,”Segala permainan yang dimainkan seorang mukmin adalah batil.” Tidaklah menunukkan pengharaman akan tetapi menunjukkan tidak adanya manfaat dan setiap yang tidak ada manfaat didalamnya termasuk mubah (boleh).” (Fatawa al Azhar juz VII hal 263)
Demikian pula terhadap musik karya Wolfgang A Mozart, musik simfoni, sonata, concerto yang termasuk didalam golongan musik-musik klasik maka ia—sebagaimana fatwa diatas—dibolehkan selama tetap memperhatikan hal-hal berikut ;
1. Tidak diniatkan untuk masiat kepada Allah swt.
2. Tidak berlebih-lebihan didalam menikmati maupun mendengarkannya sehingga melalaikannya dari perkara-perkara yang diwajibkan, seperti : sholat, mengingat Allah maupun kewajiban lainnya.
3. Para pemainnya tidak menampilkan perbuatan-perbuatan yang diharamkan atau dilarang agama.
4. Biduanitanya—jika ada—tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang mengundang fitnah, seperti :menggunakan gaun yang seronok, tidak sopan, bergoyang-goyang atau menyanyikannya dengan suara-suara yang dibuat-buat sehingga membangkitkan birahi dan merangsang syahwat orang-orang yang mendengarkannya.
5. Bait-bait syair lagunya tidak bertentangan dengan adab dan ajaran islam, seperti mengandung kemusyrikan, pelecehan, jorok dan sejenisnya.
6. Tidak diadakan di tempat-tempat yang mengandung syubhat, kemunkaran atau diharamkan, seperti di tempat yang dibarengi dengan minuman keras, dicampur dengan perbuatan cabul dan maksiat.
Ada sedikit yang membedakan antara musik klasik dari musik-musik lainnya adalah manfaat dari musik ini menurut penelitian para pakar. Ada yang mengatakan bahwa alunannya yang lembut dan tenang dapat memberikan efek yang baik bagi janin, bayi dan anak-anak. Ada pula peneliti barat yang mengatakan bahwa musik klasik dapat menambah kecerdasan pada anak.
UNESCO Music Council menyebutkan bahwa manfaat musik klasik adalah pertama sebagai alat pendidikan dan kedua adalah alat untuk mempertajam rasa intelektual manusia (Intellect Einfullung). Musik yang demikian biasanya mempunyai keseimbangan antara empat unsur musik, yaitu melodi, harmoni, irama (rythim) dan warna suara (timbre). Musik yang memenuhi persyaratan itu adalah musik klasik, semi musik klasik, musik rakyat, juga musik tradisional seperti karawitan. (sumber : http://imadeharyoga.com)
Bagi seorang muslim yang menyukai musik ini maupun yang ingin mengambil manfaat darinya untuk hal-hal diatas maupun yang lainnya maka tidaklah menempatkannya diatas dari keagungan, keindahan maupun mafaat dari Al Qur’an. Hendaklah terlebih dahulu ia menggunakan Al Qur’an sebelum menggunakan musik tersebut karena Al Qur’an adalah obat, menenangkan jiwa, menghibur dikala sedih, mengasah ketajaman hafalan dan lainnya. Adapun setelah itu dia ingin menggunakan musik klasik untuk diambil manfaatnya seperti yang dikatakan oleh para pakar dan selama tidak mengandung hal-hal yang dilarang seperti yang disebutkan diatas maka ia dibolehkan.
Wallahu A’lam
-Ustadz Sigit Pranowo Lc-