Tak dapat disangkal, peristiwa ini membidani apa yang disebut oligarki dengan berbagai varian. Intinya: persenyawaan kekuasaan dengan kekayaan, persekutuan antara penguasa dan pengusaha, kata Prof Jeffry Winter.
Bagaimana kiprah dan peran partai politik dan anggota parlemen pada masanya sehingga terjadi pengambilalihan kedaulatan rakyat oleh kaum pemodal?
Ada beberapa puzzle sebagai indikator. Antara lain sebagai berikut:
1) pasca-jatuhnya orde baru, muncul euforia demokrasi dan semangat ‘asal berubah’ usai 30-an tahun terkungkung orde otoriter. Gilirannya, kondisi itu kebablasan dan/atau dibablaskan;
2) alergi terhadap semua hal yang berbau rezim lama. Jadi, hampir semua piranti sistem diubah serta diganti, sehingga usulan amandemen pun disetujui. Nah, pada poin ini, parlemen 1999-2004 sangat abai bahwa Indonesia adalah oase global yang diincar para pencoleng dengan beragam modus. Maka dalam tempo sesingkat-singkatnya UUD 45 dan hampir semua aturan di bawahnya diubah menjadi pro-pasar atas nama neoliberalis;
3) dalam gegap reformasi tidak ada ruptura pactada, pola pembersìhan dari unsur-unsur rezim lama. Yang dijalankan justru reforma pactada, dimana ‘sisa’ organ lama diakomodir bahkan menjadi aktor dalam geliat reformasi;
4) ada stigma bahwa segala hal terkait rezim lama dianggap buruk di satu sisi, nah — di sini si pemilik pemodal melalui power uang dan jaringan (politik) global membonceng kepentingan dalam deras perubahan di sisi lain. Dan dampak euporia berlebih tersebut, maka UU pun ditawar, pasal-pasal pun diobral dengan harga murah. Hari ini, banyak beroperasi UU pro-pasar dan sangat berpotensi membawa uang dan kekayaan alam bangsa lari ke luar;
5) dan lain-lain.
Sampailah pada simpulan kecil dari ngaji sastra geopolitik ini. Ada dua poin utama:
Pertama, bahwa amandemen UUD 1945, selain merupakan wujud pengambilalihan kedaulatan negara dari tangan rakyat ke pemilik modal, ia juga bentuk nyata dari pembengkokkan sebuah sistem negara. Ini adalah upaya senyap kaum pencoleng guna menjarah kekayaan dan sumber daya bumi pertiwi. Istilahnya: “penjajahan senyap melalui sistem”;
Kedua, pada sistem yang bengkok, niscaya tak bakal mampu mengantar sebuah bangsa pada tujuan dan cita-cita luhur bernegara. Kenapa? Sebab tak sedikit sub-sistem dibuat melenceng, selain keluar dari jalur semestinya, justru menguntungkan dan kerap berpihak pada para pencoleng.
Dengan demikian, apabila dikaji dari perspektif ngaji sastra (geopolitik), jika bangsa dan negara ini ingin kembali ‘jejeg‘ — seyogianya kudu kembali dulu ke UUD 1945 asli dan menata lagi causalitas antara jasad kasar (negara) dan jisim latief (sistem) sebelum kian jauh kesasar atau tersesat.
Dan pada ujung catatan ini, saya teringat ucapan Jenderal Charles de Gaulle (1890 – 1970), pemimpin militer dan negarawan Prancis: “Yang alergi dengan kedaulatan rakyat/pribumi hanya dua, penjajah asing dan budak asing”.
End
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)