Assalamualaikum wrwb
Ustadz, mohon penjelasannya mengenai pengertian tsiqoh billah. Bagaimana kaitannya dengan rasa percaya diri dengan kemampuan diri sendiri?
Terima kasih.
Wassalamualaikum wrwb
Waalaikumussalam Wr Wb
Kata tsiqoh berasal dari kata watsiqo. Apabila seseorang mengatakan watsiqo bihi berarti merasa tenang, tentram dan bersandar kepadanya. Apabila seseorang mengatakan rojulun tsiqoh artinya lelaki yang bisa dipercaya. Tsiqoh fii insaanin berarti percaya terhadap agama, akhlak, sikap amanah dan kemampuannya didalam mengerjakan perbuatan yang dilakukannya.
Kata-kata tsiqoh itu sendiri tidak terdapat didalam Al Quran akan tetapi terdapat kata-kata yang semakna dengan tsiqoh atau yang mendekati makna tersebut, seperti ash shidqu (jujur), al iman (iman), al amanah (amanah).
Firman Allah swt :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَكُونُواْ مَعَ الصَّادِقِينَ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. At Taubah : 119)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَخُونُواْ اللّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُواْ أَمَانَاتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al Anfal : 27)
Sedangkan tsiqoh billah berarti inti dari ketawakalan dan penyandaran diri seseorang kepada Allah swt, sebagaimana maksud dari firman Allah swt :
Artinya : “Maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati.” (QS. Al Qoshosh : 7)
Tsiqoh kepada Allah swt ini memiliki tiga tingkatan :
1. Meyakini bahwa apabila Allah swt telah menentukan hukum atau menetapkan suatu perkara maka tidaklah ada ruang untuk membangkang terhadap ketentuannya itu dan lari dari hukumnya.
Apapun yang telah Allah tentukan baik berupa rezeki, keadaan, ilmu atau pun yang lainnya maka itu semua akan terjadi. Artinya seseorang yang tsiqoh kepada Allah menyadari bahwa dirinya tidaklah memiliki kemampuan untuk menembus dan merubah segala ketentuan dan ketetapan-Nya, untuk kemudian yang muncul dari dirinya adalah menerima ketentuan dan ketetapan tersebut.
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُّبِينًا
Artinya : “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia Telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al Ahzab : 36)
2. Meyakini bahwa tidak ada sesuatu pun yang hilang dari apa-apa yang telah ditentukan Allah swt atau apa-apa yang telah dituliskan di Lauh Mahfuzh. Dari sini akan memunculkan sikap ridho terhadap ketentuannya itu, inilah kebahagiaan sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dari Nabi saw bersabda,”Sesungguhnya Allah swt—dengan keadilan-Nya—menjadikan kelezatan dan kebahagiaan didalam keyakinan dan keredhoan serta menjadikan kegundahan dan kesedihan didalam keraguan dan kebencian.”
3. Meyakini dengan sepenuh hati bahwa Allah sajalah yang telah menentukan dan menuliskan segalanya yang ada di alam ini sehingga menjadikan dirinya tidaklah menuntut sesuatu yang diluar ketentuan dan ketatapan Allah swt.
Namun demikian hal itu tidaklah menjadikan seseorang kemudian berpangku tangan atau berdiam diri dan tidak meyakini bahwa dirinya memiliki kemampuan atau kehilangan rasa percaya (tsiqoh) terhadap dirinya sendiri karena beranggapan bahwa itu semua tidaklah ada gunanya karena semua kejadian yang ada di alam ini sudah ditentukan, ditetapkan dan dituliskan Allah swt di Lauh Mahfuzh.
Perbuatan manusia selain ia bersifat musayyar (tidak memiliki kebebasan) tapi ia juga bersifat mukhoyyar (memiliki pilihan) namun itu semua tidaklah lepas dari ketentuan dan taqdir Allah swt.
Dikarenakan sifat mukhoyyar itulah maka seorang manusia perlu memiliki ilmu pengetahuan untuk bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang bermanfaat dan mana yang mudharat. Hal lain yang diperlukan selain ilmu pengetahuan itu adalah rasa percaya bahwa dirinya memiliki pengetahuan, kesanggupan, kemampuan untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukannya. Sehingga dirinya bisa memilih yang terbaik dari berbagai pilihan yang ada dihadapannya.
Dan yang perlu diingat adalah bahwa rasa percaya seseorang kepada kemampuan dirinya itu hendaklah diberikan secara proporsional dan tidak melampaui batasnya. Hendaklah dia mengingat bahwa dirinya hanyalah manusia biasa yang lemah, mudah lupa, mudah berbuat khilaf, tidak mengetahui yang ghaib, memiliki pengetahuan yang sangat terbatas serta meyakini bahwa Allah swt adalah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatunya dan jika dia menginginkan sesuatu itu terjadi maka ia akan terjadi dan jika Dia tidak menginginkan sesuatu itu terjadi maka ia tidaklah terjadi tanpa perlu meminta persetujuan dari satu makhluk pun dan Dia menetapkan segala sesuatunya dengan keadilan-Nya.
لِمَن شَاء مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ ﴿٢٨﴾
وَمَا تَشَاؤُونَ إِلَّا أَن يَشَاء اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ ﴿٢٩﴾
Artinya : “(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At Takwir : 28 – 29)
Wallahu A’lam