Assalamu’alaikum,
Ustadz, belakangan ini di kantor saya dan tempat sekitar rumah saya semarak sekali pengajian dengan musik-musik, entah itu dengan mengundang grup musik, atau pengajian memakai laptop untuk memperlihatkan gambar-gambar diiringi dengan instrumental alat musik tertentu. Ini sudah beberapa kali terjadi. Saya gerah sekali kalau mengikuti pengajian semacam ini, apalagi tempatnya di dalam masjid. Karena setahu saya musik haram hukumnya. Mohon jawabannya pak ustadz, sedih hati saya melihat banyak teman saya menyukai pengajian semacam ini.
Terima kasih atas jawabannya.
Wassalam
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Benar bahwa musik itu haram, paling tidak menurut sebagian ulama yang memang mengharamkannya. Mereka berijtihad demikian berangkat dari dalil-dalil yang mereka anggap telah memvonis bahwa segala macam jenis musik adalah haram.
Fatwa sedemikian itu bisa kita dapat dari banyak ulama, berangkat dari beberapa dalil dari sunnah. Antara lain misalnya:
Dari Nafi bahwa Ibnu Umar mendengar suara seruling gembala, maka ia menutupi telinganya dengan dua jarinya dan mengalihkan kendaraannya dari jalan tersebut. Beliauberkata, "Wahai Nafi` apakah engkau dengar?" Saya menjawab, "Ya." Kemudian melanjutkan berjalanannya sampai saya berkata, "Tidak." Kemudian Ibnu Umar mengangkat tangannya, dan mengalihkan kendaraannya ke jalan lain dan berkata, "Saya melihat Rasulullah saw. mendengar seruling gembala kemudian melakukan seperti ini." (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Juga ada hadits lain yang sering juga dijadikan dalil untuk mengharamkan mendengar alat musik dimainkan.
Rasulullah SAW bersabda, "Sungguh akan ada di antara umatku, kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr dan alat-alat yang melalaikan`. (HR Bukhari)
Selain kedua hadits di atas, ada juga hadits lainnya tentang haramnya musik yang dikaitkan dengan berbagai bencana yang sering melanda. Maksudnya, banyaknya bencana itu terjadi karena salah satunya orang-orang bermain musik dengan dominan.
Dari Umar bin Hushain, bahwa Rasulullah saw. berkata tentang umat ini, "Gerhana, gempa dan fitnah." Berkata seseorang dari kaum muslimin, "Wahai Rasulullah kapan itu terjadi?" Rasul menjawab, "Jika biduanita, musik dan minuman keras dominan." (HR At-Tirmidzi).
Walhasil, banyak ulama -termasuk anda- berkesimpulan bahwa musik itu haram. Haram dimainkan, haram diperdengarkan, haram mendengarkan serta haram pula diperjual-belikan alat-alatnya.
Sehingga melihat ada orang memainkan musik, apalagi dalam even pengajian, atau di dalam masjid, tentu akan mengatakan bahwa haramnya dua kali lipat.
Pendapat Yang Memakruhkan
Namun perlu kita ketahui bersama, meski banyak ulama yang telah mengharamkan musik secara total, nyatanya kita tidak bisa menampik adanya sementara kalangan, bahkan termasuk ulama juga, yang tidak mengharamkan secara total.
Mereka lebih memilih untuk menyebut bahwa musik itu makruh, namun tidak sampai ke tingkat haram.
Yang bilang begitu bukan ulama sembarangan, melainkan para ulama besar juga. Misalnya, para ulama di kalangan madzhab Al-Maliki, Asy-Syafi`i dan sebagian dari kalangan mazhab Hambali berpendapat bahwa mendengar nyanyian adalah makruh. Bahkan jika mendengarnya dari wanita asing maka semakin makruh.
Menurut Al-Imam Malik rahimahullah, mendengar nyanyian itu berdampak merusak muru`ah. Muruah ini mungkin bisa kita terjemahkan secara bebas dengan arti wibawa, atitiudeatau kehormatan.
Adapun menurut Al-Imam Asy-Syafi`i, musik dan lagu dimakruhkan karena mengandung lahwu (sesuatu yang tidak bermanfaat dan sia-sia serta buang waktu).
Dan Al-Imam Ahmad mengomentari dengan ungkapannya, "Saya tidak menyukai nyanyian karena melahirkan kemunafikan dalam hati."
Mereka adalah para fuqaha papan atas, di mana kebanyakan ulama salah berguru dan menjadi murid mereka. Namun ketika menyebut tentang nyanyian atau musik, mereka tidak sampai menyebut kata haram, melainkan makruh atau tidak disukai.
Pendapat yang Lebih Moderat
Di luar dari kalangan yang agak berhati-hati, ternyata kita pun mendapati adanya kalangan ulama yang lebih agak moderat. Di mana mereka tidak mengharamkan secara mutlak, melainkan masih memilah dan memberikan beberapa persyaratan tertentu.
Bila syaratnya terpenuhi, mendengarkan lagu atau musik itu masih bisa ditolelir. Sebaliknya, bila beberapa syarat kebolehan itu sampai terlanggar, maka hukumnya pun menjadi haram.
Di antara syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam masalah musik dan mendengarkannya adalah:
- Tidak boleh disertai kemungkaran, seperti sambil minum khomr, berjudi, zina dan campur baur laki dan wanita.
- Tidak ada kekhawatiran timbulnya fitnah seperti menyebabkan timbul cinta birahi pada wanita atau sebaliknya.
- Tidak menyebabkan lalai dan meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan shalat atau menunda-nundanya dan lain-lain.
Kesimpulannya bahwapada dasarnya mereka menghalalkan mendengar nyanyian, tetapi hukumnya berubah menjadi haram bila syarat-syaratnya tidak terpenuhi.
Adapun latar belakang mereka tidak mengharamkannya secara total, adalah karena mereka punya pendapat sendiri atas dalil-dalil yang mengharamkan di atas.
Hadits pertama diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya, dari Abi Malik Al-Asy`ari ra. Hadits ini walaupun terdapat dalam hadits Shahih Bukhari, tetapi para ulama memperselisihkannya.
- Banyak di antara mereka yang mengatakan bahwa hadits ini adalah mualaq (sanadnya terputus), di antaranya dikatakan oleh Ibnu Hazm.
- Di samping itu di antara para ulama menyatakan bahwa matan dan sanad hadits ini tidak selamat dari kegoncangan (idhtirab).
- Katakanlah, bahwa hadits ini shahih, karena terdapat dalam hadits shahih Bukhari, tetapi nash dalam hadits ini masih bersifat umum, tidak menunjuk alat-alat tertentu dengan namanya. Batasan yang ada adalah bila ia melalaikan.
Hadits kedua dikatakan oleh Abu Dawud sebagai hadits mungkar. Bahkan meski hadits ini shahih, maka sebenarnya dari teks hadits itu tidak bisa dikatakan bahwa Rasulullah saw secara jelas telah mengharamkannya. Bahkan Rasulullah saw mendengarkannya sebagaimana juga yang dilakukan oleh Ibnu Umar.
Sedangkan hadits ketiga menurut mereka adalah hadits gharib. Dan hadits-hadits lain yang terkait dengan hukum musik, jika diteliti ternyata tidak ada yang shahih.
Imam Al-Haramain dalam kitabnya, An-Nihayah dan Ibnu Abi Ad-Dunya yang menukil dari Al-Itsbaat Al-Muarikhiin menyatakan bahwa Abdullah bin Zubair memiliki budak-budak wanita dan gitar.
Dan Ibnu Umar pernah ke rumahnya ternyata di sampingnya ada gitar, Ibnu Umar berkata, "Apa ini wahai sahabat Rasulullah saw?" Kemudian Ibnu Zubair mengambilkan untuknya, Ibnu Umar merenungi kemudian berkata, "Ini mizan syami (nama alat musik) dari Syam?` Berkata Ibnu Zubair, "Dengan ini akal seseorang bisa seimbang."
Adapun ulama yang menghalalkan musik sebagaimana di antaranya diungkapkan oleh Imam Asy-Syaukani dalam kitabnya, Nailul Authar adalah:
- Ulama Madinah dan ulama Dzahiri dan jama`ah ahlu Sufi yang memberikan kemudahan (kebolehan) pada nyanyian walaupun dengan gitar dan biola`.
- Juga diriwayatkan oleh Abu Manshur Al-Bagdadi As-Syafi`i dalam kitabnya bahwa Abdullah bin Ja`far menganggap bahwa nyanyi tidak apa-apa, bahkan membolehkan budak-budak wanita untuk menyanyi dan beliau sendiri mendengarkan alunan suaranya. Dan hal itu terjadi di masa khilafah Amirul Mukminin Ali ra.
- Begitu juga Abu Manshur meriwayatkan hal serupa pada Qodhi Syuraikh, Said bin Al-Musayyib, Atho bin abi Ribah, Az-Zuhri dan Asy-Sya`bi.
Demikianlah pendapat ulama tentang mendengarkan alat musik. Dan jika diteliti dengan cermat, maka ulama muta`akhirin yang mengharamkan alat musik karena mereka mengambil sikap wara` (hati-hati). Mereka melihat kerusakan yang timbul di masanya.
Sedangkan ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi`in menghalalkan alat musik karena mereka melihat memang tidak ada dalil baik dari Al-Qur`an maupun hadits yang jelas mengharamkannya. Sehingga dikembalikan pada hukum asalnya yaitu mubah.
Demikian sekelumit gambaran tentang khilaf ulama tentang hukum nyanyian dan musik dalam Islam. Anda harus bijak ketika bertemu dengan saudara-saudara yang cenderung berpandangan bahwa musik itu tidak haram. Mereka bukan mengada-ada, tetapi memang punya dalil tersendiri. Meski pun anda pun tidak perlu berkecil hati, karena masih banyak ulamayang mengharamkannya, sebagaimana pendapat anda.
Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc