Assalamu’alaikum Ustaz
Pak Ustaz yang kami hormati,
Kami adalah panitia pembangunan Masjid di Perumahan Rumah Sangat Sederhana (RSS) dan telah bersepakat dengan pengurus DKM/pengurusnya serta penasihat DKM, untuk membangun masjid yang representatif untuk beribadah dengan luas 20 x 20 m. Site plan masjid 2 lantai sudah dibuat dan telah dijadikan proposal serta ditandatangani oleh Ketua Pembangunan, Ketua DKM, Ketua RW, Kepala Desa dan Camat seta telah diedarkan kepada warga dan ke luar seperti ke pemerintahan kabupaten, dan ke instansi lainya.
Masjid yang dicita-citakan adalah masjid yang multi guna mengingat di perumahan RSS tersebut belum ada masjid besar dan multi guna.
Sehingga masjid akan berfungsi sebagai:
Tempat Sholat, tempat kegiatan pengajaran Al-Quaran (TPQ) dan kegiatan Sosial yang Islami
Lantai bawah/dasar akan difungsikan sebagai ruang serba guna yaitu sebagai tempat kegiatan sosial seperti:
– Untuk tempat pengajaran Al-Quran (TPQ), peringatan hari-hari besar Islam seperti Maulid Nabi Muhammad, Isra Miraj serta tidak setiap waktu untuk acara akad nikah/resepsi yang bersifat Islami.
Sedangkan lantai atas khusus sebagai masjid jami’ tempat kegiatan ibadah shalat.
Kami ingin bertanya kepada Ustaz agar kami dan warga bisa memahami apakah boleh membangun masjid 2 lantai yang peruntukannya seperti di atas? Seperti mencontoh masjid lain di Masjid Pondok Indah, Masjid di Walikota Jakarta Utara, Masjid Al-Azhar, dan lain-lain.
Mohon penjelasan juga dari dasar hukumnya bagaimana?
Atas segala penjelasannya kami haturkan terima kasih, semoga Allah SWT membalasnya.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi wabarakatuh.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Masjid nabawi di masa Rasulullah SAW merupakan rujukan kita dalam membangun masjid di zaman sekarang. Bagaimana bentuk masjid dan alokasi fungsi-fungsinya, rujukannya adalah masjid nabawi.
Sirah nabawiyah telah menjelaskan kepada kita bahwa Rasulullah SAW telah menjadikan masjid bukan sekedar sebagai pusat peribadatan saja, tetapi lebih dari itu, beliau memanage negara dari masjid.
Di dalam masjid, para shahabat mendengarkan Rasulullah SAW membacakan Al-Quran, juga mempelajari serta menghafalnya.
Di samping masjid nabawi juga terdapat ruangan khusus untuk para ahlusshufah, yaitu mereka yang tidak punya rumah tinggal dan menempati bagian dari masjid untuk tempat tinggal.
Di dalam masjid beliau pernah mengatur strategi perang, termasuk melatih para shahabat. Di dalam masjid beliau pernah melaksanakan walimah pernikahan seorang shahabat, bahkan termasuk membolehkan melantunkan nasyid atau syair-syair.
Hadits yang shahih diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim telah menjelaskan hal-hal tersebut.
أن عمر رضي الله عنه مر بحسان وهو ينشد في المسجد فلحظ إليه، فقال: قد كنت أنشد فيه، وفيه من هو خير منك. يعني رسول الله صلى الله عليه وسلم،
Bahwa Umar ra melewati Hasan yang sedang bernasyid di dalam masjid, maka dia memperingatkannya. Namun beliau berkata,"Aku pernah bernasyid di dalam masjid sedangkan di dalam masjid itu ada orang yang lebih baik dari dirimu, yaitu Rasulullah SAW (HR Bukhari dan Muslim)
Namun ada beberapa perbuatan yang terlarang untuk dilakukan di dalam masjid. Misalnya berjual beli untuk urusan dunia.
عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (إذا رأيتم من يبيع أو يبتاع في المسجد فقولوا: لا أربح الله تجارتك وإذا رأيتم من ينشد فيه ضالة فقولوا: لا رد الله عليك). رواه الترمذي
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Bila kamu melihat seseorang berjualan di dalam masjid, maka katakanlah,"Semoga Allah tidak memberikan keuntungan pada daganganmu." Dan bila kamu melihat orang yang mencari barangnya yang hilang, maka katakanlah, "Semoga Allah tidak mengembalikannya kepadamu." (HR Tirmizi)
Termasuk yang terlarang juga adalah masuknya orang yang sedang dalam keadaan janabah di dalamnya, sebagaimana firman Allah SWT
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. (QS Al-Nisa’: 43)
Namun larangan itu oleh para ulama dikhususkan pada tempat shalat saja. Sedangkan wilayah penyangga masjid tidak termasuk yang terlarang. Yang dimaksud dengan wilayah penyangga misalnya halaman masjid, trotoar, kamar mandi, wc dan lainnya.
Batasannya adalah apa yang diikrarkan sebagai masjid dan yang diikrarkan sebagai bukan bagian dari masjid. Tentu saja yang berhak utnuk mengikrarkannya adalah pengurus masjid. Mereka itu akan membeikan batasan wilayah mana saja dari area suatu masjid yang termasuk kategori masjid dalam arti syar’i, serta bagian mana yang bukan.
Seandainya masjid terdiri dari 2 lantai, maka boleh diikrarkan bahwa yang termasuk kategori masjid secara syar’i adalah lantai 2 saja beserta selasarnya. Sedangkan selain dari ruang itu, seperti tangga, lantai 1 seluruhnya diikrarkan bukan sebagai bagian syar’i masjid yang terikat dengan hukum.
Yang penting, ketika ruang bawah disewakan untuk pernikahan, pengurus masjid tetap wajib punya kekuasaan untuk mengatur pihak penyewa. Misalnya, tidak boleh dilangsungkan acara ketika sedang berkumandang azan hingga shalat berjamaah selesai.
Sebab pemandangan yang kontras sering terjadi. Yaitu acara walimahan diselenggarakan di masjid, namun saat adzan berkumandang dan shalat jamaah dilaksanakan, pihak penyewa tetap jalan terus dengan acaranya. Sama sekali tidak menghormati masjid sebagai pusat ibadah.
Seharusnya peraturan untuk menghentikan acara bila ada waktu shalat sejak awal ditegaskan. Bahkan kalau perlu listriknya di ruang pernikahan dimatikan sementara azdan dan shalat sedang berlangsung. Ini perlu ditegaskan sejak awal agar tidak terjadi salah paham. Jangan sampai orang berpikir seenaknya menyelenggarakan pernikahan di masjid, tapi malah tidak ada yang shalat. Tentu fenomena ini mengiris ulu hati kita.
Anjuran
Ada satu hal lagi yang penting sekali untuk diperhatikan, bagi teman-teman yang sedang sibuk mengurus masjid. Kita seringkali terjebak bicara tentang fasilitas masjid, bentuk bangunan secara pisik, tetapi seringkali luput perhatian kita dari berbicara masalah isi masjid.
Sejatinya, pembangunan sebuah masjid itu bukan hanya berkisar masalah bangunan, tetapi sebelumnya adalah bicara SDM (sumber daya manusia). Setiap masjid membutuhkan seorang imam yang ideal, bukan sekedar bisa memimpin shalat jamaah, tetapi seorang yang faqih dalam agama. Imam masjid seharusnya bukan hanya sekedar pintar baca quran dan menghafalnya. Tetapi hendaknya seorang yang ahli di dalam masalah hukum syariah.
Kepada imam masjid inilah para jamaah datang bertanya dan mengaji agama. Karena itu, idealnya dia adalah seorang yang ahli di bidang syariah, menguasai bahasa arab, punya latar belakang pendidikan syariah yang cukup untuk menjawab semua masalah umat.
Imam masjid perlu dikemas menjadi seorang yang profesional di bidangnya. Bekerja setiap hari di masjid, mengurus semua urusan umat, mulai dari urusan masuk wc sampai masalah mengatur negara.
Seandainya di tiap masjid ada satu orang ulama yang punya kaliber mumpuni, maka insya Allah masjid itu akan punya fungsi yang optimal.
Sebaliknya, bila masjid hanya diisi oleh mereka yang sekedar bermodalkan semangat saja, tapi tanpa ilmu, maka sulit mengharapkan dari masjid terlahir umat yang kuat. Sebab umat yang kuat itu berbandaning lurus dengan kualitas pembinaannya. Dan kualitas pembinaannya sangat tergantung kualitas imam masjidnya.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.