Assalamu’alaikum Ustadz..
Saya ingin mengetahui mengenai Surat An Nur ayat 2 dan 3.Mohon penjelasannya.
Sebelumnya Saya ucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum
Waalaikumussalam Wr Wb
Saudara Bondan yang dimuliakan Allah swt
Firman Allah swt :
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ ﴿٢﴾
الزَّانِي لَا يَنكِحُ إلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ ﴿٣﴾
Artinya : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.” (QS. An Nuur : 2 – 3)
Tentang firman-Nya yang artinya : "Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera" dijelaskan Ibnu Katsir bahwa didalam ayat ini terdapat hukum terhadap seorang pezina. Para ulama kemudian menjelaskan tentang permasalahan ini dengan rinci serta didalamnya terjadi berbagai perbedaan pendapat.
Sesungguhnya seorang pezina bisa jadi ia seorang lajang yang belum menikah atau telah menikah dengan pernikahan yan benar (menurut syariat) serta ia adalah seorang yang baligh dan berakal. Adapun seorang yang belum pernah menikah (lajang) maka hukuman baginya adalah 100 kali cambukan sebagaimana disebutkan didalam ayat ditambah dengan diasingkan dari negerinya selama setahun, demikianlah menurut jumhur ulama. Berbeda dengan Abu Hanifah yang berpendapat bahwa pengasingan ini dikembalikan kepada pendapat imam (penguasa). Jika dia berkehendak maka dia bisa mengasingkannya dan jika tidak berkehedak maka tidak diasingkan.
Dalil jumhur dalam hal ini adalah apa yang terdapat didalam “ash Shahihain” dari riwayat Zuhriy dari Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud dari Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid Al Juhaniy radliallahu ‘anhuma bahwa keduanya berkata; Ada seorang warga Arab datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata: "Wahai Rasulullah, aku bersumpah atas nama Allah kepadamu, bahwa engkau tidak memutuskan perkara diantara kami melainkan dengan Kitab Allah. Lalu lawan yang tutur katanya lebih baik dari padanya berkata: "Dia benar, putuskan perkara diantara kami dengan Kitab Allah dan perkenankanlah untukku". Maka Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam besabda: "Katakan". Seorang warga Arab berkata: "Sesunguhnya anakku adalah buruh yang bekerja pada orang ini lalu dia berzina dengan istrinya maka aku diberitahu bahwa anakku harus dirajam.. Kemudian aku tebus anakku dengan seratus ekor kambing dan seorang budak wanita kemudian aku bertanya kepada ahli ilmu lalu mereka memberitahu aku bahwa atas anakku cukup dicambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun sedangkan untuk istri orang ini dirajam". Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku akan putuskan buat kalian berdua dengan menggunakan Kitab Allah. Adapun seorang budak dan kambing seharusnya dikembalikan dan untuk anakmu dikenakan hukum cambuk sebanyak seratus kali dan diasingkan selama setahun. Adapun kamu, wahai Unais, besok pagi datangilah istri orang ini. Jika dia mengaku maka rajamlah". Kemudian Unais mendatangi wanita itu dan dia mengakuinya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar wanita itu dirajam.
Didalam hadits ini terdapat dalil tentang pengasingan seorang pezina disertai cambukan 100 kali jika dia seorang yang belum menikah. Adapun jika dia seorang yang telah menikah maka dirajam.
Tentang rajam ini, Ibnu Katsir menyebutkan beberapa hadits Rasulullah saw, diantaranya apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Husyaim dari Az Zuhri dari ‘Ubaidillah Bin ‘Utbah Bin Mas’ud telah mengabarkan kepadaku Abdullah Bin Abbas telah menceritakan kepadaku Abdurrahman Bin ‘Auf bahwa Umar Bin Al Khaththab berkhutbah di hadapan orang-orang dan dia (Abdurrahman) mendengarnya berkata; "Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang mengatakan apakah ada hukum rajam? Padahal di dalam kitabullah hanya ada hukum dera. Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melakukan hukum rajam dan kami pun melakukan hukum rajam setelah beliau, seandainya orang-orang tidak akan mengatakan atau berbicara, bahwa Umar menambah sesuatu dalam kitabullah yang bukan darinya, niscaya aku akan menetapkannya sebagaimana diturunkannya."
Sedangkan makna firman-Nya yang artinya : “dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah”) adalah didalam hukum Allah. Janganlah kalian merajam mereka berdua sementara kalian berbelas kasihan didalam syariat Allah dan tidak dilarang dalam hal ini ada tabiat belas kasihan akan tetapi janganlah hal itu menjadikan anda meninggalkan dari manjatuhkan hukuman terhadap mereka berdua, maka ini tidak dibolehkan.
Mujahid mengatakan tentang (..dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah) bahwa penegakan hukuman apabila sudah diangkat ke penguasa maka haruslah dilaksanakan dan jangan dihentikan, demikianlah riwayat dari Said bin Jubair, Atha bin Abi Rabah.
Didalam hadits disebutkan "Hendaklah kalian saling memaafkan dalam masalah hukuman had yang terjadi di antara kalian, sebab jika had telah sampai kepadaku maka wajib untuk dilaksanakan." Didalam hadits lain disebutkan "Satu had (hukuman) yang ditegakkan di bumi lebih baik bagi manusia dari pada mereka diguyur hujan empat puluh hari."…
Sedangkan firman-Nya yang artinya : “Jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat”) maknanya : lakukanlah perintah itu : tegakkanlah had (hukuman) terhadap orang yang berzina dan keraslah didalam memukul akan tetapi jangan menyakitkan sekali…. Didalam musnad disebutkan bahwa sebagian sahabat bertanya,” Wahai Rasulullah, saya hendak menyembelih kambing namun saya sangat menyayanginya. Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam bersabda: "Bagimu didalam (penyembelihan itu) pahala".
Firman-Nya yang artinya : “Dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”) maknanya adalah terdapat pelajaran bagi kedua orang pezina itu jika dicambuk dihadapan orang banyak. Sesungguhnya ini merupakan bentuk pencegahan yang paling tepat karena didalamnya terdapat kecaman, cercaaan dan celaan jika dihadiri oleh banyak orang. Al Hasan al bashri mengatakan,”Maknanya adalah (disaksikan) secara terang-terangan..”
Kemudian tentang firman Allah di ayat ketiganya “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.” Adalah berita dari Allah swt bahwa seorang lelaki pezina tidak boleh menggauli (menikah) kecuali dengan perempuan pezina atau wanita musyrik, yaitu tidaklah seorang yang menyetujui keinginan lelaki itu berzina kecuali seorang perempuan pezina maksiat juga atau seorang wanita musyrik yang tidak melihat bahwa hal itu diharamkan.
Demikian pula yang artinya : “dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik”) yaitu lelaki pelaku maksiat dengan berzina atau lelaki musyrik yang meyakini bahwa zina tidaklah diharamkan…
Dan firman Allah swt yang artinya : “dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukminin”) yaitu menikahkan seorang yang bersih dari zina dengan seorang pelaku zina dari kalangan laki-laki…
Ibnu Katsir juga menyebutkan pendapat Imam Ahmad yang mengatakan bahwa tidak sah akad seorang lelaki yang bersih (dari zina) dengan seorang perempuan pezina hingga wanita itu bertaubat. Jika wanita itu bertaubat maka sah akad atasnya dan jika tidak maka tidak sah. Demikian pula tidaklah sah menikahkan seorang perempuan merdeka dan bersih (dari zina) dengan lelaki pezina hingga lelaki itu bertaubat dengan taubat yang sebenarnya, berdasarkan firman Allah swt :(Tafsit al Qur’an al Azhim juz VI hal 5 – 10) (baca : QS.- An Nuur 3)
Wallahu A’lam