Assalamu alaikum wr wb
Pak ustad, saya mau tanya gimana hukumnya kalo dagang yang dibayar cash ama kredit berbeda.
Misalnya kita jual pulsa kalau cash saya jual 10 rb tapi kalo bayar gajian saya jual 15 rb, itu gmn hukumya, terima kasih
Wassalamu alaikum wr wb
waalaikumussalam Wr Wb
Saudara Askar yang dimuliakan Allah swt
Kredit adalah jual beli dimana seorang yang menjual barang dagangannya dengan harga tertentu apabila dibayar cash dan dengan harga yang lebih tinggi apabila dibayar pada masa yang akan datang atau dengan cara angsur.
Para fuqaha—sebagaimana disebutkan didalam kitab “al Mughni” yang ditulis oleh Ibnu Qudamah dan “ad Dur al Mukhtar” yang ditulis oleh Ibnu Abidin al Hanafi—menyatakan bahwa pada asalnya jual beli dengan harga saat ini diperbolehkan, dan diperbolehkan pula dengan harga yang akan datang hingga waktu yang telah ditentukan dan jangan sampai ketidaktahuan waktu yang akan datang itu menjadikan perselisihan. Jumhur fuqaha menyatakan sah jual beli dengan harga yang akan datang dan menambahkan harganya daripada harga saat ini dengan syarat harga itu diketahui oleh dua orang yang melakukan akad jual beli.
Para ulama telah menegaskan—sebagaiman didalam “Fatawa ad Dajwa” madzhab Maliki—bahwa penundaan (pembayaran) itu merupakan bagian dari harga maka tidaklah aneh adanya perbedaan harga dikarenakan perbedaan waktu pembayaran. Tidaklah masuk akal apabila syariat yang diturunkan dari Yang Maha Bijaksana dan Mulia ini tidak memperhatikan kemasalahatan manusia sehingga membebankan mereka dengan jual beli yang pembayarannya dilakukan pada masa akan datang sama dengan yang dilakukan saat ini atau menjadikan pembayaran yang dilakukan dalam waktu dekat sama dengan yang masih jauh waktunya.
Tidak ada sesuatu pun didalam jual beli seperti ini yang diharamkan kecuali apabila jual beli yang dilakukan dengan menaikan harga manakalah si pembeli mengakhirkan pembayarannya dari waktu yang telah disepakati, maka ini termasuk yang diharamkan.
Adapun jual beli yang dilakukan dengan harga yang telah disepakati sejak awal maka tidaklah masalah, seperti seorang yang membeli rumah atau kendaraan dengan harga yang akan datang (kredit) meski dengan harga yang dibayarkan secara angsur ini lebih tinggi daripada harga hari ini, dengan persyaratan waktu dan harganya telah diketahui dengan jelas oleh dua orang yang melakukan akad jual beli pada saat akad demi menghindari perselisihan dan tidak diperbolehkan menambahkan harga dikarenakan keterlambatan pelunasannya. (Buhuts wa Fatawa Islamiyah juz III hal 375 – 376)
Syeikh Ibn Bazz, semoga Allah merahmati beliau, tentang hukum menaikan harga dikarenakan pembayaran pada masa yang akan datang mengatakan bahwa sesungghnya muamalah seperti tidak tidaklah masalah dikarenakan jual beli dengan cash berbeda dengan cara ditunda.
Kaum muslimin selalu menggunakan muamalah yang seperti ini seakan-akan menjadi ijma dari mereka akan dibolehkannya hal itu. Ada sebagian ahli ilmu yang tidak sepakat dengan melarang penaikan harga dikarenakan penudaan itu dan menganggap bahwa hal yang demikian termasuk bagian dari riba dan sesungguhnya pendapat ini tidaklah tepat.
Sesungguhnya hal itu bukanlah riba karena seorang pedagang tatkala menjual barang dagangannya hingga waktu tertentu adalah ingin mengambil manfaat darinya dengan penaikan harga sedangkan penjual itu rela dengan penaikan itu dikarenakan ketidakmampuannya untuk membayarkan harganya secara cash, dan keduanya mengambil manfaat dari jual beli seperti itu. Terdapat sebuah hadits yang menunjukkan bolehnya hal yang demikian yaitu ketika Nabi saw memerintahkan Adullah bin ‘Amr in al Ash agar mempersiapkan pasukan, maka dia pun membeli seekor onta dengan dua ekor onta yang dibayarkan pada saat nanti, kemudian muamalah ini dimasukkan kedalam keumuman firman Allah swt :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al Baqoroh : 282)–.(Fatawa Islamiyah juz II hal 331)
Wallahu A’lam